Chereads / don't blame us / Chapter 5 - wonderment II

Chapter 5 - wonderment II

Hari rabu adalah hari yang singkat karena jam pelajaran hanya sampai pukul 13.00. Pelajaran pertama di kelas Edward adalah Ekonomi.

Mereka di beri tugas untuk merangkum materi dari internet atau buku paket.

"Baik, silahkan kerjakan tugasnya dengan damai. Saya izin ke toilet sebentar."

Saat guru mata pelajaran izin ke toilet, Willy menyapa dan menghampiri Ed. Ia tampak masih enggan menjawab dan diam tak acuh padanya.

"Ed, ke kantin bareng, yuk?"

Edward mematung.

Pak Guru pun kembali dan pelajaran kembali di lanjut. Pagi itu matahari agak terlambat bersinar karena prakiraan cuaca mengatakan akan turun hujan.

Bel istirahat berbunyi.

"Ed! Ke kantin bareng, yuk!" ajak Erik

Edward mengangguk.

"Kenapa mengangguk?" sosor Alvin.

"Giliran aku yang cari teman," batin Edward.

Alvin khawatir saat Edward akan membuka dirinya pada Erik. Dia tak ingin rencananya akan gagal hanya karena waktu yang terlalu cepat.

"Wil, kantin bareng?" Erik menepuk bahu Willy.

"Duluan aja, aku ada urusan," pungkas Willy seraya meninggalkan mereka.

Edward dan Eriko pun pergi berdua dan untuk pertama kalinya Edward membuka percakapan lebih awal. Biasanya, dia tak akan berbicara jika tidak di tanya lebih dulu.

"Rik, kemarin ada berapa orang yang masuk klub Musik?"

"Dikit, Ed. Kan, kemarin si Kiwil yang borong."

"Kalo aku gabung, boleh?"

"Boleh, lah. Boleh banget! Mau ke alat musik apa?"

"Hmm, ada Piano?"

"Mantap! udah tiga tahun nggak ada pianis."

"Jum'at mulai masuk, ya?! Aku tunggu."

"Oke."

Tak ada angin, tak ada hujan, Erik tampak begitu bersemangat menyikapi Edward yang tiba-tiba akan bergabung dengan klub nya.

*****

Alvin ketar-ketir menyimak langkah Edward yang terlalu cepat. Ia tak bisa bertukar tempat karena Edward adalah pemeran utama saat di sekolah.

*****

Banyak orang yang tak berminat pada klub Musik karena di anggap membosankan. Padahal, klub Musik sangat berjasa pada tiap acara atau kegiatan sekolah untuk menghibur warga sekolah.

Selain Olahraga, Edward sendiri memiliki bakat di bidang Seni, ia pandai bermain Piano. Bu Lastri pernah berkata, kakek Edward dulu adalah seorang Maestro musik terutama dalam grup orkestra, maka wajar saja jika jiwa seni melekat padanya.

Tiba di kantin, mereka membeli nasi kuning paket komplit. Erik terus mencoba memancing Edward yang sudah mulai terbiasa mengobrol dengannya. Ini adalah suatu pencapaian yang baik karena setidaknya Edward menanggapi satu teman untuk mengobrol dan berbagi cerita. Erik pula bertanya tentang hal kemarin sore di angkot.

"Eh, by the way, si Kuwil, kok, nggak keliatan batang hidungnya, ya?"

Seakan ada masalah yang dia hadapi, Ed tak menjawab. Erik pun terdiam seraya memainkan sendok. Mereka melanjutkan makan tanpa bercakap.

Beberapa menit kemudian, suasana kantin tiba-tiba ramai. Ternyata Emily and the gang datang dan selalu membuat suasana menjadi ricuh untuk tempat makan.

Erik terkesima oleh Emily.

"Anjir, cakep banget. Kalo dia sodara temanku, udah pasti aku tembak, tuh!" batin Erik.

Erik berniat pergi menghampirinya untuk bertegur sapa, tapi Emily malah duduk di bangku tempat mereka makan karena bangku lain penuh dan kebetulan mereka berada di depan kedai langganan Emily. Betapa senangnya Erik. Edward dan Alvin hanya tersenyum kaku melihat gelagat Erik.

"H, hai Emily, apa kabar?" tanya Erik

"Baik. Aku izin duduk di sini, ya. Bangku lain penuh."

"Silahkan, dengan senang hati."

Emily membalas senyum dengan mata yang menyipit. Erik tak percaya dia duduk di samping wanita yang telah lama ia kagumi. Tiba-tiba, Emily mengulurkan tangan kanannya.

"Emilia. XI Bahasa 2. Panggil aja Emily. Kamu namanya siapa?"

"Eh, hmm, aku Eriko, XI IPS 1."

