Chereads / Mencinta ataukah Bercinta / Chapter 3 - Hasrat Cintaku dibayangi Masa Lalu

Chapter 3 - Hasrat Cintaku dibayangi Masa Lalu

Malam itu suasana di rumah pak Sendy terlihat sepi. Ya, kehadiran ketiga anak serta menantu telah membuat pak Sendy merasa nyaman dan nyenyak tidurnya.

Satu malam yang mereka lewati dengan bahagia, rupanya menjadi awal dari munculnya pagi yang indah.

Siangnya di teras rumah, kata pak Sendy:

"Tegar dan Hanggar, nggak papa kan kalau bapak minta kalian nginap di sini dulu selama liburmu?"

"Nggak apa-apa pak!" jawab Hanggar.

"Tapi saya cuma libur 2 hari lho pak?!" kata Tegar.

"Nggak papaaa... akan berapa haripun kalian di sini, itu adalah sesuatu yang sangat berharga bagi bapak, sebab milik dan harapan bapak saat ini ya kalian-kalian ini!" ujar pak Sendy.

"Koyas, kamu jangan kabur lagi ya? heheee!" canda Tegar.

"Hahaha... enggak lah mas!" jawab Koyas.

"Menurutku... memang sebaiknya Koyas di rumah aja. JOB cari di wilayah dekat-dekat sini kan bisa. Supaya bapak juga ada teman di rumah!" sambung Hanggar.

"Itu betul, aku setuju!" tambah Sufa istri Tegar.

*Satu bulan berikutnya:

Tegar dan istrinya kembali pada kesibukan perusahaannya.

Begitu juga Hanggar yang adalah PNS, kembali dengan tugas kantornya, dan istrinya hanya di rumah untuk mengurus toko kelontongnya.

Sedangkan pak Sendy tinggal berdua bersama Koyas yang masih single.

Suatu siang, seorang wanita berjaket kulit hitam mendatangi toko milik Hanggar, lalu:

"Silahkan mbak, cari apa ya?" sambut Liana.

"Maaf mbak, cuma mau numpang nanya!?" jawab wanita itu sambil buka kaca-matanya.

"Silahkan!" kata Liana.

"Apa benar ini rumah mas Hanggar, putra dari pak Sendy?" tanya wanita itu.

"Iya, benar!" jawab Liana.

"Mbak siapa ya? " tanya Liana balik.

"Saya Sari, adik kelas mas Hanggar di SMA 2 dulu mbak!" jawab wanita itu.

"Ooh iya. Ada keperluan apa ya mbak?" lanjut Liana.

"Keperluannya sih sebenarnya bukan sama mas Hanggar, tapi sama adiknya, Koyas!" jawab Sari.

"Jadi, mbak Sari ini kenal sama Koyas juga?!" Liana agak heran.

"Iya, saya kenal Koyas!" jawab Sari.

"Maaf, ini kok malah mas Hanggar yang dicari ya!? Apakah ada masalah?" Liana mengerutkan dahi.

"Mengapa nggak langsung aja temui Koyas!?" Liana melanjutkan.

"Begini mbak, beberapa Minggu terakhir ini, kontak nya tidak bisa dihubungi, dan kabar yang saya dapat dari teman kost Koyas, dia pergi tanpa diketahui teman-temannya, begitu!" terang Sari.

"Eem...!" Liana kerutkan dahi sambil manggut-manggut.

Liana terdiam sesaat sambil memutar otaknya, lalu pikirnya:

"Mengaku adik kelas mas Hanggar.... bagaimana dia bisa kenal Koyas? Padahal Koyas dan kakaknya berbeda sekolahan. Aah, sebaiknya aku pura-pura sebagai karyawan mas Hanggar aja!"

Sesaat kemudian :

"Mbak kenal juga dengan Koyas?" tanya Sari.

"Belum sih. Tapi mas Hanggar pernah cerita kalau masih punya adik laki-laki!" Liana berpura-pura.

Lalu lanjut Liana:

"Ini mas Hanggar masih di kantor. Bagaimana kalau ke sini lagi nanti sore pas dia sudah di rumah, atau besuk lagi?" jelas Liana.

"Nanti sore saja saya ke sini lagi!" kata Sari.

"Kalau begitu saya permisi pamit dulu mbak!" kata Sari lagi.

Sore harinya:

"Mas, punya teman namanya Sari apa nggak ya!?" tanya Liana saat Hanggar di toko.

"Sari?! Aaah, lupa-lupa ingat! Emang kenapa dengan Sari?" Hanggar tanya balik.

"Tadi siang tu ada orang cari mas, mengaku namanya Sari, adik kelas di SMA 2 dulu!" jelas Liana.

