Keheranan Shona segera terjawab begitu mereka tiba di Juanda International Airport. Dari gerbang masuk bandara saja saja, begitu Ghevin menurunkan kaca mobil dan memperlihatkan dirinya, mobil mereka langsung diarahkan ke jalur berbeda dengan mobil-mobil lain.
Ternyata, mobil Ghevin punya slot parkir sendiri di komplek bandara itu. Shona tak menemukan mobil lain di sekitar mereka saat Ghevin berhenti mengemudi dan mematikan mesin.
Dipeluknya pipi sebelah kiri. "Awww." Shona meringis perih. Ini bukan mimpi. Benar-benar nyata dan sekarang ia menjadi istri seorang Tuan Ghevin.
Meski seumpama ini mimpi, tak mau ia bangun dan kembali ke dunia nyata. Biar saja hidup di dunia mimpi, yang penting bisa merasakan kemewahan seperti yang ia rasakan sekarang.
"Ayo," ajak Ghevin sambil membuka pintu mobil.
Shona menurut tanpa banyak bicara. Dia mengekor di balik punggung lebar Ghevin menuju sebuah koridor. Di sana, sudah ada petugas berseragam bandara yang menanti, bersama dua orang pria bersetelan jas. Salah satunya terlihat familiar. Shona berusaha mengingat di mana dia pernah melihat salah satu pria bersetelan itu.
Tapi sepertinya otaknya telalu banyak menyimpan memory apa lagi sekarang sedang sibuk-sibuknya membuat semua yang dirasakan menjadi sebuah kenangan untuk hari selanjutnya.
"Kita mau ngapain sih di sana, Tuan?" tanya Shona sekali lagi.
"Tadi sudah aku jawab, mau diulangi lagi sampai berapa kali?"
"Kalau gak malas sih sampai seratus kali. Biar aku yakin kalau sekarang menjadi istri Tuan Ghevin si pengusaha kaya itu."
"Kamu tidak sedang bermimpi, Sho. Kamu memang istriku."
"Oke," jawab Shona singkat karena tidak tahu mau mengatakan apa lagi, yang jelas sekarang, ia mencoba memasukkan semua pengalamannya hari ini, siapa tahu nanti anak cucunya akan bertanya tentang itu, dan ia cukup menceritakan apa yang pernah dialaminya.
Mereka berhenti sejenak ketika salah satu petugas menyapa. Hingga Shona yang tidak siap dengan perhentian mendadak dari Ghevin menubruk punggung pria itu.
"Awwww." Shona mengelus keningnya. "Kalau mau berhenti kasih aba-aba kek," protesnya.
"Aku gak nyuruh kamu jalan tepat di belakangku, Sho." Ghevin tertawa kecil. "Sakit?"
"Gak. Enak. Jadi mau nabrak lagi. Tapi nabraknya pake mobil," ujarnya ketus.
"Selamat pagi, Tuan Ghevin. Pesawat anda sudah siap lepas landas," ujar petugas bandara itu.
"Trims, Kelan. Selamat bertugas, semoga harimu menyenangkan," balas Ghevin lalu begitu saja lanjut jalan dan melewati orang-orang itu.
Shona melakukan hal yang sama, mengekor di belakang Ghevin tanpa melambatkan langkah. Dari gelagat, sepertinya Ghevin sudah akrab dengan petugas bandara itu sampai tahu namanya.
Saat ujung mata Shona melirik petugas bernama Kelan, Shona merasa bodoh sendiri. Badge nama si petugas ternyata terpampang jelas di dada kirinya.
Shona mengekor Ghevin masuk koridor panjang. Di belakang mereka, dua pria bersetelan yang diyakini Shona sebagai pegawainya Ghevin ternyata ikut membuntuti. Masing-masing mereka menenteng koper entah berisi apa. Mungkin uang?
Tapi apa orang kaya sering membawa uang kemana-mana seperti ini? Dan sebanyak apa kira-kira uang yang dibawa Ghevin? Sepuluh juta? Dua puluh? Atau satu M? Waaah, ia membayangkan sebanyak apa yang satu M itu.
"Tuan Ghevin," panggil Shona sambil mempercepat langkah agar bisa menyamai langkah lebar pria itu.
"Hemm ...."
"Apa kita udah beli tiket?" tanyanya polos.
