"STOP! Jangan menelponku terus, dan jangan Chatting-chatting lagi, karena aku sudah punya istri!" Koyas marah pada seseorang di Handphone'nya.
Dengan agak keras Koyas letakkan Hp pada meja teras rumah, dan hempaskan tubuh tegapnya di kursi:
"Bluug!" perasaan kesal terpampang di wajahnya.
Tidak disadari, bapaknya sedang memperhatikannya sejak tadi. Kemudian:
"Wah, wah, waaah, ada apa lagi kamu ini, telpon kelihatan marah-marah begitu? Bukan Sari kan?!" tanya pak Sendy agak was-was seraya duduk di depan Koyas.
"Bukan Sari kok pak, tapi perempuan yang dulu itu lho, mulai nelpon-nelpon lagi nih, kesal aku!" Koyas cemberut.
"Kok bapak jadi penasaran ya. Memang dulu itu sejauh mana sih hubunganmu dengan dia?!" tanya bapak.
"Memang saya sempat dekat pak, tapi kemudian diam-diam saya jauhi dia. Mangkanya dia terus mencariku!" jelas Koyas.
"Hhfff... mestinya dulu itu kamu temui dan jelaskan apa-apa yang kamu tidak suka, baru kamu mundur!" ungkap pak Sendy.
"Iya juga sih. Tapi saat itu yang ada cuma perasaan jengkel!" kata Koyas.
"Hhmm. Mungkin bisa kamu jelaskan ke perempuan itu nanti, jika dia menelponmu lagi!" saran bapak.
"Saya cobanya nanti!" balas Koyas.
"Kamu sudah makan apa belum?" pak Sendy coba alihkan pembicaraan.
"Belum, nanti aja pak. Lagi pingin ngopi nih, pusing gara-gara telpon tadi!" Koyas masih kelihatan jengkel.
*Dua hari kemudian...
"Saya punya kabar baik nih mas!" kata Sari sambil sodorkan secangkir kopi panas buat suaminya.
"Hm, kabar apa?" tanya Koyas.
"Boss'ku sedang cari orang untuk sopir pribadinya!" ungkap Sari.
"Kata siapa?" Koyas tanya balik.
"Beliau sendiri tadi yang ngomong langsung sama saya, dan saya usulkan mas Koyas, begitu! Mau ya mas, agar mas punya yang bulanan?!" rayu Sari.
"Mau banget dong!" balas Koyas.
"Kalau gitu, besuk pagi pas ngantar saya, langsung saya kenalkan si Boss!" kata Sari.
Esoknya Sari langsung mengenalkan suaminya dengan si Boss di ruang kerjanya. Sementara Sari masuk jam kerja, Koyas bincang-bincang dengan si Boss. Dan tidak sampai 1 jam, Koyas sudah keluar dan lanjut pulang.
*Di waktu yang sama, di rumah pak Irawan:
"Lantas, apa mas kerjaan Koyas saat ini?" tanya Gandy pada kakaknya.
"Yaa..., untuk sementara masih serabutan. Tapi nggak apalah, yang penting dia sudah berusaha!" jelas pak Irawan.
"Betul, jangan sampai cuma berpangku tangan, sementara istrinya kerja. Apalagi istri sekarang lagi hamil!" kata Gandy.
Setelah tampak agak siang, mereka menghentikan obrolan sebab Gandy juga rencana pulang siang itu juga.
"Mas, saya pamit pulang dulu ya. Tiga hari lagi kantorku ada jadwal presentasi, kalau jadi di sini, saya pasti mampir. Salam buat pak Sendy, Sari, dan Koyas!" Gandy bersiap berangkat pulang.
"Baik, nanti saya sampaikan!" kata pak Irawan.
Dengan mobil pribadinya, Gandy meninggalkan halaman rumah pak Irawan kakaknya, pulang ke kota MA.
Sementara di tempat yang berbeda;
Siang yang terasa cukup panas saat itu, telah membuat punggung Koyas banjir keringat dalam perjalanan pulang seusai wawancara dengan si Boss pemilik perusahaan tempat Sari bekerja.
"Bagaimana hasil obrolan dengan si Boss?" tanya pak Sendy saat Koyas tiba di rumah.
"Besuk langsung diminta ke rumahnya untuk ngantar beliau cari perlengkapan kantor, dan lanjut ke kantornya!" jelas Koyas.
"Apakah itu artinya kamu diterima kerja?!" tanya pak Sendy.
"Iya pak!" jawab Koyas.
Mendengar pengakuan Koyas, spontan pak Sendy sangat gembira, serta merangkul anaknya, lalu katanya:
"Peluklah istrimu saat dia pulang kerja, hargai dia telah membantu dapatkan JOB'mu ini, dan kecup pipinya, agar dia merasakan cintamu, dan merasa lebih bahagia!" kata pak Sendy.
