Hari berlalu begitu cepat. Edward ingat ia berjanji pada Erik akan bergabung dengan klub Musik hari ini. Waktu latihan untuk klub musik berbeda dengan yang lain. Mereka memberi kelonggaran pada setiap anggota untuk pulang ke rumah terlebih dahulu dan kembali dengan setelan yang berbeda. Juga, mereka memliki kaos khusus latihan lengkap dengan jaketnya.
Karena Edward belum memiliki kaos latihan. Ia berinisiatif mengganti pakaiannya dengan kaos hitam. Ed merasa cuaca hari ini terlalu terik hingga ia harus menutupi kepalanya yang berkeringat itu dengan topi hitam.
Setelah berganti pakaian, Edward memutuskan untuk pergi ke sebuah cafe dekat sekolah sembari menunggu waktu latihan klub musik di mulai. Dia masih memiliki cukup waktu untuk memesan kopi dingin di teriknya mentari Jakarta.
Edward duduk di bangku pojok kafe yang pemandangannya mengarah langsung ke trotoar dan jalan. Ia dengan jelas bisa melihat orang hilir mudik melakukan aktivitas mereka.
Saat tengah menyesap kopi, Ed melihat Fitri berjalan membawa banyak sekali bahan makanan untuk klub nya berlatih hari ini. Dia melihat Fitri kewalahan menenteng dua buah tas besar itu. Ed hanya memperhatikannya dengan seksama. Saat hendak menyebrang, seseorang menyerempet Fitri hingga membuatnya tersungkur dan menumpahkan semua isi jinjingan itu.
"Hei bangsat! Yang bener kalo bawa motor!"
Ed bergegas menyusulnya. Ia tampak kesusahan dan marah setelah terjatuh dan spontan memaki pengemudi motor sialan itu. Edward mencoba merangkulnya, tapi Fitri menepis. Ia sontak menarik kerah baju Edward dan mendorongnya ke dinding kafe. Edward terkejut dan heran mengapa Fitri bersikap kasar. Seketika ia sadar jika dirinya tengah memakai topi saat itu. Fitri mencengkram kerah itu cukup lama hingga dia mendelik melihat sosok yang ia genggam.
"Edward! Kok kamu ada di sini?!"
Fitri menurunkan tubuh Edward yang kelimpungan dengan refleks bela diri yang di lakukan Fitri.
"Maaf, Fit," ucap Ed sembari merapikan kerah bajunya.
Fitri bertanya apa yang dilakukannya di sini. Karena tak biasanya ada Edward di luar sekolah. Edward spontan bercerita mengenai rencana kegiatannya hari itu.
"Oh, jadi, kamu lebih memilih klub si Eriko daripada denganku?!" ucap Fitri ketus.
Edward kebingungan menyikapi Fitri yang tiba-tiba menjadi cemberut.
Setelah kembali memunguti bahan makanan tadi. Edward meninggalkan Fitri begitu saja ke dalam cafe. Fitri hanya menoleh dan mengangkat bahunya melihat Edward pergi tanpa sepatah kata sembari bersiap menyeberang.
Menyadari Fitri sudah masuk ke lingkungan sekolah, Edward bergegas menyusulnya dengan membawa dua buah kopi dingin yang baru saja ia pesan.
Edward mempercepat langkahnya hingga setengah berlari untuk menyusul Fitri.
"Fit, tunggu!" seru Edward di koridor lantai dua gedung ekstrakurikuler.
Fitri menoleh dan menghentikan langkahnya menunggu Edward menghampirinya. Ed terlihat terengah-engah setelah berusaha memanggil Fitri.
"Kenapa?" tanya Fitri datar.
Edward mengangkat tangannya yang memegang kopi pada Fitri dengan senyuman yang kaku. Fitri berdengus melihat Edward yang tampak merasa bersalah padanya. Padahal, seharusnya Edward yang marah karena Fitri hampir menghajarnya.
Mereka berdua duduk di bangku koridor di depan ruangan klub memasak yang masih sepi.
"Jadi, kamu sogok aku dengan kopi ini?
Edward mengangguk.
Fitri tak kuasa menahan tawa melihat gelagat Edward yang sangat berbeda dengan yang selalu dia tunjukkan di kelas. Edward menatapnya heran sembari menggigit bibir bawahnya.
"Oke, deh, aku maafkan. Lagian, seharusnya aku yang minta maaf," ujar Fitri serius.
Edward menyesap kopinya alih-alih memberi jeda pada percakapan yang ia rasa aneh itu.
Tiba-tiba, seorang gadis melambai ke arah mereka dari arah tangga. Fitri membalas lambaian itu dengan penuh semangat. Edward hanya diam sembari mengalihkan pandangannya.
Gadis itu menghampiri mereka dengan sapaan yang hangat. Dia memiliki lesung pipit yang indah dengan rambut panjang yang di ombre. Matanya berkilau biru bagaikan lautan di siang hari. Edward tak bisa berhenti mencuri pandang pada gadis itu.
"Udah lama nunggu, Fit? Ada siapa aja?"
"Belum ada siapa-siapa. Tau bakal begini mending aku telat aja," jawab Fitri kesal.
Gadis itu mengalihkan pandangannya pada Edward yang telah lama menyimak percakapan mereka. Ia mengulurkan tangan pada Edward yang seketika membuatnya gugup.
"Hai, aku Angel."
"Angelo," jawab Edward spontan.
"Bukannya kamu Edward, ya?" tanya Angel.
Wajah Ed memerah. Ia tak berpikir jernih mengapa harus menjawab spontan seperti itu. Melihat gelagat Edward, Fitri merasakan suasana ini sukar bagi Edward. Ia mencoba menjawab Angel dengan sedikit penekanan.