"Oh iya ... kalo yang di sampingmu?"

"Ini Edward, teman satu kelas."

Edward memalingkan perhatiannya dari Emily berjaga-jaga agar mereka tidak terlihat akrab. Dia tak bisa menahan perasaan yang menggelitik saat menyaksikan adik kembarnya berkenalan lebih dahulu. Setahunya, Emily sangat sombong dan tak pernah tulus merlirik orang yang mengaguminya.

"Oh, ya. Salam kenal, ya," ucap Emily.

Erik tersenyum tersipu malu. Hatinya seketika di penuhi oleh kupu-kupu dan ribuan bunga akasia yang bermekaran.

"Anjir anjir anjir! Demi apa aku duduk bareng Emily. Argh, I'm gonna fly!" batin Erik berbunga-bunga.

"Giliran ketemu cowok cakep, baru melek," celoteh Alvin.

Edward bisa mendengar ocehan Alvin yang membuatnya berpaling menahan senyumnya. Tanpa ia sadari, banyak siswa kelas lain mengampiri bangku mereka.

Edward mengajak Erik bergegas.

"Rik, ayo ke kelas lagi, makin banyak orang."

"Bentar, Ed. Aku mau di...,"

Brak!

"Di mana? Di sini? Ini lapakku! Pergi sana, culun!" seorang siswa berbadan besar mengumpat mereka.

Erik terkejut melihat Bayu, preman 12 MIPA 8 yang tengah menatapnya tajam. Edward menariknya paksa dan melirik sinis Bayu saat melewatinya. Mereka bergegas meninggalkan kerumunan tanpa memedulikan keadaan.

"Siapa sih, itu? Belagu banget."

"Itu si Edward yang kemarin cari perhatian di lapang basket, Bay. Lumayan ganteng juga ternyata," sahut Amir.

"Muka kau pitak! Lebih ganteng aku, lah. Ya, kan, dek Emily?" Bayu menggoda Emily yang terlihat kesal.

"Hehehe. Kakak semuanya, maaf ya, aku mau ke toilet dulu. "

Emily beranjak pergi meninggalkan kantin di susul kedua temannya. Mendengar kakaknya di risak seperti itu membuatnya naik pitam, apalagi itu kali kedua dia menyaksikannya.

Di sisi lain, Emily baru saja memulai penelusurannya untuk mengenal orang yang kakaknya dekati. Ia khawatir orang bernama Eriko tadi hanya memanfaatkan Edward yang naif dan rapuh itu.

"Berani-beraninya jin tomang bermulut besar itu hina Edward," geramnya dalam hati.

"Emily, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Jessika.

"Nggak, Jes. Ke kelas aja, yuk!"

Emily kembali ke kelas dengan wajah yang masam.

Sementara itu, Willy menguntit Edward dan Erik yang tengah berlari dari koridor lantai atas. Ia bisa melihat jelas mereka mengingat bentuk bangunan sekolah yang melingkar dan menyisakan ruang di tengah untuk taman. Dengan terus berpikir keras, Willy mencoba mencari celah dan waktu yang tepat untuk meminta maaf pada Edward. Willy tak ingin menampilkan citra yang buruk padanya.

"Kenapa harus ada anak kelas 12, sih, mana dia kasar banget. Sialan!"

"Lagian, kamu nggak baca situasi, Rik."

Mereka terengah-engah setelah berlari tak jelas di Koridor.

*****

Saat pelajaran akhir, Willy mengirimi Edward pesan Whatsapp. Ia meminta maaf dengan sungguh-sungguh dan merasa sangat malu atas apa yang dia lakukan kemarin.

"Ed, tolong maafkan aku. Awalnya aku nggak ingat apa yang buat kamu marah. Setelah sadar, ternyata aku nggak tau diri dan nggak tau di untung. Tolong maafkan aku, Edison, please...,"

Edward hanya membaca pesan itu.

Erik pun mengirimi pesan mengajak Edward pulang bersama.

"Balik bareng?"

Ed menengok ke bangku belakang dan mengangguk setuju.

Willy kesal melihat mereka.

Cih!

*****

Bel berbunyi, semua siswa pulang dengan muka kusam berminyak khas anak sekolah. Erik dan Edward berjalan bersama di koridor. Tiba-tiba, Willy datang dan berlutut pada Edward. Ia terkejut dan seketika membuat semua siswa di koridor menyaksikan kejadian itu, termasuk Erik yang kehilangan kata-kata.

Erik tak mengerti apa yang telah terjadi sampai Willy bersikap demikian. Willy cenderung keras kepala dan egois, tapi di depan Edward dia benar-benar berlutut memohon maaf.

"Edward, aku minta maaf."

