Chereads / don't blame us / Chapter 9 - nice to meet you

Chapter 9 - nice to meet you

Tiba di rumah, Emily tengah belajar. Edward pulang tanpa berkata apa pun hingga membuat adiknya terkejut ada langkah kaki di sana.

"Eh, ayam, ayam!"

Ed sengaja mengerjai Emily karena melihatnya belajar adalah hal yang langka dan bisa saja masuk dalam keajaiban dunia.

Emily dan Edward tidak terlalu tekun belajar, tapi mereka cerdas dan mudah mengingat.

Ed merebahkan diri di kasur dan terlelap hingga sore hari.

Tok tok tok!

"Edison! Ayo makan."

Edward terbangun dengan wajah yang berantakan.

Waktu menunjukan pukul 20.01.

"I, iya, Bu. Edward mandi dulu," jawabnya seraya berjalan menuju kamar mandi.

"Emilia, ayo makan, sudah selesai belajarnya?"

"Sebentar bu, sedikit lagi," jawabnya.

Lastri menghela nafas panjang.

"Baiklah, cepat turun, ya," pungkasnya seraya berjalan ke lantai bawah.

*****

Edward terus memanggil-manggil Alvin ke arah cermin, tapi sama sekali tak ada jawaban.

"Aku nggak bisa berjalan sendirian, Alvin. Kau harus selalu berada di sisiku. Kumohon, kembalilah...," pinta Edward pada pantulan dirinya.

Setelah mengeringkan rambut, ia segera menuju lantai bawah. Emily dan bu Lastri sudah berada lebih dulu. Mereka tengah bergelagat aneh sembari menatap ponsel Emily. Mendengar langkah kaki Edward semakin mendekat, Emily segera mematikan ponselnya.

Edward yang terheran hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tidak peduli. Muka Lastri tampak masam membuat Edward seketika mendelik mengingat hal kemarin.

Glek.

Edward telah siap untuk menerima semua omelan ibunya.

"Bagaimana perjalananmu kemarin?" tanya bu Lastri.

Ed hanya tersenyum lebar, mengisyaratkan dia sangat menikmatinya.

"Terus itu jidatmu kenapa?"

"Tergores, Bu," jawabnya singkat.

Bu Lastri tak bisa bertanya lebih banyak mengingat sifat Edward yang selalu tertutup dan tak berkata banyak jika hal itu bukanlah hal yang penting.

Makan malam itu berlangsung khidmat.

*****

"Kakakmu mana?"

"Nggak tahu, masih mandi mungkin," jawabnya seraya menatap ponsel.

"Bu, lihat, Edward masuk instastory kedai makanan korea yang lagi rame itu," ujar Emily seraya berlari kecil menghampiri ibunya di meja makan.

Ia memperlihatkan video di mana Edward tengah menyantap makanan khas negeri gingseng itu dengan penuh bahagia. Ia memancarkan senyuman yang amat langka, bahkan tak pernah Emily lihat.

"Kapan ini, Nak?" Lastri mengikik.

"Dua puluh tiga jam yang lalu,"

"Oalah, syukurlah kalo kemarin dia bisa enjoy di sana."

"Tampan juga, ya, kembaranku. Coba kalo dia ngga jadi pendiam di- Bu aku baru ingat, Ibu tahu ngga kalo dua minggu kemarin Edward bikin sekolah rame?!"

"Eh, apa maksudmu?"

"Jadi, Edward ikut ekskul basket dan musik, di mana dua ekskul itu diketuai oleh Willy dan Erik, dua sejoli yang terkenal karena ketampanan mereka. Dan mereka itu teman sekelasnya. Entah apa yang mereka lakukan hingga membuat Edward luluh...," Emily berpikir keras.

"Wah, ya, bagus, dong. Ibu senang mendengarnya bahwa kakakmu mulai membuka diri," sahut Lastri.

Tiba-tiba, Edward sudah mematung di tangga mendengar pembicaraan mereka. Spontan Emily mematikan layar ponselnya dan berbalik pada kembarannya dengan senyuman lebar.

*****

Emily menemui Edward di kamarnya untuk mengatakan sesuatu. Edward nampak tengah membaca novel tebal yang ia beli bersama dua kawannya beberapa waktu lalu.

"Edward, aku mau ngomong sesuatu."

"Apa?"

"Aku udah siap berangkat ke sekolah bareng."

"Kok, tiba-tiba?"

