Chereads / don't blame us / Chapter 4 - wonderment

Chapter 4 - wonderment

Tok Tok Tok!

Erik mengetuk pintu membuat Willy terkejut.

"Fuck off!" bentak Edward.

Edward mendorong Willy hingga terjatuh di susul oleh Erik masuk dan melihat Willy tersungkur di lantai.

"Wil, kamu kenapa?"

"K, ketiduran, Rik. Kau belum pulang?"

Melihat Willy sedang dalam mode terbang. Erik segera menghampiri dan merangkulnya untuk beranjak bangun.

"Ed, bantu, dong!" menarik tangannya.

"Nggak!" bentaknya kesal.

"Ini masa si Kiwil di biarkan teler begini."

Edward mematung.

"Kalian kenapa, sih? Tadi di lapang biasa aja padahal."

Saat mengunci ruang Klub Musik, Erik melihat lampu ruang klub Basket masih menyala dan terdengar ada orang. Ia tak tahu ada apa di antara mereka, Edward terlihat kesal dan Willy terkapar teler.

Trek!

Setelah mengunci ruang klub. Mereka bergegas pulang. Tiba di gerbang, mereka kebingungan mencari alasan yang masuk akal mengapa masih berada di sekolah.

Pak Satpam yang tengah berjaga terlihat masam melihat Willy yang dengan beraninya masuk ke lingkungan sekolah dengan keadaan seperti itu.

"Kenapa Willy?" tanya pak Satpam tegas.

"Pusing, Pak, katanya," jawab Erik polos.

Edward hanya diam menyimak mereka dengan penyuara telinga yang menempel.

Fokus satpam teralihkan saat dirinya melirik Edward, ia sontak merengkuhkan badannya seraya tersenyum.

"Ya, sudah. Antar dia pulang!" pungkasnya seraya memakai topinya untuk bersiap patroli malam.

*****

Di angkot, Willy hanya diam saat Erik bertanya. Begitu pun Edward dengan muka datarnya yang terlihat jelas tengah marah. Erik heran apa yang terjadi di antara mereka, padahal tadi terlihat sangat akrab.

"Kamu serius minum-minum siang bolong?" tanya Erik.

"Aku nggak minum, cuman, kok, pusing gini, ya?"

Erik mengerutkan wajahnya.

"Ed, kamu kenapa? Nggak teler, kan?"

"Nggak apa-apa, Rik," jawabnya ketus.

Edward terlihat kesal dan marah pada Willy. Erik mendengkus melihat kejanggalan di antara mereka. Padahal, orang yang saat itu bersama dirinya adalah sosok Alvin, Edward yang sebenarnya. Mereka tidak sadar jika seharian ini Edward yang mereka kenal tengah tertidur di dalam benaknya sendiri.

Beberapa saat kemudian, Erik turun dan berterima kasih sudah menemaninya. Rumah Erik berada di perumahan yang cukup mewah.

"Guys, makasih, ya! Nanti mampir ke rumahku, oke?"

Edward mengangguk.

Eriko Fly Ernaman atau Erik adalah seorang siswa kelas sebelas dan ketua Klub Musik. Kemampuan bermusiknya membuat semua siswi terpincut hingga getaran jiwa. Ia memiliki paras yang rupawan. Ibunya bekerja sebagai Dokter Bedah dan ayahnya seorang Arsitek. Ah, what a perfect boy.

Suasana hening, Willy mulai sadar, tapi Edward dengan datar dan tak acuh hanya mendengarkan musik. Artis favorit mereka adalah Taylor Swift dan Lana Del Rey. Suasana menjadi begitu hening mengingat waktu sudah malam dan penumpang lain sudah berangsur turun.

Hanya tinggal Willy dan Edward dalam angkot itu yang duduk sangat berjauhan. Beberapa menit kemudian, Willy turun dengan kepala yang masih sedikit pengar. Edward ingin membantu dan memastikan dia pulang dengan aman, tapi rasa kesalnya masih melekat hingga mengalahkan hati nuraninya.

"Ed, Makasih, ya!"

Edward mengangguk dingin padanya.

****

Seraya menyusuri jalan pulang, Willy mencoba untuk sadar dan mengingat apa yang terjadi. Ia yakin tak sepenuhnya mabuk, bahkan teler. Namun, kepalanya sangat berat dan badannya sempoyongan.

"Aku nggak banyak minum tapi kok pusing gini, ya?" batinnya bertanya-tanya.

Willy seketika menghentikan langkahnya di dekat rumah. Ia sadar kakak perempuan yang ia panggil Teteh akan mengamuk melihatnya seperti ini. Willy memutuskan untuk mengendap-endap dan masuk lewat pintu belakang. Sayangnya, keberuntungan sedang tidak berpihak padanya.