Telinga Edward memerah, ia merasa sangat tidak nyaman saat orang-orang menatapnya.

"Wil, kamu kenapa, sih?" gumam Edward.

Edward mencoba merangkul Willy untuk berdiri. Ia berbisik pada Willy untuk segera berhenti membuat suasana tidak nyaman. Semua mata tertuju pada kejadian itu, termasuk Emily yang melihat dari tangga.

Jessika menyinggung lengan Emily. Dia hanya diam dan matanya tertuju pada mereka. Alisya pun sama saja. Mereka bertiga terdiam sejenak hingga Alisya tak sengaja bergumam dan terdengar jelas oleh mereka.

"Ada apa, sih, Bang?"

Sontak Emily menoleh pada Alisya. Ia terkejut siapa yang dia panggil 'Bang.' Seharusnya Emily sendirilah yang bergumam demikian. Perhatian mereka kembali tertuju pada dua anak itu.

Willy membuat sandiwara yang mengundang rasa iba orang banyak. Terdengar desas desus anak lain melontar pada mereka. Wajah Edward memerah dan pelipisnya mengeluarkan keringat dingin. Melihat suasana kian tak bisa di pahami, Erik mencoba mencairkan suasana.

"Woy! sebenarnya ada apa, sih? Aku nggak ngerti, Aku nggak paham, aku ikan," ucap Erik penuh heran.

Edward merangkul Willy dengan sedikit paksaan dan membawanya ke toilet. Erik mengikuti mereka dengan wajah penuh tanya.

"Kamu kenapa, sih, Wil?" Edward mendongak dengan mimik yang seram.

Willy hanya tertunduk seraya menggaruk-garuk jarinya yang tak gatal.

"Ada apa, sih, Anjir? Drama pisan si Kiwil mah," batin Erik.

"Oke, gue maafkan," tegas Edward.

Willy berjanji akan menjadi teman yang baik dan tahu batasan. Ia memohon agar Edward tetap bergabung di tim Basket nya. Edward memaafkannya dan tidak akan keluar dari klub Basket. Karena kini, ia memegang tanggung jawab terhadap rekan dan adik kelas yang bergabung kemarin.

"Makasih, Edison!" Willy memeluknya penuh haru membuat Ed seketika menepisnya.

"Sorry, refleks."

Erik terdiam dengan wajah tampan dan polosnya, menyaksikan sebuah adegan serial drama yang ia tak tahu apa masalahnya.

Edward bergegas meninggalkan mereka yang mematung. Saat hendak pergi, Erik menahan lengannya.

"Bukannya kita mau pulang bareng?"

Edward menghela nafas panjang seraya mengangguk.

Willy dan Erik mengikuti Edward dengan tergesa. Tiba di depan gerbang, Edward sudah memesan taksi online untuk pulang.

"Dengan Edison?" tanya pak supir seraya menyipitkan matanya.

"Betul, pak," sahut Edward.

Di perjalanan pulang, Willy sempat bingung siapa yang akan membayar, mengingat uang jajan mereka pas-pasan.

"Psst! Siapa yang bayar?" bisik Willy pada Erik.

"Nggak tau. Kamu, aja, aku bokek."

"Lha, aku juga sama."

"Psst!" sahut Ed.

Edward yang membayar.

"Thanks, Alvin. Kalo kamu nggak ambil alih, aku pasti udah malu banget di sana," batin Edward.

"Santai, aku di sini memantau," jawab Alvin dalam benak Edward.

Memang merepotkan memiliki dua jiwa dalam satu raga.

*****

Dalam taksi, Edward ingat jika ia harus segera membeli sepatu basket yang baru atas permintaan Alvin semalam.

Ed meminta mereka untuk menemaninya ke pusat perbelanjaan.

"Kita ke Mal dulu, ya," ujar Edward dari kursi depan.

Willy dan Erik sontak saling menatap kikuk.

Tiba di Mal, Willy dan Erik di bawa menuju toko olahraga yang mahal dan bermerek. Willy menganga melihat harga sepatu-sepatu yang berjajar rapih di sana.

"Ed, nggak salah harganya?"

Mendengar ucapan Willy. Edward berinisiatif untuk membelikannya sepasang sepatu baru. Dia ingat minggu lalu di mana hari demonstrasi berlangsung, Willy memakai sepatu yang telah usang.

"Kamu mau, nggak? Biar sekalian.

Wajah Willy memerah. Willy tak bisa berhenti menatap Edward seraya menunggu jawaban dari tawarannya.

"Serius. Anggap aja sebagai permintaan maaf," tutur Alvin.

Edward tertidur dalam benaknya yang sontak membuat Alvin harus mengisi tempat.