"Sebenarnya udah beberapa minggu ini aku nggak nyaman sama sosial media, juga sama teman sekolah. They're treat me so fake, I thought they were on my side, but then they were cutting me down. Terus guru-guru nggak ada habisnya memintaku buat bikin konten tentang sekolah, ulas makanan di restoran mereka, juga buat terus jadi sorotan sekolah. Aku capek, Ed, capek banget. Dulu memang ini impianku buat di kenal banyak orang, tapi kalo tau bakal seperti ini, mending aku kayak kamu aja jadi—"

"Jadi pengecut?"

Spotan Emily menampar bahu Ed. "Jadi orang biasa, lah! Apaan, sih, sensi banget!"

"Oh, ya udah."

"Begitu aja? Aku ngomong panjang lebar di jawab begitu doang?"

"Iya, aku paham, beri aku waktu," tegasnya.

"Terserah. Bye."

"Bye."

"Eh, bentar, itu jidatmu kenapa?"

"Kalo aku bilang habis kena bogem preman, bakal percaya, nggak?"

"Hah? Begimana?"

"Nggak. Ini ke gores aja, udah sana!"

Emily menganga meninggalkan kamar saudara kembarnya dengan masih mencerna omongan yang entah itu lelucon atau memang kenyataan.

*****

Pelajaran kali ini adalah Sejarah. Ini adalah satu-satunya pelajaran yang kurang Ed sukai.

Drrt Drrt!

Fitri mengirim ulang pesan siaran pada Edward perihal satu anak SMA UTAMA yang terkait kasus Narkoba.

"What's the matter with me?" batin Edward.

Bel istirahat berbunyi, Fitri dan Amel menghampirinya untuk mengajak pergi ke kantin bersama.

"Edward, Edison? Ke kantin bareng, yuk!"

Entah apa yang merasuki mereka, tapi apakah mereka yakin ingin berteman dengan si muka beku itu?

Ed mengangguk sambil memasang earphone.

Mereka berjalan ke kantin di susul oleh Erik dan Willy.

"By the way, ini Amel, teman sebangku...,"

"Tahu, Fit. Aku kenal kalian semua, kok. Hanya saja, maaf jika aku jarang berinteraksi."

"Okay, Edison! Salam kenal."

"Edward aja, Mel."

"Ok."

Fitri hanya tersenyum kecil.

"Permisi, kenapa kita nggak di ajak, ya?" sahut Erik seraya menyempil di antara mereka.

"Iya, nih. Padahal, kita dari tadi kasih kode," tambah Willy.

Suasana begitu berbeda karena Edward duduk dengan beberapa teman kelasnya. Mereka makan Bakso Mercon Hot Jeletot dan berbincang mengenai ekskulnya masing-masing.

"Guys, klub kalian asyik nggak, sih? Klub Musikku dikit banget yang masuk," ucap Erik penuh kesah.

Fitri menjawab spontan. "Aku juga sama, Rik. Orang di sini kebanyakan doyan makan doang. Giliran masak? Ogah mereka. Tapi nggak apa-apa, ada Amel yang selalu di sisiku."

"Ew, Fruity," balas Erik.

Willy berdiri menggebrak meja seraya membusungkan dada. "Kalo aku, sih, karena ada Bang Ed, ya ... jadi rame! Terlalu rame malah! Ya, kan, Bang Ed?"

Edward tersedak."Oh, ya, Will ... aku juga udah gabung sama klub Erik."

Menggebrak meja lagi hingga Bakso Erik tumpah. "Hah? Kok, kamu nggak bilang?!"

"Dasar Kiwil, Anjing," Erik mendengkus.

Edward mengikik sembari mengangkat dua jari berisyarat peace.

Willy membuang nafas berat.

Dengan penuh rasa percaya diri Amel berkata, "Ed, berarti bisa gabung juga sama gue dong...,"

"Kan, batasnya cuman dua, bodoh!" sahut Fitri.

"Hahaha," mereka semua tertawa.

*****

Sepulang sekolah, Emily di jemput oleh ibunya. Nyaris saja Lastri mengajak Edward pulang bersama.

Erik melihat ibu Emily melambai pada mereka bertiga.

"Eh, itu ibunya si Emily dadah ke siapa, sih?" tanya Willy heran.

"Iya, weh," sahut Erik.

Edward hanya mengankat bahunya saat Willy dan Erik menoleh padanya. Mereka bertiga pulang naik angkot.

"Bagaimana jadinya, ya, kalo Emily itu jadi milikku? Ah, indahnya dunia ini akan begitu lengkap dengannya," batin Erik tengah berandai-andai.