"Dari mana aja kamu? Jam berapa ini? Teu nyaho waktu sekolah teh!" bentak teteh Willy.

Willy mencoba menjelaskan mengapa ia pulang malam tapi kepalanya tak berhenti berputar yang membuatnya terus-terusan mengoceh kata-katanya. Melihat ada yang janggal dengan adiknya, Winanti mencoba mendekati adiknya. Ia mendelik setelah mencium bau alkohol dari tubuh Willy.

Sontak Winanti membungkam Willy sembari merangkulnya ke kamar. Ia tahu jika adiknya masih dalam pengaruh alkohol. Winanti tak ingin kakak laki-laki yang mereka panggil Aa itu murka terhadap Willy. Sudah cukup Willy menderita karena selalu di sebut sebagai penyebab kematian ibunya oleh Waditra.

"Sstt! Ayo cepet ke kamar, aa udah balik. Kamu nggak mau mati di tangan dia, kan?"

Winanti sudah pasrah dengan kelakuan adik bungsunya. Dia selalu berpikir jika semua ini memang berawal dari lingkungan keluarga. Tak adanya kasih sayang dari sang ibu membuat Willy menjadi anak yang berontak dan selalu menantang setiap hal. Teteh Willy akhirnya tak kuasa menahan tangis melihat Willy yang melampiaskan seluruh perasaannya pada alkohol. Dia dan Waditra merasa gagal dan egois dalam mendidik adik bungsunya itu.

"Iya, teh, bawel banget anjir kaya burung beo."

"Berisik, monyet. Cepat sana mandi!"

*****

Malam itu tiba-tiba turun hujan, Edward turun dari angkot menuju apotek dekat rumahnya untuk membeli suplemen. Ia turun dengan basah kuyup yang membuat bentuk tubuhnya terlihat. Saat memasuki apotek, semua orang menatapinya bak cuci mata gratis.

"Wah, cakep bener, ya."

"Iya, seksi banget."

"Instagram nya apa, ya?"

Ed mendengar jelas perkataan mereka. Ia hanya menoleh dingin dengan reaksi heboh mereka.

Setelah berkeliling mencari suplemen yang ia cari, Edward pergi ke kasir. Ia membeli suplemen berbahan dasar sari buah asli asal timur tengah yang rasanya manis legit.

"Ini, Mbak."

"Ini aja, Dek? Nggak sama obat demamnya?" tawar kasir alih-alih menggodanya.

"Ini aja, Mbak," jawabnya seraya menoleh dengan muka masam.

"Baik, dek. Totalnya 125 ribu."

Edward membayar dan segera pergi meninggalkan apotek.

Kasir tadi tak berkedip dan memalingkan pandangan saat Edward keluar. Ed sempat diam sejenak di luar karena hujan yang tak kian reda. Namun, hari mulai malam dan pasti ibunya khawatir di rumah. Ia menghubungi Emily untuk memastikan keadaan rumah.

"Emily, udah pulang?"

"Udah, ibu mencarimu."

Edward pulang dengan basah kuyup di tengah hujan membuatnya menggigil kedinginan. Setelah sepuluh menit ia berjalan, Ed tiba di rumah.

Bu Lastri tampak tengah duduk dengan tergesa menunggu anak bujangnya tiba. Mendengar suara pintu terbuka, ia bergegas menuju pintu.

"Kenapa pulang basah kuyup gini, Nak? Ayo cepat mandi!" ujar bu Lastri

"Iya, Bu."

Di ruang keluarga, tampak Emily sedang rebahan di atas sofa sambil menonton TV. Ia tertawa melihat Edward yang kedinginan.

"Edward, kau habis syuting drama?"

Walaupun Emily terlihat angkuh dan merasa paling superior, dia selalu peduli dengan keadaan kembarannya. Bukan karena malu karena mempunyai saudara seperti Edward yang anti sosial, tapi Edward sendiri yang memintanya sendiri untuk menjaga jarak jika tengah berada di luar rumah. Ed takut Emily tak mendapat banyak teman seperti dirinya, terutama jika ada yang tahu dia kembaran Edward.

Ed mengacungkan jari tengahnya seraya berjalan menaiki tangga.

*****

Suasana ibu kota terasa lebih sejuk setelah hujan. Malam itu, Edward tengah membaca di balkon rumah dengan segelas coklat panas. Ia sangat hobi membaca novel tebal. Apapun genrenya pasti dia baca karena menurutnya 'baca dulu baru komen.'

Walaupun Edward pendiam, dia sangat kritis dalam berpikir. Sayangnya, ia hanya bisa berargumen hanya dengan dirinya sendiri.

