Chereads / Mencinta ataukah Bercinta / Chapter 2 - Berebut Pengakuan

Chapter 2 - Berebut Pengakuan

"Uuh... trima kasih Tuhan, hari ini aku KAU beri kesempatan lagi menikmati karyaMU di tanah ini!" kata Koyas dalam hati seraya memandangi sekitarnya.

"Ehm, ehm...!" pak Sendy berdehem di depan pintu rumah.

"Eeh, pagi pak!" sapa Koyas.

"Iya, pagi!" balas pak Sendy.

"Kok kamu pagi-pagi begini sudah bangun? Bukankah semalam kamu tengah malam baru tidur! Apa nggak masih ngantuk?" tanya pak Sendy.

"Hehehee, ini bukan Koyas yang dulu lagi pak. Semua sudah berubah!" ujar Koyas.

"Maksudnya bagaimana?" tanya pak Sendy.

Koyas yang tadi di tengah rerumputan taman di halaman rumah, berbalik dan mendekati bapaknya yang duduk di kursi teras rumah.

Lalu katanya pada sang bapak:

"Pak, pohon mangga di tengah halaman itu, lima tahun lalu masih pendek. Sekarang saya bisa berteduh di bawahnya saat panas atau turun hujan!" ungkap Koyas.

"Hahahaa, ya ya ya aa... aku tau kamu sekarang sudah besar. Sepertinya... sudah siap jadi seorang bapak nih anakku!" ucap bapak sedikit bercanda.

"Aah, bisa aja bapak ini ngomong begitu?!" balas Koyas sambil senyum.

"Oh iya, aku bikin minum kopi dulu buat bapak ya?!" ucap Koyas.

"Hhm, baiklah!" jawab bapak.

Sementara Koyas ke dapur, pak Sendy menunggu di kursi teras sambilan merenung:

"Tak kusangka dan tak terasa berjalannya waktu ini; kini anakku sudah besar, lebih tegas dan kelihatan dewasa. Aku tau anak ini pendiam dan pemalu, hatinya kecil.... tapi itu dulu. Pagi ini aku melihat dan merasakan dari gaya bahasanya, ada sesuatu dalam dirinya telah berubah. Semalam saya juga sudah melihat, bagaimana dia merespon situasi, termasuk prediksi masalah apa yang ....!" lamunan pak Sendy terhenti.

"Hnaaah, mari kita ngopi dulu pak, sudah jadi nih, kopi spesial buat Bagindaku!" Koyas senyum-senyum dari dalam sambil menyajikan secangkir kopi buat bapaknya.

"Kamu juga ngopi kan?!" tanya bapaknya.

"Iya dong pak, ini cangkir satunya juga kopi kok. Saya sangat jarang minum teh, hampir tidak pernah pak!" ujar Koyas.

"Heheee... mantap!" sahut pak Sendy tertawa.

"Ngomong-ngomong, kok lama kamu bikin kopinya? Biasa ada yang bikinkan ya, jadinya kagok klo harus bikin sendiri, hehehe?" canda sang bapak seraya ketawa.

"Aah, kalau cuma bikin kopi aja, bikin sendiri lah! Kecuali pas stok kopi habis, jalan ke warung dan minum di sana, hehehe!" ujar Koyas.

"Tadi tu sengaja serba pelan-pelan pak, agar tidak berisik dan mengganggu orang tidur!" sambung Koyas.

Pak Sendy mendadak membisu, menghela nafas serta menatap Koyas dengan geleng-geleng kepala. Kini wajah pak Sendy berubah agak sedih.

Yaa... sudah pasti Koyas kagèt melihat bapaknya seperti itu dengan tiba-tiba. Namun dia anak yang sangat sensitif, mampu merasakan situasi batin bapaknya. Lalu:

"Pak... kok tiba-tiba bersedih begitu? Ada apa dengan bapak?" tanya Koyas.

