"Halo, Bu, ada apa?"
Willy yang tengah menganga, seketika menutup mulutnya.
"Bisa cepat pulang? Ibu takut ... ada orang asing di belakang rumah, bawa senjata tajam. Ibu sembunyi di kamar." Lastri menelepon dengan suara ketakutan.
"Ya Ampun! Ibu tenang, pintu kuncinya, aku sebentar lagi sampai, nanti aku ke sana sama satpam komplek, ya!" jawab Ed panik.
"Ed, ada apa?" tanya Willy.
"Rumahku di rampok. Ibu sama adik sembunyi di kamar, mereka ketakutan."
"Kau punya adik?" tanya Willy setengah terkejut.
"Punya."
Panik dan emosi, Edward meminta supir angkot melaju kencang dan tidak menarik penumpang sampai ia turun. Willy pun panik dan bingung harus bagaimana.
"Edward, aku ikut, ya?!
"Nggak apa-apa, Will. Kamu turun aja. "
Edward menolak tawaran Willy karena hari sudah sore dan khawatir akan terjadi apa-apa. Willy mengerti dan ia turun di gang rumahnya.
"Ed, hati-hati, ya!" ujar Willy
Edward mengangguk.
"Ayo pak gas lagi!"
Setelah beberapa menit mengebut, Edward pun sampai dan ia memberi uang sepuluh kali lipat kepada pak supir.
"Terima kasih, Pak."
Ia bergegas memanggil satpam komplek bersamanya.
"Sore, Pak! Tolong ikut saya, ya, sekarang juga. Rumah saya ada yang rampok!" ucapnya terengah-engah.
"Siap, Den," jawab satpam seraya bergegas memakai topi dan membawa kentungan.
Mereka bergegas menuju gerbang belakang. Ia berlari tak karuan memikirkan keadaan ibunya yang tengah dalam bahaya. Rasa cemas dan khawatir menambah deras keringatnya. Beberapa saat berlari, mereka tiba di belakang rumah. Saat tengah mengendap-endap, tampak Emily berlari menuju gerbang depan rumah membawa satpam. Ed bergegas menyusulnya mencegah masuk lewat depan.
"Kok Emily di luar? Terus ibu sama siapa?!" batin Edward.
"Sstt! Sini!" Edward melambai memberi tanda.
Emily bergegas menghampiri. Wajahnya nampak khawatir bukan kepalang mendengar kabar yang mengejutkan itu.
"Bang, Ibu, Bang, aku takut ibu kenapa...,"
"Sut! Kita masuk diam-diam," bisik Edward.
Emily mengangguk seraya menahan tangis dalam keheningan. Air matanya berlinang saat ia mengenggam tangan saudara kembarnya. Ed membalasnya dengan memeluk Emily untuk mencoba menenangkan adiknya.
"Everything will be alright, trust me," bisik Edward dalam pelukan itu.
Mereka akhirnya bergegas mengandap-endap masuk.
Memasuki rumah, suasana tampak sepi dan gelap dengan suasana dingin di waktu petang. Ed dan satpam masuk dengan hati-hati dan was-was. Saat mereka memasuki ruang tengah, tiba-tiba lampu rumah menyala dan terompet berbunyi.
"!!!HAPPY BIRTHDAY!!!"
Ini adalah hari ulang tahun ke-17 Edward dan Emily.
"Selamat ulang tahun, anak-anak ibu!"
Bu Lastri memeluk dan mencium kening kedua anak kembarnya dengan haru. Sudah empat tahun semenjak ayahnya pergi, mereka hanya bisa merayakan ulang tahun bertiga dan kadang bersama keluarga om Wandi.
Edward tak bisa menahan air matanya melihat momen yang istimewa ini. Ternyata dia salah selama ini. Ed selalu merasa jika dirinya sendiri dan tak memiliki siapa-siapa, tapi buktinya, keluarga adalah aspek terpenting untuknya.
