Safira mengeluarkan ponsel dari tasnya. Dia mencari kontak dengan nama Ketua Alihan. Jemarinya lantas bergerak cepat mengetik pesan kepada pria tersebut:
[Kak Alihan, surat izinnya sudah disetujui. Sekarang aku akan kembali ke kantor. Apa kau akan mengeceknya?]
Dengan sekali tekan, pesan pun terkirim kepada ketua organisasinya itu. Sebenarnya tadi pagi Alihan sudah menghubunginya, memberitahu kalau pria itu tidak akan masuk hari ini. Tapi itu sebelum datang telepon dari markas tentara mengenai surat izin proyek organisasi mereka.
Safira merasa perlu untuk mengkonfirmasi kembali apakah Alihan akan datang karena pekerjaan mereka harus segera dituntaskan. Tanpa persetujuan dari Alihan, mereka belum bisa bergerak.
Safira tahu bila Alihan memang terkadang suka seenaknya sendiri. Tapi Safira rasa pria itu takkan setidak bertanggung jawab itu dengan membiarkan proyek mereka mangkrak. Mereka sudah mengajukan tanggal untuk distribusi bantuan yang harus dilakukan tepat waktu. Kalau tidak, bisa jadi masalah dengan pihak militer juga secara mereka akan berangkat bersamaan dengan para tentara yang akan ke sana.
Tak lama, datang pesan balasan dari pria itu:
[Ya, aku akan ke kantor.]
Safira baru saja akan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas ketika datang lagi pesan susulan dari Alihan:
[Kau ini mengganggu liburanku saja!]
Senyum terbentuk di wajah Safira setelah membacanya. Alihan, pria itu memang gemar menggerutu. Saat pertama kali bekerja dengan Alihan tentu saja Safira sampai ciut dibuatnya. Safira bahkan beberapa kali sampai hampir menangis karenanya. Namun sekarang dia sudah terbiasa dengan tabiat pria itu dan bahkan sudah mampu menanggapinya dengan candaan. Alihan memang seperti itu. Mulutnya suka sekata-kata tapi sebenarnya pria itu baik.
Safira membalas pesan Alihan:
[Maaf, Ketua. Liburan sepertinya haram untukmu.]
Setelahnya Safira melempar pandangannya ke luar jendela. Memandang ke arah pepohonan yang kemudian berubah dengan cepat menjadi pemandangan akan Selat Bosphorus secepat pergerakan bis yang ditumpanginya. Dari Selat Bosphorus, pemandangan berubah lagi menjadi villa orang-orang kaya yang berdiri di tepian selat.
Perhatian Safira kemudian teralih oleh suara seorang wanita yang mengeluhkan dirinya yang seakan terpanggang. Safira pun menoleh. Dia mendapati wanita itu berjalan mendekati supir.
"Udara begitu panas kenapa kau tidak menyalakan AC?" protes wanita itu kepada si supir bis. "Segera nyalakan AC-nya. Kami semua di sini terpanggang!"
Dengan tidak sabar, supir bis membalasnya, "Diamlah! Akan aku nyalakan."
Setelah memastikan si supir bis benar-benar menyalakan AC, wanita itu berjalan kembali ke tempat duduknya. Dari penampilan fisik serta baju berwarna terang yang dikenakan si wanita, Safira tahu bila wanita itu merupakan seorang Gipsi.
Pandangan mereka bertemu. Safira merasa tak enak hati karena ketahuan tengah memperhatikan wanita tersebut. Wanita itu menghentikan langkahnya tepat di depan Safira. Seketika Safira merasa ketakutan memikirkan apa yang akan dilakukan wanita tersebut kepadanya. Namun wanita itu tersenyum kepadanya dengan senyum yang lebih mirip seperti seringai.
"Gadis cantik. Takdirmu terbit bersama matahari musim dingin sialan ini," ucap wanita itu tiba-tiba.
Safira bergidik ngeri dibuatnya. Dia memang sudah sering melihat orang Gipsi selama di Turki. Tapi baru ini dia berinteraksi dengan salah satunya. Safira tidak tahu apakah semuanya seperti wanita di hadapannya itu. Untungnya si wanita Gipsi segera berlalu setelah mengatakan hal aneh tersebut.
'Apa maksudnya dengan perkataannya itu?', Safira bertanya-tanya dalam hatinya.
***
Safira melihat bayangan dirinya sendiri di pintu lift yang tertutup rapat. Dirinya tampak begitu lusuh. Wajahnya kusam tertimbun debu kota megapolitan Istanbul yang bercampur dengan peluhnya. Tapi tak mengapa. Dia merasa puas. Senyumnya tersungging sempurna mendapati citra akan dirinya sendiri saat ini. Kemudian dia juga tersenyum pada map berisi dokumen yang digenggamnya di tangan kirinya.