Pak Sendy tidak menjawab, hanya wajah sedih dan diam yang menatap ke wajah Koyas, dua telapak tangan menumpang lemas di tepian meja di hadapannya.

Koyas pun diam, serta merta otak berputar, mengerutkan dahi, lalu pikirnya:

"Ada apa ya dengan bapak? Mengapa tiba-tiba bersedih begini? Adakah aku barusan salah mengucap kata? Ataukah bapak sedang punya masalah dengan ibu? Aaah, jangan-jangan benar begitu, karena sejak aku masuk tadi malam belum lihat ibu sampai sekarang!"

Kemudian dengan sangat hati-hati, Koyas katakan:

"Pak..., lima tahun saya pergi dari rumah ini tanpa keterangan yang jelas, saya sadar itu pasti membebani pikiran orang tua. Dan saat kini saya kembali, mungkin bapak telah melihat keburukan pada saya... itupun pasti juga membuat bapak merasa prihatin!

Itu memang kesalahan saya pak, namun saya punya alasan, dan saya akan menjelaskannya ; Mengapa saya lakukan itu!" ujar Koyas.

Betapa tersentuh hati pak Sendy mendengar kata-kata anaknya yang mengakui dengan rendah hati, dan beliau pun mulai bicara lagi, lalu katanya:

"Kamu tidak bersalah anakku, tetapi bapak yang salah, karena terus sibuk dengan urusan bapak sendiri, sehingga tidak banyak waktu buat kamu!"

"Saya mengerti bapak memang sibuk, tapi alasanku pergi bukan karena itu pak!" balas Koyas.

"Terima kasih anakku, kamu bisa menerima keadaan bapak! Namun, sama seperti katamu tadi, bapak bersedih ; juga bukan karena itu Nak! Justru bapak bangga padamu, karena

kamu sekarang tampak jauh lebih dewasa!" pak Sendy manggut-manggut seraya tangan kanan memegang pundak anaknya.

"Lantas... mengapa bapak tiba-tiba sedih begitu? Rasanya baru saja kita tertawa senang!" ucap Koyas dengan wajah serius.

"Bapak sangat terharu mendengar kamu katakan bikin kopi pelan-pelan demi tidak berisik!" suara pak Sendy datar dan pelan.

"Lho, seharusnya begitu to pak, karena masih terlalu pagi dan belum pada bangun semua?!" ujar Koyas berusaha menenangkan hati.

"Itu yang membuat bapak merasa haru. Karena sebenarnya, kamu tidak mungkin mengganggu istirahat siapapun bila bapak sudah duduk di sini!" jelas pak Sendy.

"Apakah itu artinya bapak tinggal di rumah sendirian?" Koyas masih dengan serius.

"Benar, anakku!" jawab pak Sendy singkat.

"Lho, mas Tegar, mas Hanggar, dan juga ibu... pada ke mana pak?" tanya Koyas.

"Kedua kakakmu setelah menikah pindah dari rumah ini, ingin mandiri bersama keluarganya!" jelas pak Sendy.

"Lalu, sekarang ibu ikut siapa?" Koyas lanjut bertanya.

Pak Sendy berdiri dan mendekati kursi Koyas, dengan suara agak berat bapak katakan:

"Dua tahun setelah kamu pergi dari rumah ini, ibumu meninggal karena sakit. Dan sejak ibumu meninggal dunia itu, bapak sering tinggal di rumah sendirian!" jelas pak Sendy.

Mendengar penjelasan bapaknya, Koyas mendadak ingin marah dengan dirinya, namun sekaligus sangat bersedih; karena ternyata waktu lima tahun silam itu adalah terakhir kali dia berjumpa ibunya. Kerinduan terhadap ibunya yang dibawa serta pulang saat ini ternyata hampa.

Kini Koyas hanya bisa merenungi kebodohannya di masa lalu.

