Shona menemukan Ghevin tengah duduk di beranda bangunan utama panti asuhan. Merokok. Sebelumnya Shona tidak tahu kalau Ghevin juga seorang perokok. Anak-anak panti sudah tidur di bilik masing-masing, kelelahan dan bahagia.
Setelah tadi, saat bercengkerama bersama anak-anak, Shona menemukan sisi lain Ghevin Aditama Jansen yang manis dan terbuka, di beranda dengan siluet asap rokok dari mulut, kini Shona kembali menemukan sisi lain Ghevin. Misterius.
"Emm, Tuan Ghevin ...," panggil Shona saat sudah berada dekat dengan tempat Ghevin duduk.
Pria itu kaget. Saat menyadari kalau yang datang adalah Shona, dia buru-buru membuang rokoknya ke tanah.
"Ya?"
Shona mengikuti arah rokok Ghevin dilemparkan. "Tuan Ghevin gak perlu takut merokok di depanku."
"Aku merokok sewaktu-waktu. Enggak selalu," jujurnya.
Shona hanya menggangguk. Mengingat sejauh ini dia baru melihat Ghevin merokok sekali, bisa jadi ucapan pria itu benar. Shona berdeham. "Ibu meminta kita menginap."
Ghevin menatap Shona. "Terus?"
Shona sekilas terlihat tidak nyaman. "Masalahnya kamarku di sini sempit, dan dipannya kecil sekali."
"Aku bisa tidur di lantai."
Shona bengong. Ghevin? Yang super rich ini? Yang seumur hidupnya gak pernah susah? Mau bobo ganteng di lantai? Apa kata dunia? Eh, apa kata Ibu Panti? Bisa ditempeleng bolak balik Shona kalau sampai Ibu Panti tahu.
"Sebentar. Jadi maksudnya, Tuan Ghevin gak keberatan nginap di sini?"
"Aku bisa tidur di mana saja. Kalau memang diminta menginap di sini, ya udah, ayo."
Shona menggidikkan bahu. "Jangan kaget sama kondisi kamarnya." Dia lalu berbalik dan mendahului masuk.
Di belakang Shona, Ghevin mengekor dengan patuh.
"Omong-omong, makasih udah baik sama anak-anak. Mereka jelas sekali memuja Tuan Ghevin."
"Tapi mereka lebih memujamu."
Shona memutar bola mata. "Maaf kalau hari ini aku membelanjakan banyak uang. Semoga kamu paham, ini kali pertama dalam hidup aku diberi akses ke uang sebanyak itu. Jadi, aku kalap."
"Uangku uangmu juga," jawab Ghevin. Ghevin berdeham. "Kata Pak Jalu, kalian ke salon, tapi aku gak ngeliat ada yang berubah darimu."
Shona mendadak berhenti melangkah di koridor, membuatnya hampir ditubruk Ghevin. Cewek itu lantas mengibaskan rambut dengan centil dan sengaja dilebih-lebihkan. Sejumput rambutnya sampai mampir ke lubang hidung Ghevin.
"Wangi," puji Ghevin. "Kamu pakein minyak wangi ke rambut biar apa?"
Shona melotot. "Dih! Ini habis dikrimbat tauk!"
Ghevin tersenyum lebar. "Apa lagi?"
Shona lantas mengangkat tangan dan menggerak-gerakkan sepuluh jemari tangannya dengan gaya cacing kepanasan di depan wajah Ghevin.
"See?"
"Apaan?" tanya Ghevin bingung.
Shona berdecih. "Jariku, abis dimenikur. Kamu gak bisa liat bedanya?"
"Lampunya redup," kilah Ghevin. "Apa lagi?"
Shona mengulurkan sebelah lengan. "Coba sentuh," suruhnya.
Ghevin berdeham lalu menowel lengan Shona yang terulur padanya dengan ujung jari.
Shona memutar bola mata. "Sentuh yang benar!"
Ghevin berdeham lagi dan kini menyusuri telunjuknya di sepanjang lengan Shona.
"Gimana?"
"Lembut, kayak abis direndam softener."
Shona tertawa. "Jadi, apanya yang gak berubah?" Tak berharap pertanyaannya direspon, Shona balik badan dan melanjutkan langkah menuju kamar.
Kamar itu ternyata memang persis seperti yang dikatakan Shona, sempit dan dipannya juga kecil. Tanpa bicara, Shona merapikan satu-satunya bantal dan mengibaskan selimut sebelum dibentangkan rapi menutupi seluruh permukaan kasur tipis itu.
Setelah itu, Shona mengubek-ubek isi lemari kayu kecil di sudut kamar dan mengeluarkan sehelai selimut lain yang lebih tipis dari yang ada di kasur. Tanpa bicara dan tanpa memedulikan keberadaan Ghevin, selimut itu dibentangkan begitu saja di lantai.
Setelah itu, Shona balik lagi ke lemari. Tak lama dia sudah menjinjing sebuah bantal yang juga lebih tipis dari yang sudah ada di dipan. Bantal itu dicampakkannya di atas selimut.
"Tuan Ghevin silakan pake di dipannya."
"No, kamu pake dipannya, aku yang akan tidur di lantai," tolak Ghevin.
"Jangan keras kepala!"
"Jangan keras kepala juga!" balas Ghevin.
Shona berdecak kesal. "Ya udah. Jangan bilang aku gak nawarin buat tidur di dipan, ya!" Shona lalu membanting dirinya dengan kesal di atas dipan.
Ghevin menghela napas panjang. Tangannya lalu bergerak menuju kancing-kancing kemejanya. Dia bermaksud menanggalkan pakaian.
