Edward memiliki hobi berjalan-jalan menghabiskan akhir pekan dengan mengunjungi tempat sepi sendirian. Dia merasa itu adalah best self healing untuknya.
Hal ini sudah ia lakukan sejak kelas sembilan atas anjuran dari dokter. Kali ini, ia ingin melihat banyak binatang dan bermalam di hotel tengah hutan. Dengan menempuh waktu dua setengah jam, ia tiba disana.
Cuaca begitu cerah dan sejuk. Angin bertiup kencang mengeringkan keringat yang membasahi tubuhnya. Hal ini adalah sesuatu yang sakral untuknya. Edward berniat untuk menikmati secangkir kopi sembari beristirahat. Setelah istirahat sejenak sambil memesan secangkir americano di café, ia pergi mencari mobil sewaan di sekitar sana karena untuk melihat hewan-hewan, ia harus naik kendaraan. Akhirnya, ia temukan satu mobil yang cukup nyaman untuk satu orang.
Memasuki kebun itu, dia sangat senang. Banyak hewan yang dilepas berkeliaran mengahampiri pengunjung. Edward sangat senang saat bertemu simpanse, karena saat di beri pisang, simpanse itu tersenyum lebar kepadanya. Ed merasakan kebahagiaan yang tak ternilai harganya.
Setelah satu jam lebih bercengkreama dengan hewan-hewan, ia merasa lelah dan bergegas check-in ke hotel di hari yang mulai gelap.
Edward memilih hotel Caravan karena di rasa sangat cukup untuk dirinya sendiri. Ia sempat bingung mencari resepsionis hotel itu. Setelah sedikit berkeliling, akhirnya ia menemukannya.
"Permisi, Pak. Saya ingin memesan satu kamar hotel tipe Karavan, tapi jangan yang terlalu dalam hutan."
"Boleh, Pak. Silahkan isi formulirnya terlebih dahulu. Untuk berapa orang dan berapa malam?"
"Untuk satu orang dan satu malam, Pak."
"Baik. Karena banyak kamar kosong, bapak-"
"Saya masih sekolah, Pak," Ed menimpali perkataan bapak itu yang belum selesai dengan kata-katanya.
Resepsionis itu mencoba mengelap kacamatanya. Tampak rambut putih yang sudah menjamur di kepalanya. Ed merasa tidak enak karena telah memotong perkataannya.
"Mohon maaf, dek. Maklum sudah berumur jadi penglihatan saya kabur. Silahkan ini kunci kamar Karavan nomor satu. Untuk pembayarannya silahkan pindai saja di kode ini."
"Baik, Pak. Terima kasih."
Setelah masuk, Edward segera pergi mandi dan bersih-bersih lalu keluar untuk mencari makan malam. Kicauan hewan liar malam itu membuatnya betah untuk berlama-lama di sana.
Ia beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berharap semua rasa lelahnya hanyut terbawa. Ed berencana untuk pergi mencari street food di sekitaran sana, jika memang ada.
Setelah berganti setelan dengan kaos putih yang dibalut jaket varsity, ia bergegas pergi dengan mobil sewaannya. Dalam perjalanan, ia memutar lagu Lana Del Rey yang menurutnya sangat cocok dengan suasana hatinya saat ini.
Drrrt!
Ponselnya bergetar lama seperti spam pemberitahuan. Awalnya ia enggan untuk membukanya, karena bisa saja itu hanya pesan grup tidak penting dari teman kelasnya. Ternyata, ia salah. Bu Lastri mengirim spam pesan dan marah karena ia pergi tanpa pamit dan Emily tak bilang apa-apa.
"Holy Shit. Mati gue!" batinnya pasrah.
Ed menelan ludahnya dan bersiap menerima panggilan ibunya. Bu Lastri meneleponnya dengan lantang dan tak memberi cela Ed untuk menjawab.
"Edison Angelo Prince Wardiana! Kamu di mana? Kenapa nggak pulang? Kenapa nggak kasih kabar ke ibu? Kenapa nggak bawa mobil aja dari sini? Kamu sebenarnya udah lama bisa nyetir, kan? Kamu pergi sama siapa? Berapa lama? Ke gunung mana? Terus lusa sekolah bagaimana? Izin? Kamu nggak biasanya pergi tanpa izin! Pokoknya ibu nggak mau lagi, ya, kalo ka—,"
Ed memotong. "Bu, aku lagi di kebun raya, di hotel. Akhir-akhir ini aku banyak pikiran dan mau cari udara segar. Ibu jangan khawatir, lusa aku pulang, kok. Maafkan Edward ya nggak bilang dulu. Love you," Ed menutup teleponnya seraya menghela nafas panjang.
Huft.
Emily mengirim pesan.