"Kalau tau akan begini, mengapa aku dahulu pergi begitu saja, dan tanpa pernah mau berkomunikasi dengan keluarga?" gerutu Koyas sambil merunduk, kedua tangan menyangga dahinya, dan sesekali agak sesenggukan.

Secangkir kopi panas yang belum sempat diteguknya kini sudah menjadi dingin. Yaa... Koyas tidak ingat lagi kopi panasnya... yang ada hanya penyesalan yang teramat dalam.

"Jebraaak!" tiba-tiba telapak tangan Koyas memukul meja di depannya.

Pak Sendy yang masih berdiri di sampingnya, sedikit mengangkat pundak karena kagèt, dan sempat bingung harus berkata apa lagi.

Dan saat pak Sendy terpaku dalamp kebingungannya, Koyas berdiri, berjalan, dan tepat di tengah-tengah pilar teras dia bersungkur... menengadah... kedua tangan mengayun ke atas, seolah hendak menggapai sesuatu, dan teriaknya dengan kuat:

"Ibuuuu..... di mana ibukuuuuu..... !!!" air matanya berlinang sangat deras.

Tak sadar, air mata pak Sendy pun meleleh basahi pipinya melihat anak lakinya menjerit histeris seperti itu.

Sesaat kemudian Koyas duduk di lantai sambil menangis sesenggukan.

Tidak tega hati pak Sendy melihatnya, kakinya pun mulai melangkah mendekati anaknya.

Dipeluknya pula anak lakinya itu.

Belum sempat berkata apa pun, Koyas melepas pelukan bapaknya sambil membentak dengan mata yang masih berlinang air kesedihan:

"Kenapa bapak tidak memberi kabar saat ibu sakit!"

Pak Sendy sedikit terpancing marah, lalu:

"Apa katamu! Semestinya kamu sebagai anak, kamu lah yang lebih dulu kasih kabar orang tuamu yang pontang panting sendirian ngurus ini itu ... di mana kamu tinggal!" pak Sendy agak geram, sambil mendorongkan telunjuknya ke dada Koyas.

Koyas menunduk dengan isak tangisan, sedangkan sang bapak berdiri mendekat dinding sambil geleng-geleng kepala, dia pukulkan genggam tangannya ke dinding.

Beberapa saat lamanya mereka berdua saling diam di tempat masing-masing, dan sesekali masih terdengar isak tangis dari keduanya.

"Apa yang salah, sehingga...!" gerutu pak Sendy terhenti.

"Pak, ini salahku!" ucap Koyas yang tiba-tiba berdiri di belakang bapaknya.

Pak Sendy yang masih berdiri dengan kedua tangan dan dahinya menempel pada dinding, menoleh mendengar suara Koyas di belakang nya.

Lalu katanya:

"Jangan menyalahkan dirimu Nak!" ucap pak Sendy.

"Pak, kalau lima tahun lalu saya pergi baik-baik, dan selama di rantau tetap berkomunikasi dengan keluarga, saya pasti ada bersama bapak saat ibu kritis!" kata Koyas.

"Kita harus belajar lagi dari masalah ini, dan sekarang kita bareng-bareng cari hikmahnya!" ujar pak Sendy dengan senyum.

"Iya pak!" sahut Koyas.

Mereka saling rangkul sebentar, lalu kembali duduk di kursi teras.

"Bapak mau saya bikinkan kopi yang baru lagi?" Koyas menawarkan.

"Nggak juga gak papa, yang kamu bikin tadi sepertinya masih ada!" tolak bapak.

"Sepertinya yang tadi tumpah pak!" ucap Koyas.

"Nggak papa, itu kan bapak sendiri penyebabnya tumpah!" bapak tetap menolak.

"Tapi saya yang lakukan penumpahan, heheee!" sambung Koyas tertawa.

"Tapi ...!" kalimat pak Sendy terhenti.

Koyas segera ke dapur. Dan kurang lebih 20 menit berikutnya, Koyas kembali dengan dua cangkir kopi.