"Di sini dilarang tidur buka baju!" sembur Shona.
Gerakan tangan Ghevin yang hendak membuka kancing kemeja terhenti. "Tapi di sini panas dan gerah sekali."
"Tetap gak boleh buka baju."
"Oh, please ... yang benar saja!?" Ghevin tak peduli dan tetap melanjutkan membuka kancing-kancing kemejanya.
"Gak boleh buka baju!" sentak Shona lagi.
"Aku gak akan mendengarkanmu!"
Ghevin berhasil membuka kemejanya dan dilempar begitu saja ke lantai. Setelahnya dia menuju saklar, mematikan lampu lalu berbaring di tempat yang tadinya disiapkan Shona buat diri sendiri.
Dalam temaram kamar di atas dipan, Shona merasa lega karena Ghevin cuma buka baju.
Untuk waktu yang lama, keheningan malam hanya diisi ribut suara jangkrik di luar bangunan. Shona keslitan tidur. Padahal dulu dia bisa terlelap dengan mudah di atas dipan ini.
Anehnya, malam ini Shona tidak bisa terlelap denagn mudah. Apa karena hari-hari terakhir ini dia sudah terbiasa tidur di kasur empuk sambil ditemani aroma Ghevin yang enak?
Sial!
"Tuan Ghevin?" panggil Shona dengan suara pelan, setengah berharap akan mendapat respon dari suaminya yang berbaring di lantai keras.
"Ya, Sho?"
Shona mendapati dirinya senang karena Ghevin ternyata juga belum tidur. "Belum tidur?" tanyanya.
"Menurutmu?"
Well, tentu saja Ghevin belum tidur. Shona memang goblok menanyakan sesuatu yang sudah jelas.
"Di mana orang tua Tuan Ghevin sekarang?" tanya Shona setelah beberapa detik berlalu dalam keheningan.
Ghevin bisa membaca ke mana obrolan ini akan bermuara. Dia menunggu.
"Apa Tuan Ghevin udah tahu kalau orang tuaku meninggal dalam kecelakaan dua belas tahun lalu?"
Ghevin merinding.
"Mobil yang dikemudikan ayahku jatuh ke jurang." Ada duka yang ikut hadir dalam kalimat Shona.
Di tempatnya berbaring di atas lantai, Ghevin dicambuk perasaan bersalah mahadahsyat.
"Umurku saat itu enam tahun. Harusnya umur segitu ingatanku sudah baik, kan? Anehnya ... aku gak ingat sama sekali masa kecilku sebelum datang ke sini. Seolah enam tahun bersama ayah dan ibuku gak pernah ada. Tapi ... kadang ada kilasan kenangan di kepalaku ...."
Ghevin masih diam.
"Tentang ayah dan ibu. Kilasannya, aku berlari menuju seorang pria yang kuduga ayahku, masuk ke pelukannya sambil tertawa-tawa. Rasanya itu terjadi di pekarangan sebuah rumah. Ada wanita yang duduk di ayunan. Mungkin ibuku, karena kemudian aku juga berlari ke sana dan memeluknya ...."
Shona mendiamkan diri sejenak.
"Aku bahkan gak tahu di mana orang tuaku di makamkan ...."
"Amsterdam." Ghevin membuka suara untuk pertama kalinya. Rasanya dia tak sanggup mendengar lebih banyak luka dari mulut Shona.
"Eh, apa?" Shona tidak mengerti.
"Papa dan mamaku, mereka di Amsterdam. Kamu tadi menanyakan mereka."
"Oh. Iya." Shona mengerjap, mengusir kabut yang sudah muncul di sana. "Apa mereka tahu Tuan Ghevin menikah denganku?"
"Mereka tahu. Karena pernikahannya mendadak, mereka gak bisa terbang ke sini. Tapi mereka akan berkunjung begitu pekerjaan longgar."
"Apa mereka merestui?"
"Papaku berpikiran terbuka. Mama akan mendukung apa pun keputusanku. Jadi, ya, anggap saja mereka merestui."
"Bagaimana kalau tidak?"
"Maka kita gak butuh restu mereka kalau begitu."
Detik-detik kembali berlalu dalam keheningan, sampai Shona membuka mulut lagi. "Tuan Ghevin?"
"Ya?"
"Apa lantainya nyaman?"
"Sejujurnya, sangat gak nyaman, tapi membayangkan kamu yang tidur di sini, itu mematahkan hatiku."
Shona terdiam sesaat, menimbang-nimbang. "Apa Tuan Ghevin mau berbagi dipan denganku?"
Shona tidak tahu dari mana kalimat itu datang. Detik setelah terucap, Shona merutuki diri.
Di lantai, Ghevin baru saja bangkit dan duduk. Tanpa kata dia lalu berdiri dan bergerak naik ke atas dipan, berbaring di sebelah kiri Shona.
"Ah, di sini lebih baik," lirih Ghevin lalu enak saja membuka lengan kanannya, membuat kepala Shona sukses masuk ke bawah keteknya.
Aneh sekali. Detik ketika Ghevin sudah berbaring di dekatnya, kantuk segera saja menyergap Shona. Ternyata benar. Aroma Ghevin yang enak punya efek menidurkan.
Setengah sadar, Shona berbalik menghadap Ghevin yang berbaring menelentang. Masih setengah sadar juga ketika tangannya menggapai ke dada pria itu dan memeluknya.
"Goodnite, Sho ...," bisik Ghevin.
Tak ada jawaban. Hanya dengkur halus Shona yang terdengar.