"Yang bener, Ed?!" ucap Willy lantang.
"Jadi, nama belakang kalian 'W' itu sama?" sahut Erik.
"Ya, Wardiana," jawab Emily.
"Berarti pikiranku yang merasa kalo muka si Edward sama Emily itu mirip, bener?"
Ed mengangguk.
"Ah, benar! Rambutmu berubah, Edison! Sekarang keliatan banget miripnya," celoteh Erik.
Erik tak percaya jika anak famous di sekolahnya adalah saudara kembar sahabatnya sendiri.
Emily membuka suara jika sebenarnya ini adalah keputusan Edward untuk memilih tak saling membuka identitas. Ia tak ingin adiknya merasa malu karena memiliki kakak yang sosiopat. Namun, ternyata mereka tak berpikir demikian. Mereka senang karena akhirnya Ed mulai bisa membuka diri. Mereka pergi ke kelas masing-masing dengan ribuan pertanyaan.
Di kelas, Fitri bertanya banyak hal.
"Ed, kamu nggak bercanda, kan?"
"Nggak lah, Fit. Emily memang kembaranku."
"Kau memang anak anjing, ya! Kukira kau anak tunggal kaya raya."
"Dunia Webnovel, kali."
"Eh, suka baca Webnovel?"
"Iya, lah."
"Anjir?!" Fitri mengerling.
Di sisi lain, Edward kesal karena keputusannya begitu naif dan membuat dirinya sendiri semakin khawatir jika adiknya di makan oleh ganasnya popularitas.
Ia tak pernah menyangka jika di kenal banyak orang tak sepenuhnya berdampak positif. Rupanya, Edison menyesal karena telah bersikap tak acuh pada saudara kembarnya di sekolah.
Kini, Fitri mengerti alasan mengapa Edward sulit untuk bergaul, ternyata dia sangat berhati-hati dalam memperlakukan orang lain dengan sifatnya. Sejak saat itu, Edward meminta Fitri berjanji untuk selalu menjadi teman curhat tentang semua masalah pribadinya.
"Kau paham, kan, Fit?"
"Damn, aku nggak pernah mikir ke sana, Ed. Aku janji nggak bakal jadi ember bocor. Even ke si Amel," tegasnya.
Di kelas Emily, dia di tanyai banyak siswa genit perihal kebenarannya. Teman sekelasnya tak habis pikir kenapa mereka harus bersikap asing di sekolah. Padahal, Edward akan sangat keren jika tidak anti-sosial seperti adiknya.
Mereka meminta Emily untuk membuat Edward lebih terbuka terhadap orang lain, terutama pada para siswi yang menyapa dan mengiriminya pesan. Emily hanya mengangguk ramah alih-alih mengerling. Kedua teman dekatnya pun bertanya bagaimana sikap Ed di rumah dan sebagainya,
"Emily, si Edward di rumah begimana sikapnya? Kepo banget aku," tanya Alisya dengan penuh semangat. "Iya, terus dia emang seseram mukanya nggak, sih? Which is kan tiap kulihat mukanya, aura psikopat bang—," Jessika menimpali.
"Heh!" semprot Alisya.
Emily menjelaskan semua tentang kakaknya pada kedua sahabatnya. Mereka takjub karena di balik sikapnya yang sosiopat terhadap khalayak, dia bersikap sangat bertanggung jawab dan bijak di rumah.
*****
Emily tengah makan bersama dengan Alisya dan Jessika. Kakak kelas 12 menghampirinya dan bertanya tentang rumor itu.
"Emily, si Edward culun itu bener kembaran kamu?"
"Iya, Kak."
"Hahaha ... kenapa nggak kamu simpan aja orang aneh itu? Lagian kalo aku jadi kamu, aku nggak mau tuh punya kembaran aneh kayak gitu."
Di pojok kantin, Ed mendengar perkataan mereka. Ia mengepalkan tangannya dengan geram dan berdiri.
"Woy anjing, apa maksudmu?!"
"Eh, ada di sini ternyata. Heh, cupu! Kalo lo mau rebut gebetan gue, lo harus langkahi dulu mayat gue! Mentang-mentang bawa mobil kinclong, seenaknya rebut gebetan orang!" celotehnya.