"Pak, bisakah setelah ngopi ini, bapak antar saya ke makam ibu?" tanya Koyas.

"Ya pastilah... kamu belum meminta, sudah ada rencana hari ini juga kamu akan bapak bawa ke sana!" jelas pak Sendy.

Sekitar pukul 08:00 waktu setempat, mereka berdua pun menuju makam almarhum istri pak Sendy.

Sepulang dari makam, pak Sendy coba menelpon Tegar dan Hanggar. Kebetulan hari itu pas libur kerja, sehingga dua anaknya sanggup datang mengunjungi bapaknya.

Pada siang hari, dua kakaknya Koyas datang. Baik Tegar maupun Hanggar, mereka datang mengajak juga istrinya.

"Maaf aku nggak kasih kabar saat ibu kritis. Karena saat itu bersamaan urusan kerjaan sedang genting, bahkan nyaris hancur usahaku. Jadi otak lagi fokus pada pekerjaan!" jelas Tegar.

"Lagian juga, kalau kasih kabar, ke mana dan melalui apa!? Orang dia perginya juga nggak pamit ke mana arah dan tujuannya!" tambah Hanggar kemudian.

"Udah, udaaah... nggak usah diributkan lagi seperti itu, kasihan adikmu yang baru datang!" sela pak Sendy.

"Benar kata bapak, itu baik agar Koyas tidak terus merasa bersalah!" Sufa istri Tegar berbisik pada suaminya.

"Kalian harus tau dan harus yakin, bahwa adikmu mampu menjadi Koyas yang baru, bukan lagi Koyas yang suka ngambeg dan cèngèng seperti yang kamu lihat lima tahun silam!" ujar pak Sendy.

"Koy, maafin aku ya! Karena aku membiarkanmu pergi, cerita jadi seperti ini!" ucap Hanggar seraya peluk Koyas adiknya.

"Ini salahku kak, hanya karena ngambêg saat itu aku pergi tidak dengan baik-baik!" kata Koyas.

Setelah itu, ganti Tegar kakak tertua merangkul Koyas, lalu katanya:

"Maafkan kakak ya! Sebagai saudara tertua harusnya bisa lebih bijak, namun kakak saat itu malah diperhadapkan situasi dilema!"

"Salahkanlah saja aku kak! Waktu silam itu aku terlalu egois, dan inginnya selalu diperhatikan, namun tidak pernah mengerti bahwa penting juga untuk memperhatikan!" Koyas mengakui kekurangannya di waktu silam.

Dalam pada itu, pak Sendy sejak tadi diamatinya dan memperhatikan anak-anaknya dengan seksama seraya tersenyum, lalu katanya:

"Aku bangga pada kalian semua anak-anakku. Kalian semua laki-laki yang sudah sama-sama dewasa, lihatlah... ini lho bapak kalian! Bapakmulah penyebab cerita ini terjadi. Kalau saja waktu silam bapak tidak selalu mementingkan pekerjaan, dan memberi cukup waktu juga buat kalian, yang terjadi tidaklah seperti ini!"

Tegar, Hanggar, dan Koyas ; semua tampak tersenyum serta hati yang terharu atas pengakuan bapak mereka.

"Harapan bapak, kiranya kalian semua anak-anakku mampu menjadi bijak dalam membagi waktu, agar mampu mewujudkan arti kata CINTA yang sesungguhnya!" ungkap pak Sendy pada anak dan menantunya.

Seusai pak Sendy menyampaikan pesan serta nasehat bagi anak-anaknya, mereka semua duduk santai bersama di teras. Kebetulan sekali hari itu Tegar dan Hanggar sedang libur kerja, sehingga bisa kumpul sejenak dengan adiknya yang lima tahun menghilang dari hadapan keluarga.

■ Bagaimana kisah keluarga pak Sendy setelah itu?

■ Ikuti kisah berikutnya pada Bab "Hasrat Cintaku dibayangi Masa Lalu"