"Tuan Ghevin kerja? Apa ini udah dua minggu?"
Shona masuk kamar dan menemukan Ghevin sedang berpakaian di depan cermin. Seingat Shona, Ghevin pernah bilang mengambil cuti 2 minggu, rasanya ini belum 2 minggu. Apa Shona salah hitung?
"Karena kamu menolak ke Cappadocia, kuputuskan untuk cuti sembilan hari saja. Congratulation, kamu gak harus melihatku dua puluh empat jam di rumah."
Shona terdiam.
"Oh, omong-omong, proses memasukkanmu ke kampus sedang diuruskan Mister Dahlan."
"Siapa Mister Dahlan?"
"Dia tenaga ahli yang menghandle segala urusan birokrasi yang tidak sempat kulakukan sendiri. Kamu sudah bertemu dengannya saat di panti tempo hari."
Oh, yang dimaksud Ghevin sebagai Mister Dahlan pastilah aki-aki kisut yang saat itu sempat dikira Shona sebagai pria bernama Ghevin Aditama Jansen yang mengantar lamaran.
"Tolong bilang makasih ke Mister Dahlan," ujar Shona. "Dia menguruskanku ke jurusan apa?"
"Dokter, kan? Kata Ibu Panti kamu sangat ingin jadi dokter dan menolong orang sakit."
"Apa biaya sekolah dokter terlalu mahal untuk ditanggung Tuan Ghevin?"
"Apa aku terlihat tidak punya uang saat ini?" balas bertanya Ghevin dengan ekspresi setengah geli.
Shona tentu saja tak perlu menjawab pertanyaan yang jawabannya sudah terpampang nyata itu.
"Hari ini aku gak bisa menemanimu seharian, Sho." Ghevin meraih wallet-nya dari atas nakas. "Selama ini kamu di rumah terus, kan? Aku udah bilang Pak Jalu untuk menyupirimu ke mana kamu mau pergi hari ini. Uangnya ada di sini dan di sini."
Ghevin meletakkan dua kartu di atas nakas. Shona tidak terlalu bodoh untuk mengetahui kalau itu adalah kartu debit dan kartu kredit.
"Pake yang ini di mesin ATM kalau kamu butuh uang cash. Yang ini untuk transaksi nontunai. Pinnya sama, kosong tujuh kosong tujuh kosong empat."
Butuh beberapa detik sampai Shona menyadari kalau pin kedua kartu sakti itu sudah disetting Ghevin menurut tanggal lahirnya. Dia merasa buruk karena sama sekali tak tahu tanggal berapa Ghevin ulang tahun.
"Ada yang mau kamu katakan?" ujar Ghevin sambil mengenakan jam tangannya. "Mungkin makasih or something?"
"Mengapa kamu berani ngambil risiko dengan menikahiku? Bukankah kamu bisa dapat yang lebih baik dari hanya Shona?"
Ghevin tertegun. Sama sekali tidak menyangka akan mendapat pertanyaan serupa itu dari Shona.
"Aku belum bisa menjawabnya saat ini. Maaf." Pria itu lalu meraih jas dan beranjak. "Pergilah berjalan-jalan. Beli sesuatu buat dirimu dan bersenang-senang. Aku hanya menikahimu, bukan memenjarakanmu."
How sweet.
Setelah ini Shona akan mencari tahu lewat Bi Hasna, mana tua bangka yang disebut Ghevin sebagai Pak Jalu yang konon siap menyupirinya ke mana saja itu.
Nyatanya Shona tak perlu mencari tahu. Saat dia sudah cantik dan turun ke bawah, pria bernama Pak Jalu sudah menunggu di dasar tangga.
"Nona Sho, saya Jalu. Apa Nona Sho sudah siap berangkat?"
Orang bernama Jalu adalah pria menuju gaek yang menurut perkiraan Shona berusia sekiar 55 tahun, paling tua 57. Tampak kharismatik dan bersahabat.
Pertanyaan pertama yang diajukan Shona adalah, "Sudah berapa lama Pak Jalu menyupiri Ghevin Aditama Jansen?"
"Sejak Tuan Ghevin bayi."
"Berapa usia Pak Jalu saat itu?"
"Entahlah, mungkin sekitar dua tiga."
Shona menghitung cepat. Kalau saat ini usia Ghevin benar seperti yang diberitahukan Mbak Wuni dan Ibu Panti tempo hari, yakni 32 tahun, maka tebakannya tentang umur Pak Jalu benar-benar jitu.
"Umur Pak Jalu saat ini lima puluh lima tahun, benar?"
Pak jalu terkekeh. "Sepertinya kita akan mudah akrab, Nona Sho."
Shona tertawa senang. "Bagaimana kalau kita mencari tahu dengan pergi jalan-jalan berdua?"
"Dengan senang hati, Nona Sho."
Shona duduk di depan. Padahal sudah dilarang Pak jalu. Majikan tidak sepatutnya duduk sejajar dengan supir, begitu Pak Jalu beralasan saat dengan sopan meminta Shona pindah ke jok belakang.