Ed menghampirinya sembari menyeringai dengan muka psikopatnya.
"Haha ... gebetan?! Modelan seperti ini mau jadi gebetannya?! Ngaca! Seenggaknya kalo ;o nggak punya muka, punya attitude yg baik lah, Bangsat!"
Melihat suasana kian memanas, kantin makin ramai dipenuhi orang-orang yang penasaran dan mulai berkumpul.
"Banyak bacot kau, Anjing!"
Bugh!
Emily yang tengah duduk tiba-tiba berdiri di tengah mereka dan pukulan Yusuf itu mengenai wajahnya. Kejadian itu membuat ricuh semua orang yang menyaksikan. Mereka hanya saling menatap satu sama lain tanpa memberikan bantuan atau mencoba melerai. Alisya dengan sigap membawa Emily ke UKS.
"Emily!"
Setelah salah sasaran dalam melancarkan tinjunya, deru nafas Yusuf terdengar sangat jelas membuat Edward tak bisa menahan amarahnya. Edward meledak bagaikan mesin yang kehilangan kendalinya.
Bugh!
Argh!
Dugh!
Sraat!
Willy terkejut melihat Edward mengamuk seperti bukan dirinya. Ia mencoba melerai mereka dengan sedikit rasa takut.
"Ed, Ed, Edison! Udah! Kamu bisa bunuh dia!" teriaknya.
Erik bergegas memanggil guru terdekat.
"ADA APA INI?" bentak guru olahraga.
Suasana kantin semakin ramai bak arena tinju. Edward kalap mengamuk, membuat Erik dan Willy tak bisa berkutik. Diri Edward seperti hilang dari permukaan. Ia tampak di kuasai orang lain. Tak ada yang bisa menghentikannya. Guru olahraga pun babak belur hanya dengan satu pukulan saja.
Edward mendengar Erik terus mengoceh kata yang paling ia benci. Semakin Erik meracau, kepalanya semakin berat dan ia merasa amat sangat pusing.
Edward berdiri dengan tangan yang penuh darah seraya menepuk-nepuk kepalanya.
"Semuanya, bubar!" teriak pak satpam.
Sekuriti datang melerai mereka berdua. Edward terus mendengar Erik berceloteh kata yang paling ia benci. Kepalanya berdengung kencang hingga membuatnya terkapar pingsan bersama dengan Yusuf.
Mereka berdua dilarikan ke rumah sakit.
"Edward!"
*****
Perawat UKS dengan sigap memberi pertolongan pertama pada Emily. Jessika makin panik melihat hidung Emily yang tiba-tiba mimisan.
"Tenang, ya, biar saya tangani dulu, Jessika bisa tunggu di luar?" pinta sang perawat.
Jessika mematung, hingga Alisya menepuk pundaknya dan membawanya keluar.
"Ayo, keluar dulu, Jes," titah Alisya.
Mereka menunggu dengan perasaan penuh khawatir. Beberapa saat kemudian, seorang guru dengan paras yang rupawan dan beraroma mint datang menghampiri mereka. Ia bergegas menuju ruang perawatan.
"Emily, kamu nggak apa-apa? Apa yang terjadi?" tanya bu Resni, wali kelasnya.
"Edward mengamuk karena Yusuf goda dia, Bu," jawab Emily seraya meraba pipi kanannya yang terlihat merah.
"Ya ampun," bu Resni segera meraba ponsel di tasnya dan menelepon seseorang.
*****
"Emily mana?"
"Aman, Ed. Dia ada di UKS sekolah. Kamu sekarang di UGD soalnya tadi tiba-tiba sesak nafas," jawab Willy.
"Sesak nafas?"
Fitri heran. "Iya. Kamu nggak inget?"
"Nggak. Seingatku tadi kakak kelas 12 bikin aku kesel dan Emily pingsan."
"Terus kamu nggak sadar udah itu?" tanya Willy dengan sedikit penekanan.
Edward hanya menggelengkan kepala dengan pikiran yang masih kosong dan kacau.
"Kakak kelas 12 itu nggak apa-apa, kan?"
"Anu, Ed, hidung dia patah."
"Hah?!"
"Tadi pas kamu gebukin nggak inget apa?"
