Chereads / Mencinta ataukah Bercinta / Chapter 6 - Stempel Cinta Yang Kosong

Chapter 6 - Stempel Cinta Yang Kosong

"Maafkan saya telah tidak sopan dalam bertamu?" kata Cindy pada pak Irawan.

"Saya memaafkanmu!" balas pak Irawan.

"Sari, apakah kamu dendam karena sikapku?! Bisakah kamu memaafkan aku?!" kata Cindy pada Sari dengan isak tangis.

Cindy memegang tangan Sari, namun Sari hanya membisu, seraya menatap plafon rumah. Hingga kemudian Cindy melepaskan tangan Sari dengan tangisnya yang makin sesenggukan.

"Aku kasihan melihatmu dengan kondisi seperti ini, apalagi sekarang kutau ternyata kamu saudaraku juga. Namun sikap kelakuanmu telah menyakitkan perasaanku!" gerutu Sari dalam hati.

"Koyas, apakah kamu juga benci aku?!" tanya Cindy dengan sesenggukan.

Koyas pun juga membisu sebagaimana Sari.

"Aku harus ngomong apa? Dulu aku tulus mencintai kamu, namun kamu sering mengabaikan dan memilih nongkrong serta mabuk bersama beberapa lelaki hingga larut malam. Kini kau hamil mengapa aku yang kamu kejar!" Koyas bingung berkata-kata.

"Aku memang hina di hadapan kalian semua, wajar saja bila tidak ada maaf bagiku!" ucap Cindy meratapi sambil sesenggukan.

Tanpa ada kata pamit, Cindy melangkah keluar bersama isak tangisnya meninggalkan rumah pak Sendy.

Perut yang makin membuncit, membuat dia harus jalan dengan kaki agak bengkak.

Kini hati Cindy merasa hancur, sangat pilu. Seperti jutaan pertanyaan yang datang serentak tiada terjawab.

Dalam benak Cindy kala itu:

"Semua sudah membuang dan tidak memiliki lagi kata maaf bagiku! Akankah ratapanku yang terus menerus, bisa mengakhiri permasalahanku ini? Atau aku harus maa.... !" lamunan terhenti dan tiba-tiba:

"Tiidaaa....aaak!" ketika langkahnya sampai di tengah-tengah halaman rumah.

"Cindy, tunggu!" teriak pak Sendy memanggil.

Lalu pak Sendy berlari mengejar Cindy. Pak Sendy tak kuasa menahan iba melihat Cindy merasa terhempas dengan keadaannya yang sedang hamil. Lalu:

"Saya memaafkanmu!" kembalilah duduk bersama kami di sana!" pak Sendy menunjuk teras rumahnya.

"Tapi mereka memm...?!" kalimat Cindy terhenti.

""Iya, saya memaafkanmu nak, kembalilah, mari duduk dan minumlah bersama kami!" kata pak Sendy dengan wajah haru sambil pegang pundak Cindy.

Akhirnya Cindy menurut bujukan pak Sendy, kemudian berdua kembali ke rumah pak Sendy. Dan sesampai di ujung teras pak Irawan menyambutnya dengan pelukan, serta katanya:

"Cindy, aku adalah kakak dari bapakmu. Jadi sama saja aku adalah bapakmu juga. Jangan keburu putus asa, semua orang pasti pernah bersalah!" ungkap pak Irawan.

Mendengar penuturan pak Irawan, Cindy terhibur dan merasa kembali bangkit semangatnya. Kemudian dia menatap wajah pak Irawan dengan senyum gembira, lalu katanya:

"Terima kasih pakdé. Tak kusangka masih ada yang mau menerima saya!" kata Cindy dengan nada haru.

Sementara itu Koyas dan Sari masih diam dan saling pandang.

Lalu:

"Mengapa semua jadi begini?" kata Sari.

"Yaaa.... kita semua tidak tau. Kita ambil saja hikmahnya di balik kejadian ini!" kata Koyas.

Berkat rayuan dan kebijakan dari pak Sendy, akhirnya Koyas dan Sari pun melepas kata maaf bagi Cindy.

Sekitar setengah jam kemudian, setelah kembali saling memaafkan, pak Irawan dan Cindy berpamitan kembali pulang.