"Bentar, bentar!" Hanggar berkerut keningnya mencoba mengingat.

"Penampilannya kayak cowboy mas!" tambah Liana.

"Oh iya, aku ingat!" ucap Hanggar.

"Pernah dekat?" tanya Liana agak ketus.

"Dulu sempat dekat sebagai sahabat. Cemburu ya?!" Hanggar tersenyum menatap sambil memegang janggut istrinya.

"Ngapain cemburu? Dulu kan belum milik saya!? Lagian juga, dia tu ke sini mencari Koyas!" jelas Liana.

"Terus bagaimana?" Hanggar ingin tau.

"Katanya mau ke sini lagi sore ini!" kata Liana.

"Baiklah, kita tunggu, siapa tau penting bagi Koyas!" kata Hanggar.

Tak lama setelah itu, terlihat wanita berjaket kulit hitam memarkir motor di depan tokonya, lalu:

"Tu mas, Sari datang!" Liana panggil sang suami.

Selanjutnya:

"Selamat sore mbak, mas Hanggar ada?" tanya Sari.

"Ada mbak. Tunggu sebentar ya?!" ucap Liana.

Ketika Hanggar hendak temui Sari, dia bergumam dalam hati:

"Sebaiknya saya ngobrol di halaman samping toko aja, agar istriku bisa mendengar pembicaraan kami!"

Berikutnya, Hanggar dan Sari ngobrol di halaman samping tokonya di bawah pohon mangga besar.

Karena sudah lama berpisah, beberapa menit mereka sempat saling mengingat.

"Maaf lama nggak kirim kabar!" kata Sari.

"Nggak apa-apa!" sahut Hanggar.

"Kamu juga kok lama nggak ada berita sih?" ucap Sari.

"Sibuk!" balas Hanggar.

"Beberapa Minggu lalu saya ketemu Windu sahabatmu di Mall, dia juga nggak bawa salam darimu!" lanjut Sari.

"Lupa!" kata Hanggar.

"Omongnya mahal bener sih!?" keluh Sari.

"Capèk kerja!" jawab Hanggar.

"Uiih, sombongnya?!" Sari mencubit lengan Hanggar.

Seketika itu Liana muncul lalu bentaknya:

"Mbak Sari kalau udah dikasih waktu, cepat sampaikan keperluannya dong! Jangan malah bernostalgia begitu?!" Liana agak ngotot.

"Kacung toko aja sudah sok-sok ikutan angkat bicara,... ngotot lagi?!" gerutu Sari dalam hati.

"Hei, mbak ..... !!" Kalimat Sari terpotong.

"Sebentar, jangan keburu tersinggung, karena yang dikatakannya benar!" Hanggar angkat tangannya depan Sari.

"Rêm lebih dulu dia dong, sebelum rem bicaraku!? Karena kita sudah berteman lama!" Sari agak emosi.

"Lagi pula ngapain sih harus dia yang jagain toko!" Sari masih jengkel.

"Karena yang punya sibuk dengan urusan kantor, maka istrinya yang diminta jagain tokonya!" kata Hanggar seraya tangannya memungut rokok di saku bajunya.

"Kamu kan,... yang punya toko ini?!" Sari bicara putus-putus.

"Betul!" jawab Hanggar tenang.

"Jadi ... !" kata Sari terhenti, dan menatap Hanggar penuh malu, seraya melirik Liana.

"Ya, dia istriku, tahun lalu kami menikah!" ujar Hanggar tenang.

Sesaat Sari membisu, diam menahan rasa malu yang amat sangat.

Liana balik masuk ke dalam toko. Kemudian Hanggar membuka pembicaraan lagi dengan Sari, lalu:

"Apakah kamu mencari saya hanya untuk ini? Atau ada tujuan lain?" tanya Hanggar tenang.

"Mm, anu, sebenarnya saya pingin ketemu Koyas!" Sari bingung menyusun kalimat.

"Kalau begitu, saya kasih alamatnya, kamu bisa langsung temui dia?" saran Hanggar.

"Iya mas, terimakasih. Saya minta maaf telah lancang bicara!" kata Sari.

"Hehee.... saya paham!" Hanggar bicara tenang.

"Ya mas!" Sari manggut-manggut, kemudian:

"Saya sudah berulang kali cari ke rumah kost Koyas, namun nggak pernah ketemu, teman kost pun nggak ada yang tau Koyas di mana, kontaknya juga tidak bisa dihubungi.

Lantas saya berpikir; mungkin mas Hanggar bisa kasih tau saya!" cerita Sari.

"Lain kali lebih berhati-hatilah bila bicara dengan teman nggak ketemu lama!

Baiklag, kalau begitu kamu coba ke alamat yang saya kasih itu!" ungkap Hanggar.