"Aku bukan Tuan Ghevin yang perlu dihormati segitunya, Pak Jalu. Jadi aku akan duduk sesukaku di mana saja di dalam mobil ini."
Shona mampir di ATM, mengambil uang cash secukupnya karena khawatir nantinya dia akan butuh melakukan transaksi manual. Saat masuk mobil, dia sudah saja menyodorkan cup kopi yang dibelinya saat meninggalkan anjungan ATM kepada Pak Jalu.
"Ngopi dulu, Pak, biar gak ngantuk."
Pak jalu tak punya pilihan selain menerimanya.
"Pak jalu pernah ke salon?"
Pria tua di samping Shona batuk-batuk dan mobil sesaat jadi oleng. "Tidak pernah, Nona Sho."
"Kalau gitu, ayo kita ke salon."
What the?
Shona dengan kekeraskepalaannya berhasil menyeret Pak Jalu masuk salon. Pada pegawai salon yang bukan banci, dia minta agar rambut Pak Jalu dihitamkan kembali, wajahnya di-facial, dan meni pedi lengkap."
"Nona Sho, tolong jangan ...." Pak Jalu yang melas-melas sama sekali tidak menyelamatkannya dari dimenikur-pedikur.
"Ah, seharusnya kita ajak Bi Hasna juga ke sini, Pak."
Pak Jalu hanya diam pasrah.
Shona minta di-creambath rambutnya, perawatan kuku, wajah, dan pijat tubuh. Nyaris tiga jam kemudian setelah meninggalkan salon, dia dan Pak Jalu masuk mall.
Tadinya Shona ingin beli baju buat diri sendiri, tapi saat ingat kalau dalam lemari besar di kamarnya sudah terisi begitu banyak pakaian baru yang disiapkan Ghevin untuknya, gadis itu memutuskan untuk membeli barang-barang buat orang lain.
Orang lain itu adalah Pak Jalu, dan warga panti asuhan, tentu saja. Untuk Pak Jalu, Shona membelikan alat pijat otomatis. Katanya, "Buat bantu mijitin kalau Pak jalu pegal-pegal habis nyupir seharian."
Untuk warga panti, Shona harus keluar masuk banyak toko. Kartu kreditnya berkali-kali digesekkan. Pak Jalu sudah hampir tertimbun kantong belanjaan. Setelah memastikan semua orang di panti sudah dibelikan barang, kebanyakannya baju, Shona mengajak Pak Jalu makan siang di resto dalam mall.
Saat menyusuri lorong untuk menuju resto itulah, mata Shona terpaku pada etalase arloji. Pikirannya langsung tertuju pada Ghevin. Sebaiknya dia juga membelikan pria itu sesuatu. Meski secara teknis, Ghevin membelikan buat dirinya sendiri. Well, itu semua uang Ghevin, kan?
"Saya mau jam ini," tunjuk Shona pada jam tangan bermerek yang dipajang di dalam box mewah. "Bisa pakai kartu kredit?"
Pria pramuniaga mengangguk ramah. Transaksi berjalan lancar. Shona merasa bahagia saat menerima kantong belanjaan berlogo toko jam itu dari si pramuniaga. Kantong jam itu dijinjingnya sendiri, tidak diserahkan ke tangan Pak Jalu yang sudah overload.
"Makan yang lahap, Pak Jalu. Habis ini kita belum mau pulang, masih mau jalan lagi."
Shona meminta pelayan resto membungkuskan banyak menu. Dari olahan ikan sampai daging, dari menu kentang sampai pasta. Perkiraannya, mereka akan makan dengan anak-anak di panti. Semua belanjaan makanan itu dijinjing Shona dengan kepayahan.
Sampai di basement, Shona merasa tangannya tanggal. Pak Jalu merasa kasihan dan minta maaf karena tidak bisa menolong membawakan belanjaan makanan itu.
"Gak apa-apa, pak. Itu tangan Pak Jalu sendiri udah kelebihan muatan. Maafin aku juga, ya, Pak. Belanjanya kalap gini. Maklum aja, Pak, aku baru kali ini liat uang banyak."
Pak jalu terkekeh menanggapi keterusterangan majikan barunya.
"Kira-kira Tuan Ghevin bakalan ngamuk gak, ya?" tanya Shona.
"Nona Sho akan tahu sendiri nanti," jawab Pak Jalu misterius.
Ah, bodo amat. Semarah-marahnya Ghevin pun, Shona gak mungkin dibunuhnya, kan?
Shona menghibur diri sendiri.
"Let's go ke panti, Pak Jalu. Tiba-tiba aku jadi home sick pengen dibelai-belai Ibu Panti. Pak Jalu gak tahu, kan, betapa nikmatnya ndusel-ndusel di lemaknya Ibu Panti."
Di dalam mobil, supir dan majikan itu tertawa bersama.