"Gebukin apa, sih, Wil? Orang aku cuman kesel doang," semprot Edward.
Fitri dan Willy terdiam heran mendapati sikap Edward yang aneh, seperti ada yang tidak beres.
"Eh, mau kemana?"
Ed bergegas mencari kamar Yusuf untuk meminta maaf. Ia menyusuri tiap bangsal untuk mencari keberadaan Yusuf saat ini. Melihat ada seorang anak yang kelimpungan, suster membantunya menemukan orang yang dia cari seraya memintanya untuk tidak tergesa-gesa dengan keadaannya saat ini.
Yusuf nampak terbaring di salah satu bangsal lantai bawah.
"Bang, aku minta maaf," ucap Edward seraya menunduk.
"Iya, Bro. Maaf karena aku telah membuatmu marah dan nggak percaya kalo Emily itu adikmu."
"Aku bakal tanggung jawab, Bang. Biar aku yang bayar biaya rumah sakitnya."
"Makasih, Ed. Tadi ada orang datang kesini bilang dia pamanmu. Katanya jangan khawatir soal biaya."
"Oh, gitu, ya," sahutnya dengan nada penuh bersalah.
Ed merasa malu dan berdosa. Ia harus bersiap untuk menjelaskan apa yang terjadi pada ibunya.
Ponselnya berbunyi.
"Pukul 20.00 paman ke rumah dan jelaskan semuanya."
Ed menghela nafas panjang seraya menyusuri koridor rumah sakit.
Huft.
Hari mulai petang dan dia lupa mobilnya masih di sekolah.
"Mobil gue?!"
*****
"Halo, ini dengan Resni, wali kelas Emily. Saya ingin mengabari jika Edward mengamuk di kantin dan menghajar seseoranh hingga babak belur. Mereka berdua pingsan dan sedang di larikan ke rumah sakit."
"Baik, terima kasih informasinya."
*****
Setelah mengantar Willy dan Fitri pulang, Emily mengirim pesan.
"Ed, aku lagi di rumah Alisya. Ada tugas dadakan buat besok. Wajahku masih bonyok tapi nggak apa-apa. Kau udah balik, kan? Tadi kenapa sih pake di ladenin?"
"Aku di jalan pulang. Nanti telepon aja."
"Oke, Bang. Entar cerita lagi sama aku, ya."
"Alvin, apakah tadi ulahmu?"
Edward meringis mengingat Alvin telah lama pergi dan tak kunjung kembali.
Edward merenung mengkhawatirkan ada sosok selain Alvin dalam dirinya. Buktinya, ia hilang kendali atas apa yang di lakukannya hingga Yusuf babak belur.
Apakah ini akan lebih baik atau sebaliknya? Di hari pertama saja sudah ada kekacauan. Pikirannya berkecamuk di tengah macetnya ibu kota.
"Nak, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya bu Lastri dengan nada penuh khawatir. "Aku baik-baik aja, Bu."
Edward menyalakan radio dan mendengar berita kecelakaan tadi pagi, ternyata orang itu adalah mantan narapidana. Kasusnya adalah pengedaran narkoba dan juga pelecehan seksual.
"Serem banget orang zaman sekarang."
*****
Hari menjelang malam, Emily minta untuk di jemput. Edward dengan segera pergi bersama mobilnya di tengah hujan. Rumah Alisya lumayan jauh, membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit. Sesampainya di sana, ternyata pekerjaan mereka belum selesai, terpaksa Ed harus menunggu.
"Silahkan kopinya, Kak."
"Makasih, Alisya." ucap Ed.
"Sama-sama, kak. Maaf ya jadi nunggu, soalnya tadi kita malah asik nonton drama, bukan nugas, hehe."
Ed hanya mengangguk dan melirik tajam, membuat Alisya ketakutan.
"Apa susahnya di kerjakan dulu habis itu nonton?! Tau bakal begini mah kuminta dia menginap aja," batin Ed menggerutu.
Jam berdetak memutar waktu. Rintik suara hujan membuat Edward mengantuk.
"Edward, ayo, pulang," ucap seorang gadis yang memaksanya bangun.
"Ah, iya, ayo," sahutnya seraya menggeliat.