"Mampus! Hahaha."
"Awas, kau!"
Sembari menyetir dan menerima omelan ibunya. Edward tiba di kawasan jajanan pinggir jalan. Jaraknya memang cukup jauh, tapi hal itu tak mengurungkan niatnya untuk berburu makanan. Terdapat banyak sekali restoran dan jajanan pinggir jalan.
Ed sangat senang karena hobi makannya akan segera terpenuhi. Namun, pertama ia harus makan makanan pokok dulu sebelum membeli streetfood. Ed memutuskan membeli ketan bakar.
"Pak, ketannya satu," pinta Ed.
Gemerlap lampu jongko para pedagang menambah mood Edward untuk jajan. Ia meyusuri setiap jongko dan memesan satu porsi makanan dan minumannya.
Setelah kenyang dan puas, ia duduk sejenak di bangku taman. Nampak satu warung Bakso Yamin sangat ramai di seberang jalan. Meskipun perutnya kenyang, Ed tetap ingin mencicipi makanan itu.
"Pak, tolong mi yamin manis nya satu, ya." Pinta Ed.
Ed sedikit kebingungan mencari tempat duduk yang kosong, mengingat warung itu tengah ramai sekali. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di bangku paling pojok.
Tak lama, pesanan datang. Saat Ed memindahkan mangkuk baksonya, ia tak sengaja menyenggol pelayan yang tengah membawa pesanan lain dan bakso itu tumpah mengenai orang di pinggirnya. Seketika membuat orang itu berteriak kepanasan.
Argh!
Refleks, Ed melepas kemeja nya dan segera mengelap kuah bakso di baju orang itu dengan tergesa-gesa.
Orang-orang menyaksikan kejadian itu dengan dramatis. Pelayan tadi pun merasa bersalah dan bergegas memberi handuk padanya.
Ed berdiri dan membungkuk meminta maaf pada pria itu dengan tetap tidak melihat wajahnya.
"Maafkan saya, Kang. Saya tidak sengaja."
Orang itu menahan pundak Edward. "Tidak apa-apa, Kang. Saya kaget aja."
Edward yang tertunduk segera berdiri tegak. Ternyata, ia nampak sebaya dengannya. Dia merasa malu dan berlebihan atas sikapnya.
"Mohon maaf, Kang. Tadi saya panik."
"Nggak apa-apa, Kang. Silahkan nikmati mi nya. Saya pamit duluan, ya."
"Iya, Kang, silahkan."
Setelah Edward menghabiskan makanannya, ia bergegas membayar dan pulang ke hotel. Penjual bakso itu tak berhenti meminta maaf atas keteledoran pegawainya.
"Mohon maaf atas keteledoran kami, Kak."
Edward mengangguk dan pergi.
Di jalan, ia kesal sendiri karena tak pernah mengira hal memalukan seperti itu bisa terjadi. Ed tak berhenti memaki kemejanya yang bau kuah bakso.
"Dasar tukang sotong sialan! Dasar mie yamin sialan! Dasar orang sialan! Ah, mana kuahnya bau terus lengket banget lagi! Apes, apes," Ed mengumpat dalam mobilnya.
Tiba di hotel, dia bergegas mandi dan bersih-bersih. Ia menggosok badannya kasar sambil tetap menggerutu dengan hal yang memalukan tadi.
Huft.
Sebelum tidur, Edward melihat kembali foto-fotonya. Ed sangat bahagia karena bisa bercengkrama dengan orang lain walaupun dengan akhir yang membuatnya risi.
"Alvin, kamu di mana?"
Tak ada jawaban.
*****
Augh!
Pagi buta, perut Ed tiba-tiba sakit membuatnya meringis kesakitan.
Tok tok tok!
Terdengar suara ketukan pintu, nampak seorang wanita datang dengan khawatir.
Ibu itu adalah petugas kebersihan hotel yang kebetulan tengah siap bekerja. Ia bangun pagi sekali karena harus memastikan lingkungan hotel yang menyatu dengan alam ini bersih dan nyaman.
Argh.
Edward mengerang kesakitan seraya memegang perutnya yang keram karena udara dingin.
Dengan sigap ibu tadi pergi dan kembali membawa teh hangat untuknya. Lagi-lagi, Ed merasa dirinya lemah dan selalu memalukan.
"Di minum, Kang, teh nya, di sini memang dingin."
Dengan setengah sadar, Edward menyesap teh itu dan kembali tertidur.
"Terima kasih."
Waktu menunjukan pukul 08.16, ia bangun dan pergi keluar untuk menghirup udara segar yang tak sedingin tadi.
Nampak seseorang tengah menyapu di bawah pohon rindang berbalik dan menyapa,
"Sudah sembuh, Kang?"