"Bang!"

Emily menghampirinya membawa buku pelajaran, ia tahu kakaknya pintar dalam ilmu sosial. Dia meminta bantuan Edward mengerjakan tugas semester kemarin yang belum sempat ia serahkan.

Heran sekali kenapa dia bisa peringkat pertama jika di semester lalu ada tugas yang belum selesai?

"Terus, kok, kamu bisa naik kelas?"

Adiknya menjelaskan, saat itu guru mata pelajaran yang bersangkutan memberi keringanan nilai atau Ia harus berhutang dan menyerahkannya di pertemuan awal semester baru.

Emily sempat sakit dan di rawat di rumah sakit karena terkena demam berdarah. Ia melewatkan satu hari terakhir tenggat pengumpulan tugas yang membuatnya nyaris tak naik kelas, tapi berhubung guru mata pelajaran itu pernah meminta bantuan Emily untuk mengulas makanan restorannya, beliau merasa berhutang budi dan memberinya keringanan.

"Beruntung banget jadi terkenal," pungkas Edward seraya menyesap coklat panas.

Sekali lagi, dia di selamatkan oleh hal yang Edward tak sukai. Mereka belajar bersama hingga larut malam.

Alvin merasa kelelahan setelah menemani adiknya mengerjakan tugas, di tambah membopongnya ke kamar. Ia bergegas mengunci pintu kamar dan merebahkan diri di atas kasur. Baru saja beberapa detik, ia sudah berada di alam bawah sadar.

"Eh, kok, kamu ada di sini juga? Ini udah waktunya tidur, ya?" tanya Edward pada Alvin yang tengah berbaring di sampingnya.

"Iya, tuh. Emily tadi minta tolong padaku untuk kerjakan tugas sejarahnya. Beruntung, dia tengah bersamaku, kalo denganmu, udah pasti anjlok, tuh, nilainya," cerocos Alvin seraya menggeliat.

"Thanks, Alvin. Aku berhutang banyak padamu," pungkas Edward sembari mengubah posisi tidurnya.

Alvin hanya tersenyum dengan menatap langit-langit ruangan serba putih itu. Dia tak yakin akan berapa lama sosok Edward ini bisa menjadi alternatif dirinya. Alvin harus terus berfokus pada misinya untuk menguak misteri kematian ayahnya.

*****

Pagi hari tiba, Emily terbangun di kamarnya. Ia ingat betul semalam tertidur di balkon. Ia bergegas keluar kamar dengan sedikit kebingungan. Emily melihat kakaknya tengah berjalan dengan setelan seragam yang sudah rapih terpakai. Mereka bertemu di lorong lantai dua.

"Edwrad! Semalam siapa yang pindahkan aku?!" tanya Emily

"Setan," jawab Edward.

"Dih, kamu dong setannya?"

"Iya! Kamu kembaran setannya," timpal Edward.

Emily mendengkus kesal.

*****

Kali ini, Edward berangkat lebih dulu karena ada urusan di Perpustakaan. Jika tidak membaca, dia hanya menumpang tidur atau sekedar diam untuk menonton serial. Sedangkan, Emily pergi bersama dengan Lastri karena beliau ada urusan di perusahaan dekat sekolah.

*****

Bu Ratih menagih denda buku yang ia pinjam lebih dari satu bulan. Ed tak pernah mengembalikan buku tepat waktu dengan alasan lupa dan ingin terus membacanya.

"Edison! Kapan kamu mau kembalikan bukunya? Sudah satu bulan!"

"I, iya bu, Maaf. Tapi ... sekarang saya nggak bawa ... saya ke sini mau pinjam lagi."

Sempat marah, bu Ratih memintanya untuk membelinya saja, mengingat dia orang berada. Tapi, Edward tak mau karena rasanya akan berbeda.

"Ya, sudah. Ini kesempatan ketujuh kamu!"

"Baik, Bu. Terima kasih."

Ia kembali ke kelas setelah berdebat dan menerima denda dengan membereskan buku, bukan membayar. Padahal, anak sepertinya bisa dengan mudah menutupi apapun dengan uang.

*****

Alvin terus menganggunya untuk bertukar badan di hari itu. Edward bersikeras untuk menolak, tapi Alvin terus memojokannya. Hal itu membuat kepala Edward pening dan meminta izin ke toilet.

"Aku nggak habis pikir terhadapmu, Edward. Kenapa kita sangat bertentangan?"

Edward bersungut mendengarnya.

"Sudahlah, aku bisa melakukannya tanpamu. Mulai saat ini, aku yang memegang kendali," pungkas Edward.

Alvin tiba-tiba menghilang begitu saja dari pantulan cermin wastafel.

*****