Dengan alasan kondisi kehamilan yang makin membesar, Cindy mohon ijin tinggal di rumah pak Irawan.

*Waktu berjalan dua bulan kemudian...

"Sari, saya besuk diminta si Boss berangkat lebih pagi. Bagaimana kalau minta bapak yang mengantarmu ke kantor?" tanya Koyas di suatu sore.

"Kebetulan saya besuk rencana ijin libur mas, karena perutku sebentar-sebentar terasa melilit!" kata Sari.

Esoknya, Koyas berangkat lebih pagi dari biasanya. Beberapa menit setelah Koyas berangkat, Sari bermaksud santai di kursi taman halaman rumah pak Sendy, sambil berjemur.

Namun belum sampai duduk di kursi itu, di depan sudah terlihat motor memasuki halaman.

"Selamat pagi mbak!" sapa Cindy sambil mematikan mesin motornya.

"Eeh, Cindy, selamat pagi juga! Dari mana nih pagi-pagi udah mampir sini?" balas Sari.

"Tadi selesai belanja sayur sama gêdhé, terus saya ijin main ke sini!" jelas Cindy.

"Hati-hati, perut mu udah tambah gêdhé lho!" ujar Sari.

"Iya mbak, jalan pelan-pelan kok!" ucap Cindy.

"Yuuk masuk, kita di dalam saja?!" ajak Sari.

"Lebih baik di sini aja mbak, sambil kita berjemur!" balas Cindy.

"Mbak, ada ingin saya bicarakan sama mbak berdua dengan mas Koyas!" kata Cindy.

"Apa itu Cinta?!" tanya Sari.

"Ada kaitannya dengan kandunganku mbak!" ucap Cindy.

"Asal jangan sampai timbulkan masalah ya! Saya gak ingin keluarga saya terusik seperti 2 bulan lalu, agar kebahagiaan juga tak terganggu!" ujar Sari.

"Saya menghormati keluarga mbak Sari dan mas Koyas, jadi saya berusaha tidak akan mengganggu mbak!" ungkap Cindy.

Kata Cindy dalam hati setelah itu:

"Aku sebenarnya iri terhadap dirimu mbak, karena mbak Sari berhasil mendapatkan hati mas Koyas!"

"Ada hal apa yang ingin kamu katakan?!" tanya Sari kemudian.

"Mbak, saya merasa takut dan malu untuk pulang ke rumah orang tua dalam keadaan hamil yang semakin besar begini!" ucap Cindy.

"Rencanamu bagaimana?" tanya Sari.

"Aku tadi malam ngobrol sama pakdhé, singkat cerita; saya diijinkan tinggal di sini sampai melahirkan!" ungkap Cindy.

"Jadi kamu rencana melahirkan di sini, begitu?!" tegas Sari.

"Iya mbak!" jawab Cindy.

"Hnaah, terkait rencana itulah mbak yang ingin saya bicarakan dengan mbak berdua sama mas Koyas!" lanjut Cindy.

Kemudian mereka mempertimbangkan, bahwa topik pembicaraan Cindy itu memang penting semua ada. Oleh karenanya, mereka sepakat besuk sore sepulang kerja bertemu lagi untuk membicarakannya.

Selanjutnya mereka lanjutkan dengan pembicaraan yang lain.

"Cindy, sekarang sudah diketahui bahwa kita ini saudara dekat, jadii... salahkah kalau saya ingin tau; Bagaimana sih ceritanya, kok kamu bisa begini?!" tanya Sari.

"Aku menyesali mbak. Jadi begini, pada suatu malam, saya datang ke Pub bersama tiga teman nongkrongku, mereka laki-laki semua. Di sana kami minum bir cukup banyak, sehingga saat keluar dari Pub saya sudah kondisi mabuk!" cerita Cindy.

"Apakah kamu bisa ingat, malam itu pulang ke mana?" tanya Sari.

"Yang saya ingat, saat berjalan keluar dari Pub saya dipapah menuju mobil. Begitu di mobil tertidur, setelah itu nggak ada yang bisa saya ingat. Saat terbangun saya sudah di tempat tidur, entah di mana! Saya keluar kamar, dan baru tau ternyata itu di suatu penginapan!" tambah Cindy seraya meneteskan air matanya.