"Eh, iya, Kang, sudah."
"Syukurlah."
"Maaf kang sebelumnya, semalam saya kenapa, ya?"
"Akang nggak inget? Tadi pagi akang teriak sakit perut, lalu ibu saya periksa karena kebetulan tengah bertugas di sini."
Dengan penuh rasa heran dan malu, Ed menggaruk kepalanya.
Setelah beberapa detik, Edward sadar bahwa orang itu adalah yang terkena kuah baso semalam.
"Kang? Akang yang semalam, kan?"
"Iya, hehe. Oh, by the way," mengulurkan tangan, "Robert Ramadian Putra Khoir, panggil aja Rama."
"Oh iya, Rama. Aku Edison, panggil aja Edward."
"Sorry, tapi itu nama panggilan atau namamu ada dua, Edward?"
"Edison Angelo Prince Wardiana, depan belakang di singkat jadi Edward, hehe. "
"Oalah, maaf. Leluconku nggak asik, ya," gurau Rama.
Edward tersenyum kikuk.
"Mau kuantar cari sarapan?"
"Boleh, Ram."
Edward dan Rama pergi ke restoran hotel untuk sarapan. Terlihat jelas jika sifatnya sangat ramah dan terbuka pada orang baru, berbalik dengan Ed yang sangat tertutup dan pemalu, juga menyeramkan.
Rama bercerita bahwa dia pindah ke kota ini dari pulau seberang empat tahun yang lalu. Ia tinggal di kebun raya ini membantu ibunya bekerja.
Ibu Rama juga bekerja sebagai peramu saji di restoran itu. Ia bertanya hal yang sama kepada Edward perihal kondisinya semalam.
Mereka khawatir karena jarang ada orang menginap di sini dan akan sangat merasa tidak nyaman jika pelayanannya kurang. Namun, Edward yang rendah hati sangat berterima kasih atas hal semalam yang dilakukan ibu Rama.
Beliau memberi mereka bubur ayam dan teh hangat, sangat cocok untuk suasana hutan yang sejuk dan rindang.
Rama memiliki karakter yang mudah berbaur, ia tidak segan bertanya banyak hal pada Edward. Ed sendiri tak keberatan, mengingat rasa terima kasihnya pada mereka.
Karena restoran memang sepi, ibu Rama ikut duduk dan mengobrol. Beliau sangat senang karena setidaknya minggu ini ada tamu yang menginap di sini.
Mereka tampak khawatir, karena jika dalam dua minggu ini tak ada pengunjung yang datang, maka ibu Rama harus kehilangan pekerjaannya.
Setelah sarapan, Ed berencana pulang untuk mengerjakan tugas sekolah dan liburan amburadul ini harus segera usai.
"Ibu Rama, Rama, saya pamit pulang dulu, ya. Terima kasih atas pelayanan dan kebaikannya. Semoga Tuhan membalas kebaikan Rama dan Ibu Rama."
"Sama-sama, Edward. Hati-hati di jalan, ya! Kami tunggu kunjungan selanjutnya," sahut Rama.
Mereka menatap punggung Edward berjalan menjauh yang tengah berjalan kembali ke kamarnya. Ibu Rama merasa kesal akan sikap anaknya yang berlebihan saat bertemu tamu tadi. Bagaimana pun juga mereka harus membedakan mana pekerjaan dan mana urusan pribadi.
"Kamu ini harusnya jangan main cerita. Identitas kita, kan, di palsukan di sini, kamu malah cerita kita bukan orang sini!"
"Nggak apa-apa, Bu. Lagian dia anak lugu, kok. Buktinya aku kasih lelucon aja humornya rendah banget, sampe nggak paham dan malah melongo."
"Hus! Nggak boleh kaya gitu, tapi dia manis, ya. Walaupun bermuka dingin."
"Bu, inget umur! Lagian, aku, kan, lebih ganteng." Bu Lastri menyumpal mulut Rama dengan lap meja.
"Udah sana bereskan kamarnya! Kamu bawel banget, Robert!"
*****
Di perjalanan, Ed merasa senang dan malu atas apa yang terjadi seraya menatap ponselnya melihat foto dan video yang dia ambil saat liburan kemarin.
"Woy! Kau di mana, Edison? Mau pulang nggak?"
"Sut! Aku lagi di Bis, jangan berisik, chat aja." Ed menutup panggilan.
Dalam chat.
"Abang lagi di Bis arah pulang, ibu di rumah nggak?"
"Nggak, di kantor."
"Oh, ya udah."
Tiba-tiba, orang-orang ricuh karena ada seorang penumpang yang teler mengamuk. Pria itu memaksa duduk berdesakan di kursi seorang wanita.
