Chereads / don't blame us / Chapter 10 - a tale of twins

Chapter 10 - a tale of twins

"Bagaimana rincian aktivitas anak elang satu?"

"Sabtu lalu, ia pergi ke kebun raya dan tak sengaja bertemu keluarga mendiang Rusdi," jawab seorang pria dengan setelan hitam.

"Apa? Kenapa dia sampai bertemu dengan mereka?"

"Ini sebuah kebetulan, Heina. Rupanya mereka sudah berada di sana sejak empat tahun yang lalu. Itulah mengapa mereka menghilang saat itu."

Heina tampak termenung menyadari fakta yang terjadi. Ia harus sigap dan berhati-hati dengan mereka. Dia tak ingin semua hal yang telah ia susun akan hancur begitu saja.

"Lalu, apa yang mereka lakukan di sana?"

"Sang ibu bekerja sebagai staf hotel di sana, dan sang anak bersekolah sembari menjadi agen tetap untuk kubu Madam"

Heina membelalak mendengar perkataan mata-matanya itu. Ia harus memikirkan cara unntuk bisa membawa mereka pada pihaknya.

*****

Wandi datang ke rumah saat sarapan dan meminta mereka keluar karena ada sesuatu yang harus di lihat. Di luar, nampak sebuah mobil Mini Cooper berwarna putih terparkir. Pantas saja mereka merasa asing dengan suaranya.

"Wah! Selamat, ya, om atas mobil barunya! Lucu banget, ih!" ucap Emily girang.

Edward menatap mobil itu dengan penuh rasa kagum. Ini adalah mobil yang sering ia impikan. Tiba-tiba, ponsel Edward berbunyi.

"Selamat ulang tahun, Nak. Pamanmu bawa hadiahnya. Sudah kamu terima?"

"Jadi ini mobil buat Edward, bu?"

"Hah?" sahut Emily.

Ed tidak senang. Menurutnya, ia belum perlu mobil, mengingat umurnya baru saja menginjak 17 tahun. Tapi di sisi lain, dia bersyukur atas hadiah yang ibunya berikan. Edward sangat berterima kasih pada ibu dan pamannya.

"Terima kasih, Ibu, Paman, Emily, you guys are the best things in my life!"

Emily melipat bibirnya dengan air mata mengambul sembari memeluk Ed dan mengucapkan selamat. Bu Lastri menambahkan, "Emily, ibu belum bisa kamu fasilitas ini. Sama kakakmu aja, ya, gantian?" ujarnya.

"Iya, Bu. Lagian, aku, kan, nggak bisa bawanya," jawabnya dengan sedikit tertawa.

Emily kembali memeluk saudara kembarnya namun Edward menangkis pelukan itu karena geli, tapi om Wandi ikut memeluk mereka dengan bahagia.

"Neng, aku udah siap. Mau berangkat hari ini?"

"Hah, beneran, Ed?"

Edward mengangguk.

"Oke, Ed, ayo!"

Saat hendak menaiki mobil baru itu, Emily menahan lengan Edward dan membawanya ke kamar Ed. Dia mencoba mengganti plester di dahi kakaknya dengan yang baru. Emily menatap tajam Edward seperti tengah mengamati sesuatu.

"Rambut," ujar Emily.

Dia berlari meninggalkan kamar Ed dan kembali dengan membawa hair-spray nya.

Emily merubah gaya rambut Edward yang asalnya berponi rimbun menjadi belah dua atau orang lain sering menyebutnya two-block. Ia juga mencatok rambutnya agar terlihat sedikit ikal dan bervolume. Edward hanya diam pasrah ketika adiknya merombak rambut yang menjadi bagian dari zona nyamannya.

"Udah?" tanya Edward polos.

Emily nampak masih kurang yakin dengan penampilan kakaknya itu. Dia kemudian mengacak-acak lemari Edward dan menemukan jaket yang pas dengannya. Emily juga meminta kakaknya untuk memakai seragam baru yang sudah lama ibunya belikan, tapi Edward tak pernah ia pakai karena terlalu besar.

"Kau, tau, kan, kaos oversized itu lagi tren sekarang?"

Edward hanya mematung menatap dirinya dalam cermin.

Ed beranjak mengganti kemeja sekolahnya dengan ukuran yang lebih besar.

"Ayo cepat, udah siang!"

Edward keluar dengan sedikit tidak percaya diri.

"Wah! Kembaranku cakep banget!" ucap Emily girang.

"Udah?" tanya Ed untuk kedua kalinya.

Emily membalas dengan mengangguk penuh semangat.

Wandi tampak tengah tergesa menunggu mereka di sofa ruang tengah.

"Eh, ante paman ke kantor dulu, dong! Kalo naik umum nanti macet."

"Baik, paman."

*****

Setelah Wandi turun, Edward dan Emily berangkat ke sekolah. Emily tiba-tiba terdiam mengkhawatirkan banyak orang akan memojokan saudara kembarnya.

"Kenapa tiba-tiba manyun gitu?"

"Nggak."

Jalanan tiba-tiba macet karena terjadi sebuah kecelakaan tabrak lari. Saat mereka melintas lokasi kejadian, nampak seorang preman yang tersungkur dengan kaki remuk terlindas ban.

Edward terkejut karena dia adalah preman yang mengamuk di bis saat di perjalanan pulang kemarin.

"Ya Tuhan, kasian banget...,"

"Dia yang bikin dahiku begini," celoteh Edward.

"Hah?"

Edward menjelaskan pada Emily tentang peristiwa di bis waktu itu. Dia tak percaya jika kakaknya memukul orang mabuk. Kendati demikian, ada bukti kuat di dahinya.

Saat membahas perihal mabuk, tiba-tiba ia berbicara mengenai isu siswa kelas 12 yang terlibat kasus narkoba di sekolah.

"Eh, iya, kau, tahu gosip anak kelas 12 yang terlibat kasus narkoba?"

Edward hanya menggelengkan kepala menandakan ia tak pernah ingin tahu masalah orang lain.

Keinginan terbesarnya adalah pandai beradaptasi seperti Willy, Erik dan Fitri, meskipun hatinya masih merasa berat. Pikirannya bergelut dalam lalu lintas pagi yang selalu tersendat. Setelah jalanan kembali normal, mereka dengan segera menuju sekolah karena hari mulai siang.

Sebelum memasuki lingkungan sekolah, Emily memberi Edward kacamata hitam.

"We can do it." Emily menepuk bahu Edward dengan penuh keyakinan.

Sesampainya di sekolah, orang-orang menatap heran mobil baru itu. Belum pernah ada mobil seperti itu memasuki lingkungan sekolah. Juga, tak sembarangan murid bisa membawa mobil ke sekolah.

Kedua saudara kembar itu turun berdua seraya melepas kacamata hitam. Tampak dari jauh Willy dan Erik berteriak sembari berlari memanggil Edward.

"Edward!"

"Edison!"

Mereka tetap berjalan bersama di lorong hingga bertemu dengan Fitri, Amel dan yang lainnya. Erik tak bisa percaya apa yang terjadi, Willy hanya melongo dan Fitri kehabisan kata, begitu pun dengan teman-teman Emily yang menghampiri.

"Guys, perkenalkan, Emilia Stephanie Angel Wardiana, saudara kembarku."

"Hah?!"

*****

"Kita memiliki peluang besar untuk memperalat mereka."

"Peluang seperti apa, Heina?"

"Kau lihat saja, akan ada dua alat yang siap mengasah senjata terkuatku," pungkasnya.

*****