Lebih dari tiga bulan dia bersama anggota organisasi lainnya bergelut untuk mendapatkan izin bagi proyek mereka. Kini izin sudah di tangan, hanya tinggal realisasinya di lapangan yang membuatnya bersemangat sekaligus gugup.
Beberapa butir keringat kembali mengalir membasahi kening dan pelipisnya. Agak kesusahan, Safira menghapusnya dengan punggung tangan kanannya. Sementara mantel mustard tebal yang tergantung di lengan kanannya bergoyang pelan. Selain tugasnya hari ini -- yang memaksanya untuk berlari ke sana kemari demi surat izin proyek -- hawa panas turut menjadi penyumbang bagi tampilan lusuhnya.
Hawa panas di hari pertama musim dingin.
Di tahun ketiganya di Turki, ini pertama kalinya Safira menghadapi musim dingin dengan peluh. Matahari berpendar layaknya bola api yang membara di langit Istanbul. Dia yang awalnya baik-baik saja, kini berada dalam posisi yang sama seperti tentara yang ditemuinya tadi. Bukan Sancaktar tapi tentara yang sebelumnya, yang memberikan dokumen kepadanya.
Safira teringat berita mengenai pemanasan global yang beberapa waktu lalu sempat dibahas di salah satu stasiun TV Turki. Tapi entah mengapa Safira merasa pemanasan global tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan fenomena saat ini. Ada sesuatu yang lain namun dia tak tahu apa itu.
Ting!
Layar kecil di atas pintu lift menampilkan angka 7. Pintu lift terbuka. Segera, Safira berhadapan dengan pintu kaca floorhinge ganda dengan lambang bulan sabit dan tulisan MOZAIK terpampang jelas pada permukaannya. Safira mendorong salah satu pintunya. Membuat huruf 'Z' yang berada di tengah pintu ganda tersebut terbelah dua.
"Selamat bekerja!" suara Safira memenuhi ruangan kantornya. Dia menyapa dua pegawai magang yang tengah memilah-milah dokumen untuk dikelompokkan pada kategori yang sama.
"Selamat, Kak!" ucap mereka hampir bersamaan. Jelas, kabar mengenai turunnya surat izin sudah sampai ke telinga mereka. Kabar dari markas tentara memang datang dadakan hari ini. Safira menerimanya saat dia sedang bertugas di lapangan.
Safira tersenyum, "Iya. Alhamdulillah."
Matanya lalu menyapu sekeliling. Mengedar pada kelengangan kantor saat ini. Masih 2 jam sebelum jam kerja usai. Namun dia tak melihat satupun rekannya.
"Yang lainnya ke mana?" tanyanya.
"Tadi Kak Alihan memberikan instruksi supaya persiapan segera diselesaikan," jawab salah satu anak magang.
Safira mengangguk, "Lalu dimana Kak Alihan sekarang?"
"Telepon genggamnya tertinggal di mobil katanya. Dia turun ke parkiran untuk mengambilnya," terang si anak magang.
Menunjuk dengan sudut matanya dan setengah berbisik, Safira bertanya, "Lalu itu siapa?"
Tepat di depan meja kerjanya, seorang pria yang tak dikenalnya tengah duduk. Tanpa canggung pria itu menatap ke arah mereka sejak Safira memasuki kantornya.
Safira mencoba mengurai penampilan eksentrik pria itu. Separuh wajahnya ditutupi jenggot cukup tebal. Rambut bagian belakangnya sebatas tengkuk namun rambut bagian depannya panjang hingga dapat dikepang. Ekor kepangnya pun menjuntai melewati bahu kanannya. Dari tempatnya berada, Safira dapat melihat betapa birunya mata pria tersebut yang seolah sengaja Allah ciptakan untuk menjadi pelengkap keindahan dari warna emas rambutnya.
Si anak magang sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Safira dan dengan suara yang nyaris tak terdengar ia memberitahu, "Saudara Kak Alihan. Dari desa katanya."
"Oh, begitukah? Baiklah. Lanjutkan kerja kalian," ucap Safira diikuti seulas senyum. Safira lantas berlalu ke meja kerjanya. Dengan sedikit canggung dia pun menyapa saudara dari Ketua Alihan mereka itu, "Halo. Selamat datang."
Diluar dugaan, pria itu menjawab salamnya dengan gerakan yang mengingatkan Safira akan sinetron kolosal Turki yang tayang di TV setiap hari Rabu malam. Pria itu dengan khidmat menepuk dada kiri sembari mengucap salam, "Assalamualaikum."
Belum sempat Safira membuka mulutnya, Alihan muncul menjawab salam dari saudaranya itu dengan tingkat khidmat yang sama paripurnanya, "Walaikumsalam, Tuan Altan!"
Kedua pria itu tampak saling memahami satu sama lain. Menyisihkan Safira yang melongo dalam ketidakmengertian.