Edward hanya melirik sinis mereka.

Angkot sepi itu berubah menjadi sesak di penuhi angan-angan.

*****

Beberapa minggu berlalu, Edward di minta untuk segera membuat SIM oleh pamannya. Ia pergi sendirian menaiki metro menuju lokasi tes. Tiba di sana, suasana sangat sesak di penuhi orang-orang yang tengah mengantre giliran mereka.

"Panjang juga, ya, antreannya, padahal masih pagi," gumam Edward.

Seorang petugas tiba-tiba menghampirinya dengan sedikit merendahkan suaranya. Ia meminta Edward mengikutinya. Ia dibawa ke ruangan paling atas dan berhenti di depan pintu bertuliskan ruang kepala.

"Silahkan masuk," ucap sang petugas yang mengantarnya.

Dengan penuh heran, Edward masuk ke ruangan itu. Nampak foto-foto pejabat terdahulu terpampang di sana bersamaan dengan pewangi ruangan yang menyemprotkan aroma semerbak yang menyegarkan. Kepala Polisi itu menyapanya hangat.

"Selamat pagi, Edison," sapanya seraya mengulurkan tangan.

"Pagi, Pak...," jawab Edward rengkuh.

"Tidak perlu sungan, saya teman baik mendiang ayahmu ... silahkan duduk," tuturnya.

Edward terlihat kikuk, pamannya tak memberi tahunya tentang hal ini.

"Mohon maaf, pak ... saya ingin membuat SIM, bukannya saya harus ikut mengantre?" tanya Edward polos.

"Hahaha ... sudahlah, tunggu saja, SIM mu akan segera selesai beberapa menit lagi," jawabnya.

"Ngomong-ngomong, saya belum memperkenalkan diri dengan resmi. Nama saya Yudi, kamu bisa panggil saya pak Yudi. Bapak dulu kenal baik ayahmu, Edison."

"Salam kenal, pak. Tolong panggil saya Edward saja," balas Ed.

"Baik, Edward. Wah, kamu sudah besar, ya ... dulu kamu begitu mungil dan selalu ikut kemana pun ayahmu pergi," jawabnya dengan menahan air air mata.

Pak Yudi adalah teman dekat ayah Edward semasa hidup. Saat itu, beliau hanyalah seorang tamtama biasa yang selalu di rendahkan orang lain. Saat bertemu Widyo, Yudi merasa dirinya mendapat pengakuan dan apresiasi meskipun oleh satu orang atas pekerjaannya.

"Mohon maaf saya terbawa suasana ... bagaimana kabar ibu dan saudara kembarmu?"

"Baik, Pak."

"Bapak ingin sekali bertemu kalian, tapi apalah daya pekerjaan ini membuat bapak sibuk bahkan dengan anak sendiri pun sering lupa."

Edward hanya tersenyum kikuk mendengar ucapannya yang berbasa-basi atau tengah menyombongkan diri.

Kring!

"Baik, terima kasih."

"Edward, rupanya SIM mu sudah selesai, silahkan ambil di loket ya, petugas yang mengantarmu tadi menunggumu di sana. Terima kasih untuk waktunya," pungkas Yudi ramah.

Edward beranjak dan pamit dari ruangan Yudi.

Huft.

Edward mengembuskan nafas panjang seraya berjalan menyusuri tangga-tangga dari lantai atas. Tiap ia turun dan berada di lantai yang berbeda, para petugas itu selalu meliriknya dengan tatapan yang aneh.

Tiba di loket pengambilan, tetap saja penuh. Tapi dia ingat ucapan Yudi untuk langsung saja menemui petugas yang mengantarnya tadi.

Edward melihatnya tengah berada di luar lingkungan gedung polisi, ia tengah berdiri di dekat sebuah mobil yang terparkir di depannya.

"Permisi, pak ... saya ingin mengambil SIM-"

"Silahkan," jawabnya rengkuh.

Melihat sikap aneh petugas itu membuat Edward terheran. Ia segera membuka amplop itu da di dalam sana sudah terdapat dua buah SIM lengkap dengan fotonya.

"Jika sudah selesai, saya bisa mengantarmu, silahkan masuk...," ucap petugas tadi seraya membuka pintu mobil yang sudah lama terpakir di hadapannya.

Edward semakin merasa heran dan spontan menolak tawaran itu.

"Tidak usah, pak. Terima kasih, tolong ucapkan permintaan maaf saya pada pak Yudi," pungkasnya.

