Chereads / don't blame us / Chapter 15 - a piece of beginning

Chapter 15 - a piece of beginning

Empat tahun yang lalu di saat kekacauan tengah bermuara.

"Seorang direktur utama batu bara dengan inisial W di salah satu perusahaan tersohor di tangkap polisi atas dugaan korupsi. Dia di laporkan oleh satu oknum anonim yang memiliki bukti kuat atas kejahatannya. Polisi akan segera melakukan investigasi di kediamannya di daerah Jakarta Selatan."

"Omong kosong!" ucap seorang pria berjas.

*****

Di sebuah kantor pertambangan di daerah Kalimantan Timur, terdapat satu perusahaan yang mengelola batu bara. Perusahaan itu di dirikan oleh dua kakak beradik konglo merat yang kini menjabat sebagai direktur dan wakil direktur. Mereka terkenal atas ketekunan dan etos kerja yang layak di acungi jempol. Direktur itu bernama Widyo Angelo Wardiana dan wakilnya bernama Wandi Christoper Wardiana.

"Wandi, sepertinya hal ini harus saya luruskan."

"Benar, Pak. Saya rasa besok anda harus segera pulang ke Jakarta. Kasihan Mbak Lastri, Edward juga terus telepon saya, dia ketakutan karena banyak polisi yang ke rumah."

"Hmm ... kau bisa tangani urusan di sini? Abang mau balik dulu, kangen anak-anak, terus kayaknya harus kasih gepokan dulu buat si Yudi," seketika obrolan menjadi santai, layaknya dua saudara yang tengah berbincang.

"Siap, Bang. Saya bisa urus di sini. Kan, ada Rusdi juga, dia pasti bisa bantu."

"Dia kemana, by the way?"

"Tadi beliau telepon katanya izin karena anak bungsunya ulang tahun."

"Dia bisa jadi ayah juga ternyata," ucapnya menohok.

"Ya, udah, abang balik sore ini, ya."

"Iya, Bang."

Widyo meninggalkan ruangannya dan bergegas segera kembali ke Jakarta untuk meluruskan hal yang terjadi dan bertemu keluarga kecilnya. Semua pekerjaan di serahkan pada adiknya, Wandi.

Wandi merupakan pria yang tekun dan rapih. Dia sangat berkomitmen dan juga ramah pada rekan kerjanya. Bahkan, ia digadang-gadang lebih layak menjadi Direktur Utama daripada kakaknya lalai dan intoleran. Wandi merupakan pimpinan emas di perusahaannya.

*****

Widyo menelepon seseorang di kamarnya.

"Madam, cukup bilang ya atau tidak kalo semua ini hanya akal-akalan kalian? Sebenernya apa mau kalian? Sudah saya rekrut jadi petinggi pun masih bersikap belagu? Jangan pernah harap untuk menjadi serakah, kamu tidak ada bedanya dengan anak anjing yang harus nurut dengan majikannya! Paham?!"

"Bukan! Elang. Rupanya kamu sudah tak percaya lagi sama bisnis kita. Ingat satu hal, saya tidak ada kaitannya dan tak ingin sedikit pun bertanggung jawab atas semua ini!"

Tut tut tut.

"Fuck you, bitch!" telepon terputus.

*****

"Aku nggak yakin ini bakal berjalan lancar, kau harus punya alibi dan kambing hitam!" ucap seorang wanita dengan asap rokok yang mengebul.

"aku nggak sedongok itu! Kau unggu saja. Tinggal kujadikan si pegawai lugu cabul itu kambing hitam," jawab seorang pria muda.

Wanita itu pergi tanpa sepatah kata sembari mengepulkan asap terakhirnya dan menginjak puntung rokok yang masih terlihat utuh. Pria muda itu pun menyusul dengan arah yang berbeda. Ia hendak menemui kekasihnya yang sudah lama merindukannya. Pekerjaan yang padat membuat mereka tak bisa selalu bersama layaknya dua insan yang memadu asmara.

"Hai, sayang!" mencium kening wanita mungil di depannya.

"Ih, jangan gitu, malu! Ini tempat umum!"

"Ya, nggak apa-apa, lah, lagian, kan, ini pacar aku. Terserah aku, dong!"

Tersipu malu. "Jadi, kita mau kemana kali ini?"

"Ke rumah kamu aja, begimana?"

"Ih nggak bisa, ayah aku belum tau soal kita."

"Ya udah, kan, aku belum kenal sama dia kalo di rumah kamu...,"

"Sut! Kita ke restoran aja, yuk! Aku nggak punya banyak waktu, nih."

"Bukannya aku yang sibuk, ya?"

"Hehe. Kan, aku ceritanya jadi kamu."

Dua pasangan kasmaran itu pergi bersama dengan tangan yang saling mengikat layaknya simpul kuat yang mengkilap.

******

Keesokan harinya, sebuah mobil Alphard hitam datang dengan membawa perasaan rindu yang dalam.

"Ayah pulang!"

"Hai, Ayah! Emily kangen banget sama ayah!"

"Ayah juga kangen banget sama kamu, Nak! Abang dan ibumu mana?"

"Ibu di kamar. Abang ... dia di kamar juga, tadi dokter baru aja keluar dan bilang jangan ganggu abang dulu."

"Oh, ya, sudah, berarti kita berdua dulu aja yang temu kangennya!" memeluk anak bungsunya.

Canda tawa mereka membuat suasana rumah kembali hangat.

Hari mulai petang, Ed tak kunjung keluar dari kamar. Widyo khawatir dengan keadaan mental anak laki-lakinya kian memburuk.

"Bu, Ed tantrum lagi, ya?" mencium kening istrinya.

"Iya, yah."

"Kata dokter gimana? Dia udah boleh sekolah lagi? Ayah khawatir..."

"Dokter bilang Edward harus di rumah hingga ia sendiri yang bosan dan ingin kembali sekolah. Kita tunggu waktu aja, Yah."

"Dia anak yang baik, kan, Bu? Ayah merasa bersalah karena nggak bisa terus di sisi kalian. Maafin ayah, ya, Bu."

Mereka berpelukan menyambung rasa rindu yang mendalam.

****