Mengenai orang asing tadi, ternyata itu adalah Wandi yang menyamar menjadi rampok dan satpam sudah tahu dengan rencana ini. Mana bisa orang asing masuk begitu saja ke perumahan mewah para golongan alfa itu.
Edward dan Emily tak habis pikir, mereka sangat bahagia hingga menangis dalam kalbu karena dunia mereka tak seburuk apa yang di katakan rasa sepinya. Nampak kue besar di atas meja dengan lilin angka 17. Wandi, Witri dan Syabil mendoakan yang terbaik untuk Ed.
"Ayo, ayo, make a wish!" ucap om Wandi.
Tante Witri bersahut. "Semoga Edison cepat dapat pacar!"
"Semoga Emilia makin pinter dan jadi orang yang sukses!" sahut Bu Lastri.
"Semoga pacar mereka baik sama Aku!" ucap Syabil.
Semua orang tertawa.
Emily memeluk Edward dan menangis meminta maaf karena terlalu menuruti apa katanya untuk tidak memberitahu orang tentang identitas mereka. Dia meminta agar Ed tak lepas untuk memperhatikannya. Terkadang, menjadi orang yang terkenal memang membuat kita puas, tapi di sisi lain, ada banyak sekali tekanan dan guncangan.
Edward kembali menangis dan memeluk saudara kembarnya dengan erat. Bu lastri memeluk mereka dan berbisik, "Kalian adalah kehidupan ibu yang sesungguhnya." Tangisan kembali pecah di waktu petang yang kian menghangat.
Akhirnya mereka menyantap bersama nasi kuning buatan Bu Lastri yang enak sekali.
"Nasi kuning sudah siap!" seru bu Lastri.
"Asyik, nostalgia!" sahut om Wandi
Emily bertanya dengan wajah sembab penuh bahagianya. "Nostalgia apa, om?"
Ada satu cerita yang semakin membuat haru makan malam itu. Dulu, di saat bu Lastri masih lajang, ia adalah seorang mojang desa yang ikut berjualan nasi kuning bersama orang tuanya.
Saat itu, pak Widyo adalah seorang pengusaha muda yang tampan dan murah hati. Ia sangat senang makan di WARUNG MAKAN LASTRI. Hampir setiap hari ia pergi kesana untuk makan dan menyapa gadis yang ia sukai.
Lama berkenalan dan sering bertemu, ternyata mereka berjodoh. Pak Widyo menikahi bu Lastri satu tahun setelah pertemuan mereka dan pindah bersama ke ibu kota untuk membangun rumah bagi keluarga kecilnya.
"Wah, so sweet banget, ya, ayah," jawab Emily dengan mata yang berlinang.
*****
Acara selesai dan semua orang kembali ke kamar masing-masing. Om Wandi dan keluarganya pulang, begitu pun pak satpam.
"Terima kasih, paman, bibi, Syabil, pak satpam," ucap Edward seraya menunduk.
Setelah mereka pergi, Edward bergegas membereskan meja makan dan mencuci piring kotor.
Hari mulai gelap, Edward ingat dirinya belum mandi dan masih berseragam sekolah. Badannya terasa lengket dan bau keringat. Ia bergegas menuju kamarnya.
Edison memiliki tubuh atletis. Di usia yang semuda ini, ia bisa merawatnya dengan baik. Mungkin, itu bisa menjadi alasan mengapa ia sangat di gemari dan juga di takuti orang lain.
"Thank God, it's my day," batin Edward.
"My day," sahut Alvin.
Hari itu berlalu dengan rasa haru dalam kalbu.
*****
Jam istirahat, Edward berjalan di koridor dengan muka datar dan musik di telinganya. Hari itu berjalan seperti biasa hingga ponselnya berdering dan Fitri menelepon ada sesuatu yang aneh di kelas.
"Tunggu, Fit. Aku segera ke kelas," jawab Edward seraya mempercepat langkahnya.
