Bagaimana syok menghantam Alihan dan menghapus logikanya ketika mendapati seorang pria dari masa lalu jatuh ke dalam rumahnya, begitu pulalah Altan saat mendapati dirinya terdampar sangat jauh dari tempatnya. Bedanya, Altan dapat melepaskan diri dengan cepat dari rasa syok yang mengungkungnya. Terima kasih pada kemampuan bertahan hidupnya yang merupakan hasil dari gemblengan sejak kecil.
Sementara Alihan, sampai detik inipun dia masih terombang-ambing, tak bisa menentukan apakah yang dialaminya nyata atau tidak. Bukan karena Alihan anak manja yang tidak terbiasa menerima guncangan. Dia sudah sering bertugas di daerah konflik sebagai sukarelawan bahkan sebelum menjadi ketua organisasi Mozaik. Hanya saja, tentulah kemampuannya jauh di bawah Altan. Jadi di saat Altan sudah memulai proses adaptasinya dengan masanya yang baru sambil tetap mencari jalan pulangnya, Alihan masih saja mencari-cari di mana akal sehatnya berada saat ini.
Syukurnya, dengan kondisi kejiwaannya yang sedemikian rupa Alihan masih dapat mengemudikan mobilnya dalam keadaan selamat, tidak menabrak ataupun ditabrak oleh apapun hingga sampai ke daerah di mana apartemennya berada.
"Kita ke market dulu," kata Alihan seraya membelokkan mobilnya di perempatan.
Altan menarik dirinya dari memandangi jalanan. Dia menoleh ke arah Alihan. "Apa itu market?" tanyanya lugu.
"Hm, semacam pasar," Alihan menjawab tanpa melihat Altan. Fokusnya sedang tertuju pada mobilnya yang kini tengah menepi ke sisi trotoar. Matanya bergerak mencari-cari tempat kosong yang dapat digunakannya untuk memarkir mobilnya sembari memperhatikan pergerakan pengendara lain di belakangnya melalui kaca spionnya.
Mendengarnya, Altan lantas menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri demi mencari keberadaan pasar yang dimaksud oleh Alihan. Dirinya sangat antusias untuk melihat bagaimana pasar yang ada di masa modern. Sayangnya Altan tidak menemukan keramaian di sekitar sana. Hanya ada deretan gedung yang menjulang dengan jendela-jendelanya yang bertingkat-tingkat.
Altan kembali menoleh pada Alihan yang kini telah berhasil memarkirkan mobilnya. "Mana? Aku tidak melihat pasar yang kau maksud?"
"Turunlah. Kau akan melihatnya nanti," kata Alihan tanpa ambil pusing.
Saat dirinya menyamakan market dengan pasar, Alihan sudah memperkirakan kalau Altan akan menangkapnya sebagai pasar tradisional. Kebetulan saat ini Alihan sedang tidak ingin banyak bicara.
Sejak pagi Alihan harus terus-menerus menjawab Altan yang bertanya mengenai 'apa ini' dan 'apa itu' tak ubahnya seperti anak kecil. Bila Alihan tak menjawabnya, Altan akan merongrong. Alihan pun lelah. Benar, Alihan yang terkenal dalam kemampuan bicaranya lelah berbicara! Terima kasih kepada Altan untuk itu. Maka dari itu Alihan memilih untuk langsung menunjukkannya saja kepada Altan apakah market itu.
Altan yang sudah belajar cara membuka pintu mobil tanpa ragu menarik handle-nya. Kemudian dengan cepat dia mendorong pintunya ke arah luar. Suara 'duk' yang keras pun terdengar tatkala bagian bawah pintu mobil menatap tepian trotoar.
"Ada yang mengganjal pintunya untuk terbuka di luar sana," dengan lugunya Altan memberitahu Alihan.
Yang diberitahu hanya dapat meratapi. Wajahnya berkerut akibat tangis yang berusaha untuk ditahannya.
"Pelan-pelan saja saat membukanya ya, Altan?" kata Alihan sambil tangannya memperagakan gerakan mendorong yang pelan. Suaranya tercekat. Hendak berteriak marah-marah pun dia sudah tidak sanggup.
"Ada batu di bawah sana jadi pintunya tidak akan dapat terbuka dengan lebar. Lain kali kau harus memperhatikan ada tidaknya batu seperti itu atau halangan lainnya sebelum membuka pintu mobil supaya tidak menatap lagi seperti ini. Apa kau mengerti?" pelan-pelan Alihan menjelaskan, sesuatu yang sebenarnya takkan dilakukannya. Tapi karena dia tidak punya cara lain selain harus membantu Altan beradaptasi dengan kehidupan di masa modern maka Alihan harus memastikan bila pria Seljuk tersebut memahami dengan baik tata cara hidup di masa itu.
"Oh, begitukah? Seperti ini?" Altan lantas mempraktekkan apa yang baru saja ditunjukkan oleh Alihan.
