Chereads / Cinta 1302 / Chapter 3 - Alihan dan Sang Pria Seljuk

Chapter 3 - Alihan dan Sang Pria Seljuk

Suara benda yang dibuka tutup terdengar terus-menerus. Membuat Alihan mau tidak mau memindahkan matanya dari jalanan di depannya ke arah Altan. Berkali-kali fokusnya terpaksa terbagi seperti itu. Untunglah jalanan Istanbul tengah padat oleh lalu lintas pada jam pulang kerja. Kondisi yang normalnya akan membuat mulut Alihan tak henti-hentinya merutuk ke sana kemari namun kini menjadi sesuatu yang disyukurinya.

'Heh, memang ada yang akan normal di hidupku setelah kedatangannya?', sengit Alihan dalam hati.

Sekarang, macet bukan lagi berarti mati menunggu di jalanan bagi Alihan. Macet artinya dia tidak harus memacu mobilnya di kecepatan 90 km/jam. Lebih tepatnya, dia jadi tidak harus menginjak pedal gas mobilnya sembari mengawasi apa yang sedang dilakukan oleh Altan yang duduk di sebelahnya. Bisa-bisa dia menabrak dan mati konyol bila harus melakukan keduanya sekaligus!

Benar, kan? Bagaimana dia bisa menyetir sambil mengawasi seorang pria yang tingkah lakunya tidak ada bedanya seperti anak kecil? Namun dengan lalu lintas yang pergerakannya merayap, Alihan jadi tidak harus menghadapi resiko mati konyol tersebut. Atau membawa orang lain untuk ikut mati bersamanya seandainya dia menabrak.

'Amit-amit!' seru Alihan dalam hati.

Refleks Alihan menggelengkan kepalanya, menghapuskan bayangan mengerikan tersebut dari pikirannya. Memang lebih aman baginya naik bis saja seperti yang biasanya dia lakukan. Setidaknya Alihan tidak perlu berhadapan dengan stresnya menyetir di Istanbul meskipun di dalam bis dia sudah pasti tidak akan mendapatkan tempat duduk.

Sialnya naik bis pun jadi pilihan yang tidak masuk akal baginya sekarang. Mana mungkin dia bisa naik kendaraan umum dengan membawa Altan yang kelakuannya... Ah, sudahlah!

Pria bernama Altan yang sejak tadi dikeluhkannya itu sedari tadi sedang sibuk memainkan tutup laci dashboard mobilnya, omong-omong. Altan membuka tutup lacinya dengan perlahan, menilik dalamnya, kemudian menutupnya kembali dengan gerakan menghempas yang agak keras. Selang beberapa detik, Altan melakukan hal yang sama lagi. Dan Altan sudah melakukannya berulang kali.

Alihan bisa memahami -- 'terpaksa memahami' lebih tepatnya -- tindakan Altan yang membuka tutup laci dashboard-nya. Siang tadi saat berangkat ke kantor pria itu juga menarik-narik sabuk pengamannya sehingga menimbulkan suara seperti karet yang direnggangkan lalu dilepaskan. Jadi Alihan menganggap kelakuan Altan kali ini pun serupa dengan kelakuannya tadi siang.

Yang gagal dipahami Alihan adalah kenapa pria itu menilik isi laci sampai sebegitunya. Sampai seolah Altan akan memasukkan kepalanya ke dalam laci.

"Altan, apakah kau hendak memasukkan kepalamu ke dalam sana?" setelah dari tadi membiarkan Altan akhirnya Alihan membuka suaranya.

Suara 'tak, tak, tak' dari tutup laci dashboard yang dibuka tutup oleh Altan sudah tak dapat ditahan lagi oleh Alihan. Kelakuan Altan sudah tak dapat ditahannya lagi! Pun begitu, Alihan masih berusaha untuk bersikap sopan dengan tidak membentak pria tersebut.

"Tidak," Altan menjawab tanpa dosa sambil tetap memeperhatikan laci dashboard mobil Alihan.

"Lalu apakah ada sesuatu yang kau cari dari dalam sana?"

"Tidak," jawab Altan, kali ini sambil memainkan tutup laci itu kembali.

"Kalau begitu apakah kau tidak keberatan untuk berhenti membuka tutup laci itu?" pinta Alihan diiringi dengan senyum yang dipaksakan. "Kau bisa terjepit," katanya sembari menunjukkannya melalui gerakan tangannya.

Alihan sebenarnya sudah kehilangan kesabarannya. Ingat, dirinya bukanlah pribadi yang sabar apalagi toleran terhadap kelakuan absurd orang-orang. Yah, meskipun dia sendiri juga absurd. Tapi itu lain ceritanya karena mana mungkin Alihan menyadari ke-absurd-an dirinya sendiri?

"Aku harus meneliti apapun yang ada di masa ini. Mungkin salah satunya akan menjadi jalan yang dapat membawaku pulang," Altan menolak.