"Baik," jawab petugas itu.

*****

Edward bergegas menuju stasiun metro untuk pergi ke satu tempat. Saat menyusuri trotoar, ia melihat dua orang di pojok gang tengah merokok dan saling bertukar barang, seperti obat, tapi tak ia hiraukan karena itu bukan urusannya. Di tambah, daerah luar komplek memang lebih bebas dan rawan.

Edison pergi ke perpustakaan kota untuk menangkan diri alih-alih membaca beberapa buku.

Ia telah menjadi pengunjung tetap di sana karena rutin berkunjung setidaknya satu kali dalam sebulan.

Suasana perpustaan raksasa itu sangat nyaman, semerbak aroma buku memanjakan hidung orang yang mengunjunginya. Edward memilih sebuah buku bacaan yang cukup ringan untuk dibaca.

Saat tengah membaca buku, ia terlelap hingga beberapa saat kemudian seseorang membangunkannya.

"Edison, bangun!"

Dengan refleks ia terbangun."Eh, maaf kak saya ketiduran."

"Bangun, Edward. Udah sore, perpus udah mau tutup," ujarnya.

Edward mengucek-ucek matanya dan melirik tajam anak itu. Dia tampak tidak asing. Rupanya dia adalah teman sekelas Edward yang pendiam, sama sepertinya.

"Kamu satu kelas denganku, kan?"

"Iya, namaku Aldi."

Edward tersenyum seraya menggaruk garuk rambutnya yang tak gatal.

"Terima kasih, Aldi," ucap Edward.

"Eh, kamu baca buku ini juga?" Aku baru saja beres membacanya," ucap Aldi.

"Oh, ya?"

Edward sedikit banyak bicara pada Aldi karena mereka memiliki selera bacaan yang sama. takut.

"Ternyata hati Edward tak seperti wajahnya," batin Aldi.

"Rumahmu di mana, Di?"

"Perum Lotus, Ed," sahutnya.

Ed manggut-manggut menikmati obrolan mereka seraya berjalan menuju stasiun kereta bawah tanah.

"Makasih juga udah membangunkanku, kalo nggak, bisa mati terkunci di sana."

"Santai, lagian kamu ke perpus malah tidur, bukan baca."

Edward mengikik.

Tiba-tiba Emily menelepon. Suaranya bergetar seperti tengah menahan tangis.

"Edward, ibu jatuh di kantor, sekarang di rumah sakit, aku lagi di jalan sama Alisya!"

"Kenapa, Ed?" tanya Aldi.

"Ibuku jatuh di kantor, Di. Sorry, ya, nggak bisa balik bareng."

"Astaga! Oke, nggak apa-apa. Hati-hati."

*****

Kaki bu Lastri terkilir saat turun tangga dan mengenai ligamennya, sehingga ia tak bisa bekerja dan mengurus rumah untuk sementara waktu.

Emily menyarankan untuk mulai memanggil ART demi mempermudah pekerjaan rumah. Edward menolak keras karena dia bisa melakukannya, tapi bu Lastri setuju.

Ibunya tak mau mereka kehilangan fokus akan kewajiban belajar. Tanpa berpikir panjang, Emily mencoba mencari biro jasa ART terdekat dengan pengalaman yang cukup lama.

Emily menemukan satu profil yang cocok. "Ini Bu, ada profil seorang ibu dengan anaknya yang seumur sama kita. Namanya bu Suryani, asal Bogor. Ulasan mereka juga bagus dan pernah bekerja di perusahaan jasa cukup lama," ujar Emily.

"Ya sudah, kita coba panggil aja, ya," jawab bu Lastri.

Beberapa hari kemudian, sepulang sekolah, mereka masing-masing pergi menjenguk ibunya, sedangkan segala urusan kantor di serahkan pada Wandi.

Suryani mengonfirmasi bahwa beliau bersedia dan akan datang dalam dua hari. Ia harus berbenah dan membereskan urusan di tempat asalnya.

*****

"Kenapa dua dosis?"

"Kan, kemarin lo bilang kalo gue mau tidurin dia, dua-duanya harus teler."

"Tapi, lo masih anak sekolah. Gue nggak mau ada kekacauan di tempat kaya gitu."

"Please, gue beli dua kali lipat, deh. Tapi tolong tutupi identitas gue. Udah hampir dua tahun pacaran tapi belum pernah coba apa pun dari dia."

"Ya sudah, pukul 20.16 gue bagi lokasinya."

"Oke, Terima kasih!"

*****