"Iya dia Edward! Edison Angelo Prince Wardiana. Dia comot nama tengahnya," cerocos Fitri.
Edward hanya tersenyum kikuk sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Oh, ya, sudah, aku panggil kamu Angelo aja, biar nggak lupa," pungkas Angel.
Fitri menoleh pada Edward yang tertunduk dengan keringat yang bercucuran. Ia mengerti jika Edward tidak bisa bersosialisasi dengan baik, bahkan dengan seorang gadis yang rupawan.
"Kamu nggak apa-apa? Fitri menepuk bahu Edward.
"Nggak apa-apa."
"Aku masuk dulu, ya!" pungkas Fitri.
Fitri menatapnya untuk beberapa detik dan kembali menepuk pundaknya. Ia beranjak masuk ke ruang klub dan pamit pada Ed.
"Dasar anggota tolol! Nggak tau diri!"
Angel masuk ke ruang klub dengan berteriak memaki anggota klub lainnya yang selalu terlambat. Edward semakin menundukan kepalanya mendengar ocehan gadis itu. Saat menunduk, ia melihat jam tangannya dan sadar sebentar lagi klub musik akan segera mulai. Ia bergegas turun ke lantai satu dengan tetap menggenggam kopinya.
Riuh suara orang di dalam klub membuat hati Edward semakin tidak karuan. Ia mencoba mengatur nafasnya sembari bolak-balik di koridor. Saat berbalik ia melihat Erik melambai padanya dari arah pintu klub. Edward menghampirinya dengan perasaan amat gugup.
"Ayo masuk!" ajaknya.
Ed masuk dengan tidak percaya diri.
"Mohon perhatiannya!"
Erik meminta semua anggota untuk diam sejenak. Ia mengumumkan ada satu anggota baru yang akan mengikuti klub musik.
"Halo, namaku Edison Angelo Prince Wardiana, panggil aja Ed atau Edward, alat musik yang akan kuambil ... piano. Salam kenal semuanya," ucapnya dengan nada gugup.
"Selamat datang Edward!" sahut semua anggota.
Ed membalas senyuman semua orang.
"Here you go, Edison," ucapnya dalam hati.
*****
Dalam sebuah apartemen pencakar langit. Tampak seorang anak laki-laki berseragam SMA swasta ternama tengah menghadap jendela kesal pada ibunya. Ia tak mengerti kenapa dirinya harus hidup berdasarkan kehendak orang tuanya.
"Terus mama mau aku seperti apa?" tanya anak itu dengan lantang.
Sang ibu membalikkan tubuh anak itu dan menatapnya tajam. Ia meminta agar tetap menuruti semua hal yang telah ibunya rencanakan sejak beberapa tahun lalu. Dia tak ingin pemeran utama dalam skenarionya ini menjadi orang yang berontak atau bahkan menjadi pengkhianat.
"Erik udah lakukan yang terbaik sejauh ini. Kapan mama akan memberiku kebebasan?"
"Mama ingin kamu jadi teman anak Elang. Dekati dia dan selidiki apakah dia tahu siapa jati dirinya atau tidak?"
Erik mendengkus lalu pergi meninggalkan ruangan ibunya.
"Perlu saya antar, tuan?" tanya seorang pria berjas di balik pintu apartemen.
"Tidak usah," jawabnya ketus.
Erik memasuki lift dengan wajah yang muram. Waktu menunjukan pukul 12.40, ia bergegas kembali ke rumahnya untuk berganti pakaian. Dia ingat ini adalah hari Jum'at, hari klub musik berlatih. Supir pribadinya telah menunggu di lobi apartemen.
"Langsung ke sekolah, Tuan?"
"Ke rumah dulu saja," pungkasnya.
Erik hanya diam selama di perjalan alih-alih meredam amarah terhadap ibunya.
Sang supir membawa Erik pada rumahnya yang satu lagi.
Tiba di rumahnya, ia ingat jika Edward akan bergabung dengan mereka mulai hari ini.
"Semoga dia betah," gumam Erik sembari bercermin menata rambutnya.
Erik menutupi identitas aslinya dengan selalu berdandan sederhana. Ia tak ingin di anggap sombong dan angkuh karena memiliki orang tua yang kaya raya. Sebab itulah, dia selalu bersikap seperti anak biasa yang sederhana.
Angkutan umum siang itu sangat penuh. Dia harus berdesakan dengan orang banyak dalam bis.
"Tau bakal begini aku minta diantar aja," gerutu Erik.
Tiba di sekolah, Erik nyaris saja terlambat. Saat berlari memotong jalan dengan melewati lapangan basket, dia melihat Edward tengah mengobrol dengan Fitri dan seorang gadis di koridor atas. Edward sempat menoleh, tapi nampaknya ia tak acuh dengan Erik yang sama-sama memakai topi hitam.
*****
Gemuruh tepuk tangan menggema di ruang klub musik. Rupanya Edward baru saja memainkan piano di hadapan semua anggota. Mulai saat ini, klub tidak akan kesulitan mencari orang untuk melengkapi kekurangan anggota, terutama ketika hendak di gelar pentas dan lomba.
Erik mengacungkan kedua ibu jarinya dengan senyuman lebar penuh rasa bangga. Edward beranjak dan membungkuk pada mereka berterima kasih.
*****
"Rupanya anak elang bergabung dengan klub singa, apa yang harus kita katakan pada Hiena?"
"Lebih baik kita diam dulu saja, ini akan menjadi buah bibir di organisasi kita. Kita tidak bisa sembarangan menyebarkan berita ini," pungkas seorang pria berbisik pada penyuara telinga yang melekat di telinga kanannya.
*****