Chereads / don't blame us / Chapter 14 - confession

Chapter 14 - confession

Edward mendapat informasi tentang beberapa inisial. Dia mendapati inisial Ab, tapi tak mungkin jika itu Abdul. Edward percaya Abdul adalah anak baik dan pekerja keras.

Tiba-tiba, dia penasaran dengan keadaan Alisya, Edward menelepon adiknya yang tengah di rumahnya dengan Jessika. Edward menyusul mereka ke sana dan mendapati kondisi Alisya sangat memprihatinkan. Ia tampak sering melamun sambil mengusap perutnya. Edward berusaha sebisa mungkin memberi dukungan pada Alisya.

"Alisya, aku tahu ini bukan waktu yang tepat ngomong gini, tapi please ... kamu harus kuat, jangan siksa diri dan janin kamu. Kamu boleh marah, kamu boleh nangis, tapi tolong jangan menyerah buat terus berjalan. Ada orang tua, sahabat dan orang-orang yang peduli sama kamu di sini yang siap bantu. Oke?"

Alisya menangis memeluk Edward. "Makasih banyak, Kak."

Edward membalas pelukan itu dengan kikuk.

*****

Malam begitu cerah, Edward pergi berjalan keluar lingkungan rumahnya untuk mencari udara segar. Ia hendak mengajak Rama, tapi kamarnya tertutup rapat. Maka dari itu, Edward pergi mencarinya, ia berniat mendekati Rama karena anak itu sangat berpotensi untuk membantunya mencari tahu siapa si pengedar.

Edward pergi berjalan menyusuri daerah luar komplek yang gelap dan berbahaya.

Setelah berjalan beberapa saat, Edward berada di sebuah pasar sayur dan mendapati sosok seperti Rama dengan tudung hitam tengah berkumpul dengan orang-orang berbadan besar dan bertato. Gelagat mereka membuat bulu kuduk Edward merinding membayangkan hal jahat apa yang tengah mereka bicarakan.

'Tung Tang!'

Seketika perhatian orang-orang besar itu teralihkan padanya. Edward bergegas melarikan diri dengan keringat yang spontan bercucuran.

"Woi!" mereka mengejar Edward.

Obrolan samar itu tampak kacau. Sosok seperti Rama lari berlawanan arah, menghindari kerusuhan itu. Edward telah berlari sekuat tenaga, namun apa daya dia terkepung dan akhirnya tertangkap. Saat mereka hendak membawanya, seorang pria besar itu sadar bahwa dia adalah orang yang di maksud majikannya.

"Lepaskan aku! Bangsat!"

"Lepaskan saja, Bos. Bahaya."

Edward berlari ketakutan menuju arah pulang. Ia berlari sekuat tenaga dengan rasa takut yang menyeruak. Tiba-tiba, ia bertabrakan dengan Rama yang tengah memakai baju biru dan celana pendek. Pikiran Edward teralihkan mengenai orang tadi.

"Kamu dari mana aja, Ed? Nyonya cari kamu dari tadi," ujar Rama.

Dengan nafas yang tak beraturan, Edward menceritakan hal yang baru saja terjadi. "Ram, barusan kulihat ada orang besar di pojok pasar lagi pada barter semacam barang gitu, aku coba intip, tapi malah terciduk. Sialan!"

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Rama serius seraya menepuk-nepuk pundaknya.

Edward manggut-manggut.

Daerah luar komplek memang rawan penjahat, mengingat penghuni komplek adalah golongan Alpha.

"Sebaiknya kau pulang, nyonya menunggumu...," pinta Rama.

Sesampainya di rumah, Edward meminta Rama untuk memastikan bahwa prasangkanya salah, ia mendapati salah satu di antara inisial itu adalah teman sekelasnya.

"Kalo kamu ingin tahu lebih jelas, ikuti aku," Rama membawa Ed masuk ke kamarnya.

Di dalam sana, banyak sekali poster bernuansa distopia, cyberpunk, hingga jenis dan efek dari Narkoba.

"Kaget? Sorry, ya, Ed. Satu ruangan rumahmu jadi seram begini."

"Nggak apa-apa, Ram. Aku suka, gokil liatnya, kayak rumah bandar narkoba," canda Ed.

Rama mengikik.

Edward berkeliling melihat dekorasi kamar Rama yang nampak seperti di film serial pembunuhan. Nuansa serba hitam dan lampu merah yang temaram membuat ruangan ini sedikit menyeramkan. Rama menyalakan laptopnya dan kembali membuka situs penjualan narkoba kemarin. Edward mengucek-ucek matanya untuk memastikan fokusnya pada layar itu.

Setelah beberapa saat menelusuri, ia mendapati nama inisial Ab itu memang betul Abdul.

"Ed, lihat."

Edward menggebrak meja. "Abdul, sialan! aku nggak terima Willy di fitnah!"

Bagaimana bisa seorang anak baik dan ceria ternyata seorang pengedar narkoba?

Emosinya seketika meluap hingga fokusnya teralihkan pada pesan yang muncul di kolom pesan.

"Raja Roman siapa, Ram?"

"Yang punya akun," sahut Rama.

"Rama, tolong kirim saya satu paket, ketemu di tempat biasa. Trims."

Ed terkejut. "Rama? Kau pengedar? Jawab! Kau pengedar?!"