Erik menimpali dengan nada mengejek. "Tuh, Kiwil! Harusnya kamu yang traktir dia sebagai permintaan maaf, bukan malah sebaliknya."

"Ya, kan, kamu tau sendiri...," ucapnya memelas.

"Hmm, mau, nggak?" Ed menyipitkan matanya dengan senyum kaku.

"Oke... T, tapi bener nggak apa-apa?"

Ed memasang muka datarnya. "Mau nggak?!"

Willy bergegas berkeliling mencari sepatu yang cocok.

"Maafkan tingkah aneh si Kiwil ya, Ed," timpal Erik.

Ed hanya mengangguk dengan tetap memusatkan pandangannya pada jajaran sepatu di hadapannya.

"Bercanda, kok," jawabnya.

Seketika Edward mengalihkan pandangannya pada Erik seraya mengangkat sebuah sepatu di tangannya.

"Rik, you want it, too?"

"No, thanks. I have one and it's enough. That's just not my thing. I'm a nerd in music. You know it, right?"

"Got it."

Melihat tingkah laku temannya yang sangat acak, Edward hanya tersenyum. Ini adalah kali pertamanya mengajak orang lain belanja bersama. Selama dia berada di kelas 10, Alvin selalu melarang Edward untuk berinteraksi dengan mereka.

Willy menemukan sepatu yang cocok dengannya. Seleranya cukup unik.

"Muach ... kesayangan baru," ucap Willy seraya mencium sepatu barunya.

Erik terkikik-kikik dan berbisik, "Dasar bocah freak!"

Mereka kembali pergi menyusuri Mal itu untuk menuju toko lain.

Edward membawa mereka ke sebuah toko buku yang sudah menjadi legenda. Ada banyak sekali jenis bacaan yang bisa di temukan di sana. Ed bertujuan untuk membeli beberapa novel yang tengah hangat di perbincangkan juga dengan beberapa chapter komik.

Whoa!

Erik sangat senang karena ia menemukan chapter komik yang tak bisa ia temukan di perpustakaan sekolah. Sementara, Willy yang atraktif seketika terdiam karena dia benci membaca.

"Ed, banyak amat, stok buat berapa bulan, tuh?" tanya Erik

"Sebulan juga nggak akan sampai."

"Kamu bener-bener kutu buku, ya!"

Edward mengikik.

"Jadi, kalo gitu, kerjamu baca komik, dong, bukan belajar?"

"Jangan sok tau, mau tambah lagi nggak? Biar sekalian."

"Siap! Kalo gitu kutambah 3 buku lagi, ya. Thank you, nih."

Edward mengangguk.

"Wil, kamu mau buku atau komik? Ambil aja, nanti biar sekalian."

"Nggak, Ed. Thanks. Aku nggak suka baca," jawab Willy tenang.

Edward gemar sekali membaca novel. Sedangkan Alvin tak pernah tertinggal membaca komik langganannya. Alvin membentuk pribadi dirinya yang lain dengan lebih lembut dan lugu untuk menutupi identitasnya yang sesungguhnya.

Setelah semua buku di kemas dan di bayar, mereka mampir ke satu tempat lagi untuk makan. Kali ini, Erik menolak di traktir Edward karena merasa tidak nyaman. Tapi saat hendak membayar, mereka kehabisan uang.

"Tuh, kan, Rik. Kita bokek, ya, bokek aja, lah."

"Iya, Wil. Jadinya tetep si Edi yang bayar."

"Udah, lah, nggak apa-apa, mau balik sekarang? Biar aku pesan dulu taksi...,"

"Jangan! Kita naik angkot aja," ajak Willy dengan nada rendah.

"Iya, Ed. Angkot aja, hehe. Lebih terjangkau ^^" tambah Erik.

"Okay."

Padahal, itu tak seberapa bagi Edward di banding rasa sepi yang mulai hilang karena mereka.

*****

Hari mulai sore dan tampak mendung, mereka bergegas pulang.

"Guys, aku mau mampir ke rumah kerabat dulu. Thanks, ya!"

Erik turun lebih awal untuk pergi ke rumah bibinya karena ada urusan mendadak. Hanya tinggal Edward dan Willy. Alvin kembali memegang kendali karena Willy adalah orang pilihannya.

"Wil, kenapa kamu harus kaya gitu tadi?" tanya Edward pelan.

"Lagian, kamu keras kepala banget," timbal Willy.

Ed mengacungkan jari tengah ke hidungnya.

"I'm sorry?! Tapi serius, Ed. Aku minta maaf tulus banget tadi. Jangan anggap bercanda, ya?"

Edward diam seraya merasa heran dengan sikap Willy yang aneh sejak kejadian itu.

"Ed, sebenernya gue...,"

Ponsel Edward berdering.