Beberapa menit kemudian Sari pamit pulang, dan Hanggar lanjut aktivitas rumahnya.

*Beberapa hari kemudian, pagi di teras rumah pak Sendy:

"Jadi, sekian lama kamu berkelana itu, apa saja kegiatan kamu?" tanya pak Sendy pada Koyas.

"Banyak pak!" Koyas santai sambil hisap rokoknya.

"Sempat punya pacarkah?" tanya bapak.

"Berkali-kali, namun gagal semua pak!" jawab Koyas.

"Kok bisa begitu! Mungkin kamu kurang serius?!" ucap bapak.

"Hhfff, semuanya saya buat serius, tapi tetap gagal!" Koyas menghela nafas sambil turunkan abu rokoknya pada asbak.

Pak Sendy melihat ada kesedihan di wajah anaknya. Kemudian:

"Serius kok sampai berkali-kali begitu?! Kayak orang beli motor aja, coba dulu, kalau gak enak coba yang lain, kalau cocok bawa pulang, hehehe?!" tukas bapak tertawa.

"Hahaha, bapak bisa aja, saya gak begtu dong pak!" Koyas tertawa.

"Lantas, mau tunggu motor mana lagi?"

Koyas belum menjawab, sebuah motor memasuki pagar halaman, lalu:

"Selamat pagi!" Sari memberi salam.

"Slamat pagi!" sahut pak Sendy.

"Cari siapa ya mbak?" tanya pak Sendy.

"Bisakah saya ketemu dengan Koyas?" Sari tanya balik.

Saat itu Koyas mengedipkan mata pada bapaknya memberi kode, supaya bapaknya jangan bilang bahwa dia adalah Koyas. Dan Koyas cepat-cepat ambil alih pembicaraan, lalu katanya:

"Sudah janjian mbak?"

"Tidak ada sih. Cuma saya lama nggak ketemu, kemudian dapat info dari mas Hanggar, lalu saya ke sini!" jawab Sari.

Koyas yang semula pasang muka serem pada wanita itu, mendengar Sari sebut nama kakaknya, diapun melunak, lalu katanya:

"Silahkan duduk dulu mbak!" suruh Koyas.

"Iya, trima kasih!" Sari duduk.

"Permisi, mbak dari mana ya?!" kata Koyas.

"Saya tinggal di kota ini juga, dulu di SMA 2 adik kelasnya mas Hanggar, tapi kami akrab!" ujar Sari

"Lantas bagaimana bisa kenal sama Koyas?" Koyas coba mengorek.

"Suatu hari mas Hanggar ada acara pentas seni bersama adiknya. Karena saya diajak untuk hadiri acara tersebut, dari situ saya kenal adiknya?" cerita Sari.

Koyas mikir dalam hati:

"Pentas Seni yang mana ya!?"

"Setelah acara itu usai, saya katakan pada mas Hanggar bahwa saya jatuh hati pada Koyas. Dan mas Hanggar janji akan sering mempertemukan saya lagi dengan Koyas. Namun sejak sibuk Ujian Akhir, mas Hanggar tidak pernah wujudkan janji itu sampai hari ini!" lanjut Sari.

"Waaah, Romantis ya?!" sela Koyas.

"Kok ... !" kata Sari terhenti.

"Iya. Betapa kuatnya mbak Sari ini bertahan pada pandangan pertamanya sampai hari ini. Padahal ini sudah bertahun-tahun kan?" Koyas merasa kagum.

"Benar, cukup lama mas!" jawab Sari.

"Mengagumkan!" ucap Koyas

"Lalu, bagaimana mbak Sari bisa yakin Koyas di rumah ini?" tanya Koyas lagi.

Lalu Sari ceritakan semua saat mencari Koyas di kost'nya, hingga datang ke tokonya Sufa, kemudian nyampèk rumah pak Sendy ini.

Sambil manggut-manggut, Koyas bergumam dalam hatinya:

"Kalau Sari cerita ini benar, aku bisa menerima sepenuhnya dia jadi pacarku! Tapi...., bagaimana kalau dia ternyata berkhianat?!?"

"Maaf mas, bisakah saya ketemu Koyas sekarang?" Sari bertanya ulang.

Koyas yang sedang terbenam dalam lamunannya, menjadi kagèt, lalu:

"Eh,... iya,... maaf,... aaa..anu mbak, dia tadi memang ada di sini, tapi entah sekarang?!" Koyas gerakkan alis serta pundaknya naik.

Pak Sendy yang juga ada sejak tadi, rupanya memahami Koyas saat itu, lalu tiba-tiba katanya:

"Kalau nggak salah dia tadi keluar dengan temannya!"