Rama berdiri mendorong Edward hingga terpojok membuat wajah mereka nyaris bersentuhan. Ia berdengkus memelototinya sembari menutup mulutnya. "Kamu jangan salah paham! Kalo kamu bocorkan, tujuan kita bakal gagal!"

Edward menepis dan memojokan balik Rama. "Kalo Abdul emang terbukti pengedar dan Willy korban fitnah, kau harus tanggung jawab, bangsat!"

Rama hanya tertawa membuat Edward mencekiknya perlahan. "Aku nggak bercanda, anjing!"

Melihat Edward menjadi begitu menyeramkan, Rama menepis dan memintanya duduk mendengarkan.

Dengan tersulut api emosi, Edward mencoba mendengarkan semuanya.

"Ed, aku nggak bisa mengelak lagi kalo aku bilang bukan bagian dari mereka. Aku anggota mereka."

Dug!

Edward berdiri mengepalkan tangan dan meninju tembok. "Anjing!"

"Aku punya alasan, Ed. Dengarkan dulu penjelasakanku," pinta Rama.

Edward membalikkan badan dan menatapnya tajam seraya bersiap mendengarkan.

"Aku jual barang ini cuman buat orang dewasa, bukan anak sekolah kaya kita. Perihal Willy, itu bukan tanggung jawabku karena aku baru saja mulai di Jakarta saat tiba di sini, yang berarti saat itu di luar jangkauanku," tegasnya.

Edward tak percaya dengan omong kosong itu, dia pergi bergegas ke kamarnya.

Gelisah tak terkontrol, amarah dan kecewa bercampur aduk. Entah mana yang harus ia percaya, yang pasti Rama memang pengedar dan Abdul adalah tersangka utama.

Rama bergegas menyusulnya ke kamar.

Tok Tok Tok!

Tanpa ada izin, ia masuk begitu saja.

"Ed, aku belum selesai."

Edward tampak tengah berdiri di depan jendela membelakanginya. Rama menambahkan ceritanya, "Maaf, Ed. Aku nggak bermaksud kasar padamu. Aku punya alasan kenapa aku masuk ke perdagangan haram ini. Aku punya tujuan lain buat obati rasa sakit hatiku. Semua obat yang kujual bukan untuk sembarang orang. Kebanyakan dari mereka itu warga sipil dan pekerja keras. Mereka minta obat itu buat hilangkan rasa stress karena pekerjaan," jelas Rama.

Edward berbalik menegaskan. "Apapun itu, kubenci narkoba, kubenci pengedar, kubenci pemakai, kubenci semuanya!"

Rama pun demikian. Dua orang tersayangnya telah pergi karena Narkoba. Ia mencoba masuk ke dunia perdagangan haram ini karena ingin mengetahui bagaimana zat itu membunuh kakak dan ayahnya.

Rama berkata, "Aku bakal babad habis siapa pun yang pakai narkoba buat kejahatan."

Ed menyeka air matanya dan berbalik, "Kamu nggak perlu jadi orang jahat juga, Ram."

Rama tersedu-sedu dan mendekatinya.

"Aku nggak bisa diam lihat ibu pasrah tanpa tahu kebenarannya, Ed. Sejak kejadian itu, ibu nggak pernah tidur nyenyak."

Terdengar dari caranya berbicara hingga berlinang air mata, tampak jelas dia menyimpan banyak luka.

*****

Beberapa waktu yang lalu, seorang pria datang ke rumah Alisya. Dia berdandan rapi dengan rambut wangi yang bersinar.

"Halo, Alisya?" mengetuk pintu.

"Hai, Kak ... silahkan masuk."

Mereka mengobrol di ruang keluarga. Alisya mengajaknya untuk berkencan, tapi pria itu memilih untuk pergi ke rumahnya, mengingat orang tuanya tengah pergi dinas. Mereka baru saja kenal beberapa minggu. Pria itu sangat baik padanya hingga Alisya terlena dengan semua omong kosongnya.

"Kita nonton film aja, yuk? Kalo pergi keluar kayaknya nggak akan seru, deh. Hujan soalnya," pinta sang pria.

"Tentu, kita nonton saja. Aku siapkan camilan dulu, ya."

Setelah lama menonton film, pria itu mulai bertingkah aneh. Dia meraba tubuh Alisya dengan wajah teler. Alisya coba melawan namun genggaman pria itu terlalu kuat.

"Lisya, aku udah lama suka sama kamu. Kenapa kamu suka abaikan aku?" ujar pria itu yang hampir menyentuh pipi Alisya.

"Aku juga suka sama kakak. Tapi, bukan gini maksudnya."

"Kamu tau nggak kalo kamu itu cantik? Semua anak tongkronganku suka sama kamu. Dan ya, aku menang taruhan. Aku menang. Aku juara. Hahahaha!" ucapnya dengan percaya diri.

"Taruhan? Jadi selama ini kakak hanya pura-pura?!"

"Berisik! Kamu milikku sekarang."

"Dasar bajingan!"

Pria itu mendorong Alisya dan menyuntikan tubuhnya sebuah zat yang membuatnya tak sadarkan diri. Dia menikmati tubuh mungilnya tanpa dosa, tanpa rasa sadar, dan tanpa rasa bersalah.

Lelaki itu melucuti badannya, menciumnya dan memperkosa Alisya tanpa ampun.

*****