Pekerjaan Emily selesai dan mereka bergegas pulang.
"Terima kasih, kak Edward," ucap Alisya dengan senyuman lebar.
Edward yang masih mengantuk hanya mengangguk dengan mengacungkan ibu jarinya.
Di mobil, Emily mendapat pesan dari Alisya bahwa benar saja kakaknya itu menyeramkan. "Dia hanya mengucapkan terima kasih, itu pun dengan nada yang datar."
Emily tertawa. "Ini Alisya bilang katanya abang serem banget, nyuguhin kopi aja rasanya kaya ospek ekskul."
Edward mengikik.
*****
Tiba di rumah, om Wandi sudah duduk menunggu mereka pulang.
"Dari mana?"
"Ini paman, habis jemput Emily kerja kelompok."
"Emily, ikut duduk dulu, Nak."
Mereka bertiga duduk dan suasana mulai tegang.
"Edison, coba ceritakan apa yang sebenernya terjadi?"
"Jadi ... tadi, kan, aku lagi makan di pojok kantin sama teman-teman. Nah, aku liat dan denger kalo Emily di ejek karena di tuduh pacaran sama aku dengan alasan mengaku sebagai kembaran. Padahal, orang lain percaya, kecuali dia. Orang itu jelek-jelekin aku dengan sengaja karena suaranya lantang terdengar. Ya, aku kesel, lah! Udah mah dia ngaku-ngaku gebetan Emily, dia ejek aku juga. Terus pas dia nonjok, tiba-tiba Emily berdiri di tengah kita dan dia yang kena. Di sana aku marah dan lupa apa yang terjadi sampe tiba-tiba di UGD," Ed terisak tangis.
"Bener ceritanya begitu, Emily? Abang kamu nggak sengaja mancing buat berantem, kan?"
"Nggak!" jawab mereka serentak.
Huft.
"Ya, sudah, kalian naik ke kamar, mandi, dan istirahat, ya," ujar Wandi.
Emily naik ke kamarnya. Saat hendak pulang, Wandi menepuk pundak Edward dan berbisik,
"Kamu yakin baik-baik aja? Apa kita perlu ke sana lagi?"
"I'm fine, Om. I can handle it, I promise." Ia berbohong pada pamannya, mengingat luka lama yang sulit untuk dilupakan.
Wandi hanya mengehela nafas dan bergegas pulang.
"Baiklah. Paman pulang, ya."
*****
Keesokan paginya, tercium bau masakan.
"Tumben pagi-pagi ibu masak," gumam Edward seraya berjalan menuju kamar mandi.
Di kamar mandi, dia berusaha memanggil Alvin, tapi ia tak kunjung hadir. Alvin bagai telah hilang di telan bumi.
Lepas mandi, ia segera memakai seragamnya kembali. Saat tengah mencari seragam itu, dia terkejut karena terdapat ada noda darah di kemeja itu. Dia hampir lupa dengan kejadian kemarin.
"Berarti aku pakai yang mana, ya?" Dia terus bergumam sembari mengacak-acak lemari mencari kemeja yang lain.
"Ketemu!" Ed menemukan kemeja yang persis ia kenakan dengan hari kemarin.
"Apa ini artinya dia udah berhenti membelengguku?" gumam Edward seraya menatap cermin menata rambutnya.
"Alvin, Alvin!" Edward memanggilnya dalam lamunan yang panjang, tapi ia tak menjawab sama sekali.
"Baiklah, kali ini aku pemilik tubuh ini seutuhnya!"
Edward mencium kembali bau masakan yang enak. Ia segera berkemas dan turun ke ruang makan.
*****
Dari ruang tengah Edward melihat seseorang tengah memasak di dapur. Ia terheran siapa wanita itu dan bagaimana dia bisa masuk ke rumahnya.
Edward ingat, semalam om Wandi kembali dan membangunkannya untuk menyambut ART mereka, tapi rasa lelah tak membuatnya bangun, begitu pun Emily.
Dengan sikap yang kikuk, ia memcoba menyapa wanita itu, tapi wanita itu berbalik terlebih dahulu.
Bu Suryani menyapa. "Pagi, tuan mu—Akang yang di hotel?"