"Ha! Jadi benar dia tinggal di sini!?" Sari gembira.

"Kira-kira dia akan balik jam berapa ya pak?" Sari makin berambisi.

"Sebentar mbak!" kata pak Sendy.

"Koyas, coba kamu cek sepatunya di dalam?" pinta pak Sendy.

Koyas masuk hanya sampai balik pintu ruang tamu, berhenti lalu lambaikan tangan pada bapaknya.

Bapaknya masuk, lalu Koyas berbisik:

"Bagaimana ini menurut bapak?" bisik Koyas.

"Hentikan sandiwaramu, dan terimalah dia. Saya telah melihat ketulusannya!" ujar sang bapak.

"Saya khawatir dia berkhianat seperti mantan-mantan sebelumnya pak!" ungkap Koyas.

"Udah lah, kali ini turuti kata bapak, terima dan berbaiklah terhadap dia!" saran sang bapak.

"Baik pak!" kata Koyas.

Koyas , dan pak Sendy kembali ke teras. Lalu pak Sendy membuka obrolan:

"Sudah kamu cek ke dalam?" pak Sendy melirik Koyas.

"Sepatu dan sandalnya ada tu pak!" jawab Koyas.

Mendengar jawaban Koyas, Sari yang sedang fokus ke layar Hp mendadak terperanjat, lalu:

"Ha! Apakah itu berarti dia di rumah?" Sari sangat gembira.

"Lagi tidur mbak, tapi barusan sudah saya bangunkan. Sebentar lagi pasti keluar!" ujar Koyas.

"Hyess....!" Sari sangat gembira serta merta menghentakkan kepal tangannya ke paha.

Kemudian:

"Saya tinggal ke toilet sebentar ya mbak!" ucap Koyas.

"Silahkan mas, silahkan, silahkan!" Sari penuh kegembiraan.

Tidak lama kemudian Koyas sudah balik dengan segelas air minum. Lalu:

"Silahkan minum dulu mbak. Maaf cuma air putih!" kata Koyas.

"Terimakasih!" kata Sari.

Sari meminumnya, lalu:

"Koyas lama ya, mandikah?" tanya Sari.

"Sudah kok!" ucap Koyas.

"Atau bikin minum, karena baru bangun?" lanjut Sari.

"Sudah kok!" kata Koyas.

"Mana, kok nggak keluar?!" Sari nggak sabar.

"Sudah kok!" kata Koyas.

"Kenapa nggak duduk di sini?" Sari makin gak sabar.

"Sudah kok!" ucap Koyas.

"Duduk di sini maksudku!" Sari mulai gemes.

"Sudah kok!" kata Koyas.

"Dari tadi sudah kok-sudah kok terus, sudah apanya mas?!" Sari makin gemes.

"Sudah di depan mbak Sari!" ujar Koyas.

"Siapa!?" Sari makin serius.

"Mbak ke sini cari siapa?" Koyas tanya balik.

"Koyas!" suara Sari agak meninggi.

"Sudah di depan mbak Sari!" ucap Koyas seraya tersenyum.

"Jadi....?!" ucap Sari terhenti.

"Iya, aku orang yang mbak cari!" ucap Koyas tenang.

"Kamukah itu?" Sari meyakinkan sambil menunjuk badan Koyas.

"Benar!" ucap Koyas.

Pak Sendy tersenyum sambil geleng-geleng kepala, berdiri, dan masuk.

Berdua di teras bercanda, tertawa saling bercerita mengingat masa sekolah dan pentas seni, hingga Sari jatuh hati.

"Tetaplah tinggal di sini, agar mudah menemui dirimu!" ucap Sari.

"Lima tahun silam aku merasa berkali-kali dekat wanita, akhirnya aku sendiri yang meninggalkan wanita-wanita itu, karena mereka selalu punya lelaki yang lain!" ungkap Koyas.

"Seandainya lima tahun silam ada lekaki bersamaku, kemarin aku tidak mungkin mencari Koyas, karena hari ini aku pasti sibuk momong anakku!" ungkap Sari.

Mereka berpandangan, berpelukan, saling menatap, dan berpelukan lagi.

Saat mereka lepaskan pelukan, tiba-tiba:

"Hm, hm!" bapak berdehem.

"Kok bapak di situ?" Koyas terkejut melihat bapaknya berdiri di pintu.

"Bapak juga barusan aja kok. Tadinya mau ngajak kalian makan bareng, eeh.... lg gituan, hahahaa!" kata bapak.

■ Bagaimanakah kisah asmara Koyas setelah 5 tahun lebih baru ditemukan Sari, wanita yang mencarinya ?

■ Ikuti kisahnya lanjutannya pada Bab "Bidadari yang mendatangiku?"