Sore hari pukul 15:30 tampak Koyas sudah bersiap untuk jemput istrinya di tempat kerja.
"Kenapa pikiranku nggak enak ya, ada apa ini?!" kata pak Sendy dalam hati.
Suara motor tiba-tiba membubarkan lamunan pak Sendy, yang kemudian disusul Koyas berpamitan:
"Pak, saya mau keluar sebentar, jemput Sari!" ucap Koyas.
"Iya, hati-hatilah bonceng istrimu, ingat Sari sudah hamil lho!" ujar pak Sendy.
"Iya pak!" jawab Koyas.
Sesampainya di perusahaan tempat Sari bekerja, Koyas melihat Sari sudah menunggu di dekat pos security.
Tanpa ada nego seperti taxi, berdua langsung bergerak pulang.
"Kriiiing, kriiiing..!" suara Hp Sari berdering.
Setiba di rumah, Sari cek Hp'nya, lalu:
"Tanpa nama! Nomor siapa ya ini, aku belum simpan!?" Sari bergumam.
"Siapa?" tanya Koyas.
"Entahlah, aku sendiri juga belum tau. Nomor ini belum aku simpan!" tegas Sari.
Satu jam berikutnya:
"Kriiing, kriii...iing!" Hp Sari berdering lagi.
Sambil terus melihat Hp'nya Sari ngoceh lirih:
"Terima atau enggak ya? Masih Nomor yang ini lagi!"
Koyas ikut penasaran, dengan sengaja mendekat dan melirik Nomor penelpon itu:
"Ha! Kok Nomor itu, sebaiknya aku cek di daftarku!" kata Koyas dalam hati.
Diam-diam Koyas buka daftar kontak di Hp'nya, sontak dia kaget, karena empat digit terakhir sama dengan kontak milik Cindy.
"Kalau itu benar Cindy, bagaimana dia bisa punya Nomor Sari?!" pikir Koyas.
Tiba-tiba terdengar Sari marah pada seseorang di Hp'nya. Koyas pun kagèt dan seketika terhenti lamunannya.
"Mungkinkah penelpon itu adalah Cindy?" kata Koyas dalam hati.
Koyas diam, berusaha menyimak dengan was-was. Mendadak Koyas terperanjat sambil melotot matanya saat istrinya berkata:
"Kamu jangan asal ngomong ya! Suamiku tu gak pernah pergi kemana-mana, selalu di rumah, apalagi kluar sama perempuan! Beraninya kamu menuduh suami orang?! Silahkan, saya tunggu kamu!" Sari sangat marah.
Saat telpon selesai, Sari terlihat mematikan Hp sambil ngomel, katanya:
"Dasar perempuan murahan, obral diri sana sini, giliran hamil, cari kambing hitam seenaknya sendiri, hhu!"
Koyas yang dari tadi menyimak dekat di belakang Sari, sangat kagèt dengan omelan Sari itu, lalu:
"Emangnya kamu kenal dia?" tanya Koyas sedikit gugup.
"Aku cukup lama kenal perempuan murahan ini mas, tapi saya enggan berteman akrab karena dia gak bisa tinggalkan kebiasaan mabuknya!" jawab Sari ketus.
Mendengar penjelasan itu, menjadikan Koyas makin yakin bahwa itu adalah Cindy mantannya. Lalu lanjut Koyas bertanya:
"Dari siapa dia punya kontakmu?"
"Dan dari siapa juga dia tau aku istrimu, sehingga dia menuduhku merebut kekasihnya!? Dari siapa mas?!" Sari agak membentak Koyas.
Lalu lanjut Sari:
"Katakan mas dia siapamu?!" Sari menangis sambil tangan kanan kirinya memegang pundak Koyas.
Koyas hanya diam sambil menatap wajah sang istri yang berlinang air mata, bingung harus berkata apa.
"Bicaralah mas?!" lanjut Sari dengan tangisnya.
Pak Sendy yang takut ikut campur urusan keluarga anaknya, menjadi terharu dan tidak tega mendengarnya, dan akhirnya diapun ke luar kamar, lalu katanya:
"Aku sejak awal tadi mendengar perbincangan kalian. Maaf Sari dan Koyas, bolehkah bapak tau: emangnya perempuan mau bagaimana?" bapak coba masuk ke dalam masalah.
"Entahlah pak! Tapi kalimat terakhirnya di telpon tadi, dia ngancam akan datang ke sini!" aku Sari.
Bagai sambaran petir di siang bolong, begitu Koyas mendengar àppp
ncari dan menyusun strategi untuk menghadapi Cindy.
*Dua hari berikutnya:
"Thók, thók, thók!" seseorang mengetuk pintu rumah pak Irawan.