"Ibu Rama?!"
Ternyata benar itu adalah ibu Rama. Orang yang menolong Ed saat sakit perut di hotel. Bu Suryani tak percaya jika dia bekerja di rumah Edward.
Edward sendiri tidak tahu jika Suryani ini adalah orang yang ia kenal. Karena Emily yang memilihnya kemarin dan Ed tak sempat melihat profil mereka.
Edward bertanya apa yang membawanya kesini. Rupanya, Ibu Rama terpaksa putus kerja karena hotel mulai sepi. Hal itu mempengaruhi upahnya untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Maka dari itu, Suryani mendaftarkan diri ke biro Asisten Rumah Tangga yang akhirnya membawa mereka ke rumah ini.
"Oh, begitu, ya, bu. Saya turut sedih bu, tapi nasib baiknya kita bisa di pertemukan hari ini."
"Panggil bibi aja, Tuan," sahutnya.
"Baik, Bi. Mohon kerja samanya, ya."
Tiba-tiba seseorang datang dengan memakai hoddie hitam yang lebih besar dari tubuhnya.
"Pagi, tuan muda."
"Rama?!"
"Maaf sebelumnya kami datang malam-malam dan tak bertemu kalian dulu untuk berkenalan."
"Nggak apa-apa, Ram. Semoga betah, ya, disini. Kalo ada apa-apa, panggil aku aja."
"Bukannya aku yang harusnya bicara seperti itu?" jawab Rama.
"Iya, deh."
Mereka tertawa ringan.
Bu Suryani pergi membuatkan sarapan dan bekal untuk Ed dan Emi.
Ed menegaskan. "Bi, sebenarnya kami nggak biasa bawa bekal, tolong cukup buatkan sarapan dan makan malam saja. Tapi, karena ini hari pertama, maka dengan senang hati kami akan bawa bekal ini."
"Baik, Tuan."
Rama berkata dia akan pindah ke sekolah yang sama dengan mereka. Edward langsung sadar, ibunya pasti menolong keluarga ini karena latar belakang mereka sama dengan Ed, sudah tak punya Ayah. Bu Lastri adalah sosok yang tak segan membantu siapa pun.
Meskipun terdengar naif, Ia hanya ingin orang lain bahagia, mengingat dirinya sudah beruntung memiliki harta yang lebih dari cukup untuk menjalani hidup.
Melihat mereka mengobrol hangat, Emily turun dan mendapati mereka sangat akrab.
"Pagi ... ibu ART yang saya panggil kemarin, kan? Bu Suryani? Saya Em—,"
Edward memotong. "Iya, Emily ... Ini bu Suryani dan Ini Rama. Abang ketemu mereka waktu di hotel hutan itu. Plot-twist banget, kan?!" ucapnya dengan penuh semangat.
Bu Suryani dan Rama hanya tersenyum melihat antusias Edison.
Emily terkejut. "Oalah! Kebetulan banget, ya, Bi! Ya, udah, deh, jadi nggak pada canggung, kan? Tadinya aku khawatir Edward nggak terima kalo ada orang lain di rumah—tapi syukurlah."
Bu Suryani sangat berterima kasih kepada Emily.
"Terima kasih banyak, Non. Bibi sangat senang bisa bertemu kembali dengan Tuan Edward dan bekerja di rumah ini."
"Sama-sama, Bi," Emilu menjawab dengan penuh keramahan.
"Rama, ini Emily, kembaranku, beda 7 menit," ucap Ed.
Bersalaman. "Halo, aku Rama. Nice to meet you, Non."
"You, too."
Setelah selesai berkenalan dan mengobrol. Edward dan Emily berangkat sekolah.
"Rama, mau bareng?" ajak Emily.
"Nggak, Non. Makasih, aku naik umum aja."
Rama pergi naik angkot, ia menolak pergi bersama mereka mengingat dia bukan siapa-siapa, hanya anak pembantu. Rama terlihat sangat ramah dan murah senyum pada mereka.
******
"Nak, umpan sudah terpasang. Kita tunggu waktu aja, ya. Mama nggak sabar liat mereka hancur!"
"Iya, mah. Aku juga nggak sabar ganti posisi si cabul bermulut besar itu."
******