Shona mendapati dirinya berada di pekarangan luas rumah Ghevin. Dia tak pernah tahu kalau di Surabaya ada rumah megah begini. Mobil mewah yang dikemudikan sendiri oleh Ghevin membelah pekarangan luas itu menuju beranda.
Sepanjang perjalanan dari Hotel Ritz di pusat kota menuju mansion-nya Ghevin, Shona mendiamkan diri. Ghevin sempat mengajaknya bicara, tapi akhirnya menyerah saat menyadari keengganan gadis itu bicara dengannya.
"Sho, kamu mau dipanggil apa setelah kita menikah?" tanya Ghevin masih berusaha untuk mencairkan suasana.
Satu menit berlalu, tapi Shona masih tidak ada suara.
Dua menit, lima menit sampai bahkan sepuluh menit, pertanyaannya masih tetap tergantung dan belum mendapatkan jawaban dari wanita di sampingnya.
Ghevin menghela napas, kemudian ia kembali fokus ke jalanan. Percuma saja mengajak ngobrol Shona, karena pasti ia tak akan mendapat timbal balik dari perkataannya. Shona masih dalam mode diam dan memalingkan wajahnya ke arah luar jendela.
Ghevin sampai memastikan wajahnya ke cermin yang ada di depan kemudi, cermin kecil yang entah ditinggalkan siapa di dasbord mobilnya, wajahnya masih tampan, tak kalah dengan aktor yang sering wara-wiri di televisi, tapi kenapa Shona seolah enggan menatapnya? Apa gadis itu alergi dengan pria tampan? Mungkin saja.
Hari sudah sepenuhnya sore ketika Ghevin menghentikan mobil di depan beranda utama, yang ditata sedemikian rupa hingga punya cukup ruang sebagai tempat parkir sementara.
"Nah ini rumah kita. Nanti kita dan anak-anak kita akan tinggal di sini," ujar Ghevin memancing Shona lagi.
Shona memalingkan wajah. Masih tidak menjawab atau menimpali kalimat Ghavin. Malas sekali. Apa lagi ia membayangkan seperti yang dibilang Ghevin, anak-anak mereka.
Itu bukan berarti kalau malam ini mereka akan melakukan ... ah sudahlah. Pikirannya jadi tidak tenang dan melayang ke segala penjuru dunia, apa lagi ketika melirik tubuh dan dada tegap Ghevin di sampingnya.
"Oke, mari kita turun!" Ghevin bergegas keluar, niatnya hendak membuka pintu mobil untuk Shona turun. Sayangnya gadis itu sudah lebih dulu melakukannya sendiri.
"Tuan Ghevin gak perlu repot-repot, aku bisa melakukannya sendiri," ujar Shona saat dilihatnya Ghevin berusaha meraup semua bagian gaun pengantinnya yang menyapu tanah. Sekali tarik, seluruh bagian gaun yang berlayer-layer itu lepas dari genggaman Ghevin.
"Kamu gak harus manggil aku tuan. Kita sudah suami istri, kamu boleh memanggilku Kak atau ...." Ghevin nyaris menyebut kata "Beib".
"Aku akan tetap manggil Tuan Ghevin pake Tuan, Terima gak terima, suka gak suka, bukan urusanku." Shona mendahului menaiki undakan tangga beranda, meninggalkan Ghevin yang gusar.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Shona terbencana dengan gaunnya sendiri. Bagian gaun yang terlepas dari pegangan terpijak sepatunya saat melangkah. Akibat itu, sosoknya oleng dan terjengkang ke samping.
Shona menjerit tertahan.
Sesaat lagi tubuhnya akan tergolek cantik di undakan beranda, lengan kokoh Ghevin sudah saja menyambutnya.
Sial.
Hal terakhir yang diinginkan Shona hari ini adalah terlibat adegan romantis dengan om-om ganteng setengah bule itu. Sialnya malah terjadi. Eh, tapi omong-omong, otot-otot lengan om-om setengah bule ini, kok, empuk juga, ya?
"Hati-hati, Sho ... gaunmu berbahaya," ujar Ghevin saat membantu Shona menegakkan diri. Sama berbahayanya dengan kecantikanmu, lanjut hati Ghevin ikhlas.
Shona menepis debar di dada, bertekad sepenuhnya kalau dia tak akan jatuh cinta pada om-om dua belas tahun di atasnya secepat ini.