"Ya. Pelan-pelan... Pelan-pelan..." Alihan memberikan aba-aba dengan matanya yang membulat memperhatikan gerakan Altan.
'Semoga tidak membentur... Semoga tidak membentur...', Alihan merapalkan doanya.
Untunglah Altan adalah pembelajar yang cepat. Dia melakukan persis seperti apa yang ditunjukkan kepadanya. Pintu mobil Alihan pun selamat dari berbenturan dengan tepian trotoar untuk yang kedua kalinya. Sejenak Alihan menghembuskan nafas lega karenanya, sebelum kemudian dia bergegas turun dari mobil untuk mengecek kondisi pintu mobilnya.
Entah Alihan harus bersyukur atau bersedih setelah melihatnya. Ada goresan panjang yang tidak terlalu dalam pada pintunya. Baiklah itu lebih ringan daripada kecemasannya akan pintunya yang penyok. Tapi sebelumnya pintu mobilnya itu benar-benar mulus paripurna! Dan mendapati hilangnya kemulusan itu membuat Alihan patah hati.
Di lain pihak, Altan yang tidak ada ide mengenai apa yang dicemaskan oleh Alihan sedang berusaha untuk melewati celah sempit dari pintu yang sedikit terbuka. Altan membuat postur tubuhnya setegak mungkin dan dengan hati-hati menyelipkan dirinya keluar dari mobil.
"Menunggangi kuda jauh lebih baik daripada menaiki benda ini," komentar Altan begitu berada di luar.
"Ya, tentu saja. Kalau saja aku bisa menemukan kuda untukmu, aku pasti akan dengan sukarela memberikannya padamu daripada membiarkanmu menaiki mobilku. Dengan begitu mobilku tidak perlu mengalami lecet seperti ini!" timpal Alihan penuh sarkasme.
"Lecet?" Altan mengulang tidak mengerti. Namun dia dengan segera tahu harus ke mana mengarahkan matanya. Begitulah Altan mendapatkan jawabannya setelah melihat goresan panjang yang kini menodai pintu mobil Alihan. Baginya itu adalah masalah kecil yang tidak perlu dibesarkan. Solusinya mudah sekali.
"Bukankah benda ini dari besi? Kalau begitu kau tinggal membawanya saja ke pandai besi. Apa tidak ada pandai besi di dekat sini? Aku yang akan menanggung biayanya," saran Altan yang berhasil membuat Alihan semakin tertekan.
"Tidak, terima kasih," tolak Alihan segera.
"Tapi aku yang menyebabkannya jadi begitu. Apakah kau ingin aku yang memperbaikinya sendiri? Aku juga bisa melakukannya. Tapi tentunya hasilnya tidak akan sebaik bila pandai besi yang mengerjakannya," Altan menawarkan dengan lugu.
Alihan mendesahkan nafasnya. "Aku akan sangat menghargai dan juga berterima kasih kalau kau tidak melakukan apapun."
Kalau saat ini dia berurusan dengan orang lain, sudah pasti Alihan akan meminta ganti ruginya. Tetapi yang dia hadapi adalah Altan. Bukannya mendapatkan ganti rugi malah Alihan berpotensi besar untuk semakin bertambah frustasi menghadapi pria tersebut.
Lihatlah dari kata-kata yang diucapkan Altan. Pandai besi? Altan yang akan mengganti rugi? Pandai besi apa dan ganti rugi apa!
Oh, Ya Tuhan! Sungguh rasanya Alihan ingin menghantamkan kepalanya ke atas aspal saja saat ini. Mungkin dengan begitu semua hal ajaib yang sekarang sedang dijalaninya akan terhapus bak mimpi.
'Apakah aku harus mencobanya?', Alihan mempertimbangkan.
Sejurus kemudian Alihan segera mengurungkan pikirannya itu. Kalau dia sungguhan menghantamkan kepalanya ke aspal, yang ada bukan semua keganjilan tak masuk akal yang dialaminya yang akan menghilang tetapi wajah tampannya. Mana mungkin Alihan dapat tahan melihat rusaknya salah satu aset utamanya untuk membangun rumah tangganya kelak?
Tidak, tidak! Menghantamkan dirinya ke aspal jelas bukan jalan keluarnya. Alihan haruslah membantu Altan untuk menemukan jalan pulang ke masanya. Bukan karena Alihan tidak menyukai Altan tapi ini berkaitan dengan rasa kemanusiaannya -- tempat Altan jelas bukan di masa kini. Keluarganya juga pasti akan mencari pria tersebut.
Karenanya, mulai detik ini Alihan bertekad untuk membantu Altan kembali ke masanya. Namun sebelum hari kepulangan Altan tiba, Alihan haruslah membesarkan hatinya untuk mendampingi pria Seljuk itu beradaptasi di masanya yang baru. Bagaimanapun Altan jatuh di dalam rumahnya. Artinya pria itu merupakan titipan baginya. Alihan mau menangis sekencang apapun, kenyataan tersebut tidak bisa ditampiknya.