Pak Irawan sangat terkejut saat membukakan pintu, seseorang langsung marah-marah di depan pintu, katanya:
"Mana Sari? Cepat suruh dia keluar, suruh hadapi saya!? Jangan main belakang terus!"
"Maaf, ada apa ya ini?! Tolong bicara baik-baik, jangan langsung marah-marah begitu!" ujar pak Irawan.
Akhirnya merekapun berembug baik-baik. Dan setelah itu bersama-sama berangkat ke rumah pak Sendy.
Sementara itu di rumah pak Sendy:
"Menurut bapak bagaimana ya?" Koyas meminta pendapat bapaknya.
Pak Sendy belum menjawab, Sari datang menyajikan minum kopi panas buat Koyas dan bapaknya, lalu Sari ikutan duduk di situ.
Selang beberapa menit setelah Sari duduk, terlihat Pak Irawan datang.
"Selamat sore pak Sendy!" ucap pak Irawan.
"Eeh, pak Irawan, Selamat Sore! Mari pak Irawan, silahkan masuk!" sambut pak Sendy.
"Lho, ini sama siapa pak Irawan?" tanya pak Sendy.
"Lho, kok..... ?!" kata Koyas dalam hati.
"Kurang ajar, nekat datang juga perempuan murahan ini?!" gerutu Sari dalam hati.
"Kenapa anakku kok pada sinis melihat perempuan itu?! Jangan-jangan ini perempuan yang di telpon kemarin!?" kata pak Sendy dalam hati.
"Kok pada bengóng?!" ucap pak Irawan.
"Pada heran ya lihat kedatanganku?! Takut?!" ucap perempuan yang bersama pak Irawan.
"Silahkan duduk dulu!" pak Sendy mempersilahkan.
Mereka semua duduk di teras rumah pak Sendy, dan berlanjut dengan berbincang serius.
"Tumbèn nih pak Irawan sepertinya amat mendadak?" pak Sendy coba membuka obrolan.
"Permisi pak Sendy, kedatangan saya kemari memang sangat penting kita bicarakan bersama!" ungkap pak Irawan.
Kemudian pak Irawan menceritakan kedatangan perempuan tadi hingga berlanjut ke rumah pak Sendy.
"Ooh begitu!" sahut pak Sendy.
Lalu lanjut pak Sendy kemudian:
"Jadi setelah sekarang Cindy sudah sampèk sini, bagaimana maunya?" tanya pak Sendy.
"Saya mau minta pertanggung jawaban Koyas, karena perut saya makin besar!" ungkap Cindy.
"Jangan sembarangan ngomong ya, aku tau betul siapa kamu?" sahut Sari.
"Sebentar Sari, saya jelaskan!" sela Koyas.
"Antara saya dan Cindy memang sebelumnya menjalin hubungan. Dan kami ketemu hanya dua kali dalam seminggu, masing-masing tidak pernah lebih dari 30 menit. Itupun pertemuan kami selalu di rumah makan pada siang hari atau sore hari. Selebihnya waktu, saya sibuk dengan JOB saya sebagai musisi!" jabar Koyas.
"Jadi, siapa bapak dari bayi yang dikandungnya?" celetuk pak Sendy.
"Suruh saja tanya gerombolan lelaki yang biasa mabuk bareng sama dia!" sahut Sari sinis.
"Sebentar, saya perhatikan kalian ini sepertinya sudah saling kenal ya?!" potong pak Irawan.
"Maaf, Cindy ini dari mana dan tinggal di mana?" tanya pak Sendy kemudian.
Bersamaan dalam isak tangisnya, Cindy menjelaskan:
"Saya tinggal di kota MA, dan di sana juga saya kenal Koyas hingga pacaran!"
"Lalu, dari siapa kamu bisa punya alamat dan kontak Sari?" tanya pak Irawan.
"Saya berteman lama dengan Sari, dan saya masih simpan kontraknya. Dan alamat Sari saya dapat dari bapak saya!" jelas Cindy.
"Jadi bapak kamu juga kenal Sari?" tanya pak Irawan.
"Dia ini anaknya pak Hendri, katanya dulu pernah tinggal di sini pak!" sahut Sari.
"Hah!" pak Irawan terperanjat.
"Sebaiknya kita jangan lanjut bersengketa!" kata pak Irawan tiba-tiba.
"Kenapa pak? Dia telah maki-maki saya, dan memfitnah suami Sari?!" sahut Sari.
"Dengarkan saya cerita, pak Hendri yang adalah bapaknya Cindy ini, adalah saudara kembarnya Oom Gandy. Jadi, pak Hendri bapaknya Cindy ini berarti Oom'mu juga!" jabar pak Irawan.
■ Bagaimanakah kisah Koyas dengan keluarga barunya, serta bagaimana nasib selanjutnya Cindy dan bayi yang dikandungnya ???
■ Ikuti kelanjutannya pada Bab : "Stempel Cinta Yang Kosong"