"Makasih, Tuan Ghevin. Tapi lain kali, aku lebih suka dibiarkan kejengkang daripada disambut otot-ototmu, suwer."
Wanita, sebelia apa pun, memang selalu pandai menyembunyikan perasaan. Padahal tinggal bilang saja kalau dia memang senang ditolong.
Sayangnya, ia lebih memilih jual mahal dan tetap berada dalam mode cueknya meski sudah bisa ditebak hatinya hampir lepas dari tempatnya sekarang.
"Maaf, Sho, aku gak bisa melakukannya. Sudah tugas seorang suami untuk selalu melindungi istrinya. Kamu istriku, dan aku akan selalu melindungimu."
Ah, peduli setan, pikir Ghevin. Mau Shona marah dan mengamuk lantas mencakar-cakar dirinya, biarlah itu jadi urusan belakangan.
Setelah berpikir demikian, enak saja pria tinggi tegap itu membungkuk cepat dan tahu-tahu Shona sudah dibopongnya.
"Tuan Ghevin, apa-apaan!"
"Aku gak mau kamu jatuh lagi," jawab Ghevin.
Shona menggelinjang saat tubuhnya sekonyong-konyong sudah berada dalam rengkuhan Ghevin. Percuma saja dia meronta berusaha turun, sosok Ghevin terlalu besar baginya. Yang ada, dia malah makin merasakan tekstur tubuh lelaki itu. Lengannya yang ada di punggung dan sekitar pinggulnya, dan dada bidang lelaki itu yang menempel dengan sisi kanan badannya. Belum lagi wangi Ghevin yang enak.
Saat sudah melewati beranda dan pintu utama dibukakan lebar-lebar oleh para pelayan, Shona mengira Ghevin akan menurunkannya. Namun dia kecele. Pria itu terus berjalan, tak peduli para pelayan menatap mereka sambil tersenyum-senyum.
Shona hanya bisa pasrah saat Ghevin mendaki anak tangga menuju lantai dua. Ah, ambil positifnya saja, dengan begitu dia tidak perlu capek-capek naik tangga sendiri.
Ia membayangkan adegan romantis di drama Korea yang sering ditonton, biasanya memang ada adegan seperti ini, hanya saja bedanya jika di drakor itu mereka saling cinta, sedangkan dirinya dan Ghevin? Kenal saja belum lama.
Meski dari pihak dia sudah ada benih-benih perasaan hangat di hatinya.
"Ini kamarmu, eh ... kamar kita ...."
Mendengar itu saja Shona sudah merinding. Kamar kita. Kita artinya ia dan Ghevin kan? Berdua dalam satu ruangan?
Ghevin menurunkan Shona di ambang pintu kamar mereka. Saat sudah dipastikan kalau Shona telah berdiri tegak dan tidak oleng, pria itu mendorong daun pintu.
Shona terbelalak mendapati keadaan kamar mahaluas itu. "Maaf, Tuan Ghevin, ini kamar apa kebon?"
Ghevin tersenyum sendiri. "Entah, Sho. Aku juga gak tahu kenapa kamarnya bisa begini. Pasti ulah para pelayan." Ghevin mendahului masuk ke kamar. "Aku akan menyingkirkan mawar-mawarnya kalau kamu gak suka."
"Iya, tolong disingkirkan."
Bukan tidak suka, tapi Shona malu sendiri. Dia jadi berpikir yang tidak-tidak karena mawar yang tertebar di seluruh kamar, dari lantai sampai tirai-tirai yang membentuk kelambu di tiang-tiang ranjang. Mendadak Shona pucat.
Romantis memang, tapi mengingat apa yang dilakukan pengantin di malam pertama ia jadi canggung. Selain itu, Shona pun tak yakin apa meraka akan melakukan ritual malam pertama pengantin seperti yang lainnya.
Ditatapnya punggung lebar Ghevin yang tengah membungkuk mengumpulkan mawar-mawar dari lantai. Kenapa kokoh dan nyaman buat bersandar sih? Sialan benar!
"Tu-tu-tuan Ghevin, maaf ... Tuan akan tidur di mana malam ini?" Ia hanya melihat satu ranjang di kamar itu, dan tidak ada sofa panjang seperti di film yang bisa dipakai untuk tidur.
"Di sebelah istriku," jawab Ghevin tanpa menoleh.