Tidak ada ceritanya Altan akan terpengaruh apalagi ketakutan setelah mendengar kata terjepit. Alihan tidak mengetahuinya tetapi apa yang telah dilalui Altan selama ini, di masanya, jauh lebih berbahaya daripada sekedar terjepit tutup laci.

'Bila hanya karena khawatir akan terjepit lantas aku memilih mundur maka selama ini hidupku tidak lain hanyalah gurauan belaka', pikir Altan.

Alihan menghela nafasnya yang terasa berat oleh rasa jengkel. Lantas dia menatap Altan. "Altan, dengar. Ini namanya mobil, oke? Mobil ini bisa membawamu dari satu tempat ke tempat lainnya, sama seperti kuda yang kau tunggangi di masamu. Tapi mobil ini tidak bisa membawamu ke masa lain. Apa kau mengerti?" Alihan mencoba menjelaskan sesabar mungkin.

Altan menatap Alihan dengan matanya yang mengawang, menunjukkan kalau dia sedang berpikir. "Tidak bisa?" ulangnya memastikan.

Alihan mengangguk mantap. "Iya, tidak bisa!" tegasnya. "Oh, tapi kalau kau mau ke alam lain, mobil ini mungkin bisa mengantarkanmu. Tanpa diriku di dalamnya pastinya," tambahnya sarkas.

"Ke alam lain? Alam yang mana?" Altan bertanya dengan polosnya.

"Alam barzah, Saudaraku!" jawab Alihan kesal. "Sudah, sudah! Lepaskan tanganmu dari sana!" suruhnya sembari menepis tangan Altan. Memaksa Altan untuk tak menyentuh laci dashboard-nya kembali.

Altan pun akhirnya melepaskan perhatiannya dari laci tersebut. Namun bukan berarti dia akan diam saja duduk di sana seperti yang diharapkan oleh Alihan. Saat ini kepalanya tengah berputar memikirkan sesuatu dengan pandangannya yang menyapu jalanan di luar sana.

Kendaraan, bangunan, dan hiruk pikuk di kota bernama Istanbul itu sungguh terasa sangat asing baginya. Dalam diam Altan merekam semuanya ke dalam otaknya. Termasuk simbol-simbol yang tertulis di atas papan-papan besar -- simbol-simbol yang baru pertama kali dilihatnya dalam hidupnya.

Altan lantas menoleh ke arah Alihan. "Itu apa?" tanyanya sembari menunjuk pada deretan simbol-simbol di atas sebuah bangunan.

Alihan mengikuti arah telunjuk Altan. "'Itu' yang mana?" tanyanya saat gagal menemukan apa yang ditunjuk oleh Altan.

"Simbol-simbol yang tertulis pada papan di atas bangunan itu," Altan memperjelas.

"Oh. Itu bukan simbol. Itu namanya huruf, alfabet," Alihan menerangkan.

Altan kembali mengamati huruf-huruf tersebut. "Jadi kalian para orang Turki di masa ini sudah tidak menggunakan huruf Arab lagi?" tanyanya sembari mengamati satu per satu bentuk setiap huruf yang dilihatnya.

"Hm, ini sudah 718 tahun berlalu sejak masamu," Alihan menanggapi dengan datar.

Tidak terlihat antusiasme baik dari suara maupun dari ekspresi di wajah Alihan saat mengatakannya. Sebaliknya, pandangannya menatap pada kemacetan di depannya dengan tatapan kosong. Namun hal tersebut tak berlangsung lama karena sejurus kemudian dia berpaling pada Altan dengan kedua bola matanya yang melebar sempurna.

"Oh, sial! Apa aku baru saja bilang 718 tahun?" seru Alihan histeris karena baru saja menyadari fakta tersebut.

Sejak kemarin Alihan sudah tahu dari mana Altan berasal namun dia baru menghitung 'jarak' yang terbentang dari tempat asal mereka saat ini, itupun dia menghitungnya dalam kondisi tidak sadar. Kenyataan tersebut berhasil menghantam kejiwaannya dengan sangat keras.

Setelah menyadarinya, Alihan meletakkan kepalanya ke atas kemudi. Matanya terpejam dengan wajahnya yang berkerut, yang menunjukkan kalau dirinya tengah merasa nelangsa. Sangat nelangsa malah!

"Ini benar-benar gila! Aku pasti sudah gila sekarang!" Alihan meracau dengan suara parau.

"Aku tahu ini pasti berat bagimu. Akupun juga merasa demikian, Saudaraku," ucap Altan prihatin sembari menepuk-nepuk bahu Alihan. "Tapi tenang saja. Kau tidak gila," lanjutnya dengan niat membesarkan hati Alihan.

"Belum," ralat Alihan yang kini mulai mengkhawatirkan nasib dirinya.

Oh, Tuhan semesta alam! Apa yang harus dilakukannya dengan seorang pria Seljuk bersamanya?