Tiba di kelas, semua mata tertuju padanya. Ada sebuah kotak biru muda yang di atas bangku Edward. Tampak sebuah boneka beruang putih tengah duduk di samping kotak itu. Wajah Edward memerah. Dalam kotak itu terdapat sebuah jam tangan dan tulisan tangan berisikan ucapan selamat.
"Haha, si Edward dapat Kado dari fan anonim!" ejek Abdul.
"Nih, buatmu."
Ed memberikan jam tangan itu pada Abdul.
"Eh, apa, nih, Ed?!" sahut Abdul kikuk.
"Ambil aja," sahutnya seraya menyempilkan surat itu pada sakunya dan menjinjing boneka beruang.
Fitri menghampirinya dengan bisikan yang penuh tanya.
"Dari siapa, Ed?"
"Orang bernama bidadari," jawab Edward.
"Emang ada yang namanya bidadari?" sahut Fitri.
Edward menaikkan pundaknya.
Kring!
*****
Hari menjelang sore, Emily pulang naik angkot karena merasa bosan naik taksi. Ternyata, Edward pun di sana. Mereka tak bertegur sapa karena banyak siswa lain di angkot itu.
Terdengar desas-desus penumpang angkot lain membicarakan mereka. Tentang mengapa si tampan dan si selebgram itu naik angkot. Sadar mereka sedang di gibahkan, Emily mengirim Ed pesan dengan emoji tertawa.
"LOL."
"Lol apa?"
"Itu apa-apaan bawa boneka segede gaban."
"Ada yang memberiku hadiah, kalo kamu suka, buat kamu aja," balas Ed.
"Tawaran diterima, thanks."
Edward memegang erat boneka itu.
Tanpa di sadari, orang-orang terdiam mendengar ponsel mereka berdering bersahutan layaknya dua orang yang sedang bertukar pesan. Emily hanya senyum pada semua orang di angkot dan turun tepat di depan gerbang komplek. Sementara itu, Edward turun agak jauh mengingat ia tak boleh terlihat turun bersama kembarannya. Aneh memang, dia yang membuat peraturan, dia sendiri yang kesusahan.
*****
Saat memasuki rumah, tercium aroma sedap dari dapur. Rupanya bu Lastri tengah memasak Sup Ayam kesukaan anak-anaknya. Tak banyak tingkah, Emily langsung meluncur menuju dapur dan menyapa ibunya.
Ia sangat senang karena sudah lama bu Lastri pulang lebih awal dan bisa masak seperti ini.
"Eh, sudah pulang, Nak?"
"Udah bu, yeay ibu masak sup kesukaanku!"
"Kamu ini, udah SMA juga masih aja kayak anak kecil."
"Mom, I'm the youngest here. That's my duty"
"Hmm, okay, girl. Yes! You are."
"Jangan di manja terus, Bu. Udah gede juga," sahut Edward memasuki ruang makan yang sempat menyimak pembicaraan ibu dan saudara kembarnya itu di balik pintu.
Emily mendengkus kesal.
"Eh, eh, eh, sini bonekanya, bukannya itu untukku?"
"Ngga jadi," jawabnya seraya menaiki tangga.
Bu Lastri hanya tersenyum menyaksikan momen langka bagi mereka untuk berkumpul di bawah jam enam sore.
Setelah bersih-bersih, Edward dan Emily turun dari kamarnya untuk segera menyantap Sup Ayam.
"Dih, kamu nggak mandi dulu?" ledek Emily pada kakaknya yang masih berseragam.
"Nanti aja, lapar banget soalnya," jawab Edward seraya mengelus-elus perutnya.
Saat tengah menyantap sup. Emily bertanya hal yang membuat Edward menyemburkan sup itu. Dia bertanya mengenai apa hubungan Edward dan Willy hingga mereka harus membuat pertunjukan drama di koridor lantai satu.
