"Yağmur, baru tiga hari apa kau sudah lupa padaku?!" cecar Safira setelah salamnya dijawab.
Suara di seberang telepon terkekeh. "Mana mungkin! Kau adalah hidupku!"
Kini giliran Safira yang terkekeh mendengar kata-kata dari mulut manis Yağmur, tidak peduli dia sudah mendengarnya entah berapa ribu kali. Ah, orang Turki memang seperti itu. Mereka lebih ekspresif dan kerap menggunakan kata-kata maupun sebutan manis pada lawan bicaranya. Sesuatu yang dapat menimbulkan salah paham bagi orang asing yang belum mengerti kultur mereka.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Safira kemudian.
"Ya, beginilah. Seperti yang kau tahu," Yağmur terdengar sangat baik untuk orang yang sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu melanjutkan, "Setidaknya ayahku sudah membaik. Syukurlah. Beliau baik-baik saja sudah cukup bagiku."
Yağmur adalah sahabat merangkap rekan kerja bagi Safira. Pertama kali Safira bertemu Yağmur adalah ketika Alihan menugaskan Yağmur untuk menjemputnya di Sabiha Gökçen. Saat itu Yağmur merupakan personil baru di Mozaik. Gadis itu baru satu bulan bekerja.
Jumat minggu lalu, Safira mengantar gadis itu ke bandara selepas pulang kerja. Ayah Yağmur mengalami serangan jantung sehingga gadis itu harus bertolak ke kampung halamannya di Rize.
"Kau sendiri bagaimana? Selamat untukmu. Kau berhasil mendapatkan kuda Troy," Yağmur menyambung pembicaraan. Kuda Troy yang dimaksudnya adalah surat izin bagi proyek bantuan mereka. "Kak Alihan memberitahu tadi."
"Jadi kau menelepon Kak Alihan tapi tidak meneleponku? Begitu rupanya?"
Yağmur kembali terkekeh menanggapi gurauan Safira. "Sumpah aku akan meneleponmu tadi. Tapi kau meneleponku duluan. Lihatlah bagaimana batin kita saling terhubung."
Terdengar suara sendok besi beradu dengan kaca dari seberang. Safira tahu bila Yağmur tengah menyeduh teh Turkinya. Seperti kebanyakan orang Turki, Yağmur pun memiliki kecanduan terhadap teh. Dalam sehari gadis itu bisa meminum lebih dari 10 gelas teh.
Yağmur menerangkan, "Aku meneleponnya pun untuk memberitahu bila aku tidak jadi mengambil cuti dua minggu. Minggu depan aku akan kembali ke Istanbul."
"Kau yakin?" tanya Safira sambil memencet tombol remote demi mengganti kanal TV. Tidak ada program TV yang menarik malam itu.
Yağmur menyeruput tehnya. "Aku yakin. Bekerja baik untukku. Lagipula ayahku sudah membaik. Bahkan besok sudah boleh pulang."
"Baiklah kalau begitu. Cepat kembali. Aku sudah kangen denganmu," Safira menanggapi.
Yağmur tertawa. "Eee, jadi ada kabar apa?"
"Tidak ada," jawab Safira santai. Lalu teringat akan sesuatu, "Saudara Kak Alihan datang ke kantor tadi."
"Saudara?"
Safira tetap menganggukkan kepalanya meski tahu Yağmur tak dapat melihatnya. "Saudara dari desa katanya."
"Aku pikir keluarga besar Kak Alihan sudah pindah semua ke Kanada," pernyataan Yağmur terdengar seperti pertanyaan.
"Aku pikir juga begitu. Berarti masih ada keluarganya yang di Turki," balas Safira.
Yağmur meminum tehnya lagi. "Eee?" gadis itu meminta detailnya dari Safira.
"Saudaranya -- namanya Altan -- tidak seperti orang kebanyakan. Sedikit.. berbeda, kalau tidak bisa dibilang aneh. Tapi entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja karena Kak Alihan pun bersikap aneh hari ini."
Yağmur terdengar tertarik dengan topik pembicaraan mereka, "Eh, tutup teleponnya. Kita bicarakan tentangnya lewat video call saja."
***
Di kantor Mozaik siang lalu...
Setelah salam itu baik dirinya maupun Altan tak ada yang membuka suara. Duduk di hadapannya, Altan hanya memperhatikan dirinya melalui sepasang matanya yang sebiru Laut Marmara. Akhirnya demi mencairkan kecanggungan tersebut, Safira mengalah untuk membuka percakapan.
"Selamat datang kembali, Tuan Altan. Saya Safira. Saya pegawai di sini. Bawahan dari Kak Alihan," Safira memperkenalkan dirinya seramah mungkin.
"Kau bukan orang Turki," ucap Altan yang terdengar seperti pernyataan sekaligus tuntutan akan suatu penjelasan.
Memang di kantor itu hanya Safira lah yang berstatus sebagai orang asing. Jadi tak ayal bila penampilan fisiknya mencolok sehingga menarik perhatian bagi orang-orang yang baru melihatnya.
"Iya, saya orang Indonesia," senyum tersungging di bibir Safira setelah mengatakannya. Dirinya sudah sangat terbiasa menghadapi situasi seperti itu. Entah sudah berapa kali kata 'saya orang Indonesia' terlontar dari bibirnya sebab pekerjaannya membuatnya harus bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang.