Cindy bercerita banyak tentang kasusnya, hingga kemudian terhenti karena tak kuasa menahan tangisan.

Melihat Cindy menangis, Sari merasa sangat kasihan, lalu katanya:

"Maaf aku membuatmu kembali sedih karena cerita itu!" Sari merangkul Cindy sambil mengelus punggungnya.

Sesaat kemudian Sari mengajak Cindy berpindah ke rumah.

"Aku ke dalam bikin minum sebentar ya?!" kata Sari.

Tidak sampai sore, Cindy sudah berpamitan kembali ke rumah pak Irawan.

Di hari berikutnya:

"Pak, saya berangkat dulu ya!" Koyas dan Sari berpamitan bapaknya.

"Kata Sari nanti sore Cindy datang kemari?!" tanya pak Sendy.

"Iya, saya pastikan kami sudah di rumah!" jawab Koyas.

"Silahkan kalau mau berangkat. Hati-hati di jalan bawa orang hamil lhoo?!" canda pak Sendy sambil tersenyum.

"Hehehe...?!" Koyas tertawa seraya tarik gas motornya.

"Pak, bisakah nanti saya pulang sebelum petang?!" tanya Koyas pada si Boss.

"Bisa, kebetulan sore ini tidak ada acara, dan saya juga butuh istirahat lebih banyak!" jawab si Boss.

Sorenya saat kantor tutup, Koyas melaju dengan mobil mewah ngantar si Boss pulang.

Dengan motor pribadinya, Koyas kembali ke kantor untuk jemput sang istri.

Setibanya di rumah:

"Bapak ngobrol dengan siapa tu mas? Kok sepertinya ada tamu?!" bisik Sari saat memasuki pagar halaman rumah.

Ketika mereka masuk ruang tamu, di sana pak Sendy tengah ngobrol bersama Cindy dan pak Irawan.

Setelah Koyas dan istrinya selesai bersih-bersih badan dan ganti pakaian, mereka berdua pun menuju ruang tamu.

Pak Irawan membuka obrolan, katanya:

"Koyas, maukah kamu menolong saudaramu ini?"

"Sekiranya saya mampu ya pak! Menolong bagaimana itu?" Koyas bertanya.

"Saya atas nama keluarga besar Irawan, memohon Koyas bersedia pura-pura menjadi suami Cindy, demi selamatkan status Cindy dan status anak yang dikandungnya, sekaligus selamatkan juga nama baik keluarga besar kami, khususnya nama baik pak Hendri selaku bapak kandung Cindy!!" jelas pak Irawan.

"Bapak ini bagaimana sih!? Coba saja dulu tanya pada ibu, bagaimana kalau bapak pura-pura jadi suami perempuan lain, bagaimana nanti perasaan ibu?!?" spontan Sari berang pada bapaknya.

"Saya sependapat dengan Sari pak!?" sambung Koyas.

"Bagaimana nanti kata orang-orang pak, sedangkan orang-orang semua tau bahwa istri Koyas itu ya Sari ini to!?!" sela pak Sendy.

Setelah satu jam lebih terjadi perdebatan di situ, sebagaimana permohonan pak Irawan, akhirnya terjadi kesepakatan bersyarat.

"Dengan syarat, bahwa saya akan tetap tinggal berdua dengan Sari.

Selanjutnya tidak pernah ada tuntutan apapun terhadap saya dengan alasan sebagai istri!" ungkap Koyas.

"Ya, saya setuju apa yang dikatakan anak saya. Karena kami dalam hal ini hanya sebatas menolong status Cindy dan status anaknya kelak!" tambah pak Sendy.

"Baiklah, saya setuju!" kata pak Irawan seraya mengucap terima kasih pada keluarga pak Sendy.

Hanya selang beberapa hari saja setelah pertemuan di rumah pak Sendy itu, pernikahan Koyas dan Cindy siap dilaksanakan dengan sangat sederhana.

Acara pernikahan hanya menghadirkan keluarga pak Sendy dan keluarga pak Irawan, bapak ketua RT, pak Lurah, serta saksi.

■ Bagaimanakah Kisah Koyas setelah acara pernikahannya dengan Cindy?

■ Ikuti kelanjutan ceritanya pada Bab : "Ternyata masih ada Cinta"