Dengan mulut yang masih penuh dengan air, Edward menjawab pertanyaan konyol yang Emily lontarkan.
"Terus kalo kalian nggak pacaran, tadi itu apa?"
Edward mematung seraya memikirkan kembali apa penyebab masalah itu. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sudah, jangan goda abangmu," ujar bu Lastri yang sejak tadi diam menyimak.
"Kenapa? Kamu sama Willy memang berhubungan?" tanya bu Lastri serius.
Edward memicingkan matanya.
Selesai makan, Ed ingin berbicara penting kepada ibunya, tapi dia tak yakin hal itu perlu di bicarakan. Di sisi lain, jiwa plin-plannya mengatakan dia harus membicarakannya.
"Ini bu, perihal Emily. Aku merasa tiap hari makin banyak orang asing yang ganggu Emily dan aku sendiri nggak berdaya buat jaga dia. Kenapa peraturan yang aku buat malah jadi bumerang buat aku sendiri ya, bu? Bahkan, di sekolah pun dia di goda anak kelas 12 di depan mata kepala aku, tapi aku nggak bisa apa-apa," ucap Ed dengan nada penuh pasrah.
"Edison, kamu sekarang sudah mulai dewasa, kan? Coba, kalau misal kamu mau lindungi adikmu, siapa yang harus menarik keputusan yang dia buat? Dulu, ibu setuju karena ibu pikir itu yang terbaik untuk kalian berdua, juga mengingat kondisimu saat itu. Tapi sekarang, ibu ingin kalian bersatu agar lebih akrab dan kuat. Ibu lihat di Sosial Media, Emily sering di ganggu oleh haters anonim. Ibu juga khawatir, Nak. Jadi, tolong, kamu harus siap untuk membuka diri, ya? Ayah pasti bangga melihat kamu beranjak dewasa dan mulai belajar bertanggung jawab seperti kepala keluarga."
Ed mengangguk dengan wajah yang penuh ketidakberdayaan. Mulai sekarang, dia mencoba untuk selalu siaga untuk mengawasi adiknya itu.
Suasana hening untuk beberapa saat. Edward pamit ke kamarnya untuk mengerjakan tugas yang belum sempat ia selesaikan. Saat mereka beranjak ke kamar masing-masing, Emily menjerit histeris dari kamarnya. Edward dan bu Lastri bergegas ke atas. Tiba di kamar Emily, dia nampak tenang hingga teriakan itu kembali melengking.
"Ahh!! Jefri Nichol follow ig aku!
Edward mematung dan seketika menoleh pada ibunya yang sama-sama heran dengan apa yang terjadi. Saat Ed kembali memusatkan pandangannya pada Emily yang tampak setengah kerasukan, Bu Lastri berlari riang memeluknya dan berjingkrak bersama.
YEAY!
Edward menghela nafas melihat tingkah mereka. Ternyata, mereka sama saja.
"Jefri Nichol itu siapa, sih?" batin Edward bertanya-tanya.
Seketika Edward membuka akun instagramnya yang sudah usang untuk mencari tahu orang dengan nama tersebut. Rupanya, orang itu adalah salah satu aktor yang tengah di gandrungi banyak orang.
"Beruntung banget dia," gumam Ed sembari menyaksikan dua wanita kesayangannya berjingkrak bersama.
Ed kembali berjalan menuju kamarnya. Jarak kamar mereka cukup jauh, mengingat rumah itu cukup besar dan memiliki banyak kamar dan kaca yang lebar untuk cahaya.
"Mereka emang nggak ada bedanya sejak dulu," gumam Alvin pada benak Edward.
Tiba di kamar, Edward merebahkan dirinya di atas kasur lembut yang selalu ia dekap setiap saat.
Ponselnya berbunyi.
"Mr. Edison, kapan mulai latihan? Pianonya sudah kami bersihkan."
"Jum'at ini ya, Rik. I promise."
"Sure."