"Benarkah?" raut wajah pria itu dipenuhi antusiasme. Bahkan saking antusiasnya, Altan sampai tertawa. Persis seperti anak kecil yang tertawa bahagia ketika menemukan sesuatu yang disukai.
Altan pun menoleh pada Alihan. "Alihan, Nona Safira dari Indonesia!" katanya memberitahu Alihan seakan hal tersebut merupakan topik hangat yang tengah diperbincangkan dunia.
"Sungguh keajaiban dunia!" Alihan ikut tertawa namun sumbang.
Ketidakmengertian Safira akan tingkah keduanya membuatnya merasa tak nyaman. Dia pun menoleh pada kedua pegawai magang yang sama-sama tengah memperhatikan kedua pria itu dari meja mereka di sudut ruangan. Mereka memberi isyarat bila mereka juga tak mengerti ada apa dengan keduanya. Alhasil, Safira hanya dapat mempertahankan senyumnya untuk menghadapi situasi ganjil yang sedang terjadi di hadapannya.
Begitu tawanya mereda, Altan kembali lagi pada Safira. Nyata-nyata menampakkan ketertarikannya pada gadis itu sebagai orang asing dengan cara yang... berbeda dari orang-orang yang pernah Safira temui sebelumnya. Bagaimana Safira harus menjabarkannya? Seperti ketertarikan anak manusia yang baru pertama melihat dunia.
"Apakah kau kemari dengan kapal?" tanya Altan kemudian. Kepolosan terdengar dalam suaranya.
Sementara di meja seberang, Alihan menangkupkan kedua telapak tangan menutupi wajahnya demi mendengar pertanyaan saudaranya barusan. Entah malu atau tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya, atau gabungan dari keduanya.
"Kapal?" ulang Safira tak bisa menutupi perasaan tercengangnya.
Altan dengan jemarinya lalu menggambar trapesium terbalik di udara, "Kapal."
Baiklah. Jadi benda yang dimaksud Altan adalah kapal yang sama dengan yang Safira pikirkan, yang berlayar di laut. Bukan 'kapal' lainnya.
Tentu tidak ada yang salah dengan berlayar. Toh manusia masih melakukannya. Hanya saja menempuh jarak sepanjang 9.086km dari Indonesia ke Turki dengan kapal ketika Wright bersaudara sudah menemukan pesawat, bagi Safira... bukan suatu pilihan. Kecuali bila mereka sedang membicarakan agenda liburan dengan kapal pesiar.
"Saya tidak naik kapal, Tuan Altan--"
Belum genap kalimat Safira, Alihan memutusnya dengan ketergesaan, "Altan, tidak semua orang dapat berlayar dengan kapal."
Altan mengubah posisi duduknya sehingga dia dapat nyaman berbicara dengan Safira dan Alihan sekaligus. "Apakah menurutmu pedagang Persia itu berbual mengenai kapal dan pelayaran mereka ke Timur Jauh?" pertanyaan tak biasa lagi-lagi terlontar darinya. Membuat Safira berpikir apakah lelaki itu tengah menyangkut pautkan pembicaraan mereka dengan pelajaran sejarah.
"Ya Allah, Ya Tuhanku, Ya Rasulullah!" Alihan menghempaskan kedua lengannya di udara. "Demi cinta Allah, berhentilah menanyakan hal-hal aneh pada para personil di sini! Kau sudah bertanya dari tadi dan sekarang sudah hampir jam pulang kerja!"
Omelan pria 32 tahun itu bukan hal baru lagi. Semua personil di sana sudah terbiasa mendengarnya. Bahkan kalau omelannya tak terdengar, seperti ada sesuatu yang kurang di kantor mereka. Karenanya mereka menggelari ketua organisasi mereka itu sebagai 'Tante Alihan Teyze'.
Safira melirik Altan. Didapatinya pria itu sedikit pun tampak tak terprovokasi.
"Tapi aku baru mulai bertanya padanya," tolak Altan. Sepasang mata birunya lalu berpaling pada Safira. "Baru kali ini aku bertemu dengan seorang Muslim dari Timur Jauh. Bukankah itu kabar baik?"
"Altan, berhentilah menyebutnya dari Timur Jauh," giliran Alihan yang berbicara sambil melihat Safira. "Safira dari Indonesia. Dia orang Indonesia."
"Dan Indonesia yang kau bilang itu ada di Timur Jauh," sanggah Altan masih dengan ketenangan yang sama.
"Hah.. Hah.. Hah.." Alihan mengeluarkan suara seperti naga tersedak. "Semoga aku tidak mati muda karena berurusan denganmu!"
"Inshallah, Saudaraku... Inshallah," timpal Altan sambil memanggut-manggutkan kepalanya seolah pria itu tidak merasa kalau Alihan jadi begitu karenanya. Sungguh situasi yang lucu bin aneh.
Begitulah posisi Safira tergeser dari narasumber menjadi pendengar dari pembicaraan yang tak dimengerti ke mana tujuannya. Dia lalu membuang pandangannya melalui jendela besar di sisi kanan ruang kerjanya. Di luar sana, gedung-gedung saling berlomba untuk menyentuh langit. Langit musim dingin yang masih memeluk pijaran bola api dan pekikan.
Tunggu dulu... Suara pekikan? Apakah dirinya salah mendengar?
"SUARA SANGKAKALA!!!"
Safira tidak salah dengar. Pendengarannya benar adanya.