"Bapak kenapa di sini, sih? Kan, di sana masih ada tempat!"
"Rewel banget, sih. Gue mau duduk di tempat ini. Tempat lain penuh."
"Itu masih kosong, Pak," tegas wanita berbaju biru.
Padahal, tak ada yang tak mendapat kursi. Pak supir tak bisa menegurnya. Kondektur bonyok di hajar preman itu dan penumpang yang kebanyakan wanita itu ketakutan.
"Pak, tolong ... ini di kendaraan umum, bapak tidak sepatutnya bersikap seper-"
Bugh!
Preman itu meninju jidat Edward hingga berdarah karena tergores cincinnya.
"Anjing, nih, orang!" batinnya geram.
Dengan perasaan jengkel, Ed membalasnya hingga tersungkur. Pria itu berdiri kembali dan melantur.
"Heh pembunuh! Jangan buat gue mati disini!"
Seketika preman itu tersungkur pingsan. Kondektur yang sedikit ketakukan mengamankan orang itu dan mengikatnya dengan tali seadanya berjaga-jaga jika ia akan kembali membuat kekacauan.
Edward terengah-engah kaget mendengar preman itu dengan jidat yang berdarah. Apa maksud preman itu berkata demikian. Setiap Edward mendengar kata 'bunuh,' kepalanya selalu berdengung kencang hingga kehilangan keseimbangannya dan terduduk di kursi yang tadi preman itu tempati.
"Bang, itu dahinya berdarah. Tolong di lap dulu, ya. Kebetulan saya bawa plester."
"Terima kasih, Bu."
"Orang gila kaya gitu mah jangan di lawan, Bang. Mending diem aja. Lagian si ibunya juga nggak liat keadaan."
"I, iya, Bu."
Orang-orang berterima kasih pada Ed alih-alih menatap aneh. Perjalanan kembali tenang, ia menyeka keringat dengan sedikit linu di dahinya.
Ough!
"Alvin, tadi bukan ulahmu, kan? Aku tak berniat menghajarnya," gumam Edward dalam pikirannya.
Alvin tak menjawab.
Semenjak Edward pergi berlatih klub musik, Alvin tak pernah mengusik lagi pikirannya bahkan merebut tubuhnya. Edward merasa damai karena dia bisa dengan tenang menjalani hidupnya, tapi di sisi lain dia tak tahu apa yang akan terjadi tanpanya.
*****
Pukul 13 16, ia tiba di terminal. Preman itu telah di ringkus dan di amankan ke kantor polisi. Jidat Edward berdenyut saat ia mencoba memikirkan hal yang preman itu katakan tadi.
Awh.
Edward melihat seorang teman kelasnya berdagang asongan di sana. Dia kenal betul dia adalah Abdul, orang yang ia beri hadiah jam tangan.
Ed melintas dingin tak menyapa, tapi Abdul menghampirinya.
"Hey, Edward!"
"Hai." Langkahnya terhenti.
"Dari mana, nih? Mau beli air, nggak? Haus meren."
"Dari kebun raya, Dul."
"Hehe, air?"
"Satu aja."
Ed ingat dia tak membawa uang cash di dompetnya. Hanya ada satu lembar uang berwarna biru. Ed menarik dan memberikannya pada Abdul.
"Ini uangnya kebanyakan, Ed."
"Nggak apa-apa, buat kamu aja. Aku pulang duluan, ya."
"Oke. Makasih, Ed!"
Sembari menunggu taksi online menjempunya, Ed tak berhenti mencuri-curi pandang pada Abdul dari kejauhan. Ia takjub pada Abdul karena di waktu liburnya dia bisa bekerja untuk mencukupi kebutuhannya.
*****
"Wihh, dapet sepatu baru dari mana, Wil? Mahal kayaknya! A, liat, nih, si Willy!"
"Apaan sih, Teh. Ini temanku yang kasih. Jangan pikir macam-macam!"
Waditra menghampiri mereka sembari menggosok-gosokan rambutnya dengan handuk basah.
"Mana aa liat. Anjir! ini mah model baru! Mahal lagi! Siapa yang kasih?!"
"Edward, temen sekelas."
"Kok, bisa ngasih gitu aja?"
"Willy paksa gabung klub, A. Terus kemarin dia minta anter beli sepatunya, dan, ya, aku juga dapet."
"Beruntung amat, jaga sing apik, tuh, pemberian orang," tegas kakaknya.
Waditra juga sebenarnya adalah seorang pemain basket handal. Namun, ia harus fokus pada keluarganya setelah ibu mereka meninggal. Mimpinya terkubur dalam-dalam, tapi tidak dengan ambisinya.
Untuk menguji kelayakan 'sepatu baru' itu, kakak Willy mengajaknya bermain.