Shona seolah mendengar suara tawa tertahan nan samar dari sebelah belakang. Saat dia melirik, salah satu pria yang wajahnya familiar tampak baru saja membekap mulutnya sendiri.
"Erlangga, apa kita sudah beli tiket?" teriak Ghevin lantang, seolah dimaksudkan agar Shona yakin.
"Semuanya sudah diurus, Tuan," jawab pria bersetelan bernama Erlangga itu.
Erlangga?
Agaknya Shona mulai ingat di mana dia pernah melihat pria menuju paruh baya yang wajahnya familiar itu. Mereka bertemu di Hotel Ritz di hari pernikahan. Pria itulah yang memeriksa kesiapan pengantin wanita saat itu. Dan lelaki yang dijodohkan oleh
Ghevin menoleh Shona. "Udah tenang sekarang?" tanyanya. Ia melirik gadis di sebelah kanan agak belakang, terlihat Shona mengangguk.
Belum sempat Shona menjawab, koridor itu berakhir dan mendadak Shona menemukan dirinya berada di lapangan mahaluas. Sebuah pesawat kecil berdiri megah di depannya. Tangga cantik menyembul dari pintu pesawat yang terbuka.
Tahulah kini Shona maksud ucapan Ghevin yang mengatakan kalau dia tak perlu khawatir akan bertemu banyak orang dan banyak penumpang. Ternyata, mereka akan ke Bali dengan jet pribadi milik Ghevin Aditama Jansen.
Shona mau mimisan saja rasanya. Pingsan sekarang bisa tidak sih?
Di dasar tangga jet pribadi miliknya, Ghevin berhenti dan berbalik, tangan kanannya terulur pada Shona. "Biar gak jatuh," ujarnya.
Shona ragu-ragu ketika menempatkan tangan kirinya ke dalam genggaman tangan kanan Ghevin. Saat sudah menapaki anak tangga, ingatan Shona kembali ke saat dirinya mendaki undakan tangga beranda rumah Ghevin pertama kalinya. Saat itu dia sempat terjengkang.
Apakah sekarang Ghevin menuntunnya naik tangga pesawat karena juga teringat kejadian itu? Mendadak pipinya blushing.
Shona terperangah melihat keadaan kabin. Mewah sekali. Semua item tampak premium. Ada empat seat yang saling berhadapan, dipisahkan meja kecil tanpa isi. Dua di kiri dan dua di kanan.
"Kita duduk di kiri," beri tahu Ghevin sambil menuntun Shona ke seat.
Sementara Shona sibuk melirik ke sana ke mari sambil duduk di seat, Ghevin meninggalkannya menuju bagian belakang kabin mini jet itu. Dua orang pegawai Ghevin, yang salah satunya sudah diketahui bernama Erlangga, masuk dan langsung menempati seat di sebelah kanan. Sedangkan Shona di sebelah kiri.
Shona menatap Erlangga, "Maaf, Pak Erlangga, apa benar kita akan pergi ke Bali?" tanyanya setengah berbisik. Memastikan lagi meski tadi sudah bertanya kepada Ghevin.
Erlangga berdeham, "Benar, Nona Sho."
"Oh."
"Nona Sho sudah pernah ke sana?" tanya Erlangga. Dilihatnya Nonanya yang tampak bingung dan sedikit shock.
Shona menggeleng. "Apa Tuan Ghevin ke sana untuk mengurus pembebasan lahan?" tanyanya lagi.
Erlangga sempat mengernyit sebelum menggangguk. "Mengapa Nona Sho menanyakannya?"
"Karena dia tidak percaya padaku, Erlangga." Ghevin teriak dari sebelahnya. Meski hanya berjarak kurang dari dua meter, tapi tetap saja Ghevin teriak karena gadis itu terus saja bertanya. Bahkan sekarang Erlangga juga menjadi target pertanyaannya.
Shona kaku di seat-nya saat Ghevin mendadak muncul. Ternyata Ghevin mendengar bisik-bisiknya saat bertanya pada Erlangga. Pria itu ternyata sudah berganti pakaian. Ghevin sepertinya punya lemari pakaian juga di jet. Benar-benar tidak adil. Shona menunduk pada pakaiannya sendiri yang hanya berupa baju tua yang diperolehnya dari lemari panti kemarin sore.
"Bukan tidak percaya, Tuan. Hanya memastikan saja." Ia meringis, menatap Ghevin yang terlihat kesal.