"Di sebelah istriku."
Kalimat itu terulang dengan sendirinya di dalam pikiran Shona.
Mendengar itu, gemetaran shona makin kentara. Di kepalanya mulai tersusun skenario yang memungkinkan dirinya untuk lolos dari kemungkinan harus skidipapap swadikap biskuit ahoy dengan Ghevin Aditaman Jansen malam ini.
No! Dia harus menghilangkan pikiran tak penting inid dari otaknya. Harus dan harus.
"Sebaiknya kamu mandi, Shona."
Semua mawar di lantai sudah berada dalam buntalan jas Ghevin, kini dia sedang dalam perjalanan mengumpulkan kelopak-kelopak mawar di atas ranjang.
"Baju-bajuku masih di panti, Tuan Ghevin, sebaiknya aku pulang ke sana dulu." Skenario pertama, status on going.
Ghevin tersenyum, seolah bisa membaca pikiran gadis di depannya. "Sho, kamu lihat lemari di sana? Semua pakaian di dalamnya adalah milikmu."
Skenario pertama: FAILED.
Berjalan sambil mengentak-entakkan kaki, Shona menuju kamar mandi, tapi tak lupa ia melihat apa yang ada di dalam almari seperti yang dikatakan Ghevin.
"Gila! Butik pindah ke sini." Shona melotot. Ia seperti masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Semua pakaian bermacam-macam model ada di dalam almari Ghevin yang jumlahlah lebih dari lima.
Belum lagi sekeliling ruangan itu penuh dengan pernak pernik wanita, mulai dari tas, make up dan masih banyak lagi. Di depan ruangan yang dimasuki Shona tertulis wardrobe room.
"Seperti Cinderella beneran aku," ujarnya pada diri sendiri.
Shona terlebih dulu duduk di depan meja rias, ia membersihkan make up yang menempel di wajahnya juga melepas gaun panjang yang dipakainya tadi untuk pernikahan.
"Kok rasanya kayak mimpi, ya." Ia menepuk pipinya. "Aww. Gila, ini beneran, aku nikah sama om-om bule itu." Shona melirik Ghevin yang masih sibuk memasukkan mawar dari atas ranjang ke dalam plastik.
Setelah memastikan sisa make up di wajahnya bersih, Shona bergegas masuk ke kamar mandi. Lagi lagi ia dibuat tercengang.
"Ini kamar mandi mewah banget, gila." Shona menyentuh bathup berwarna keemasan yang ada di dalam kamar mandi, ia juga melihat rak sabun yang sudah penuh dengan berbagai macam sabun mandi dari yang wanginya lembut sampai mewah.
Shona menyalakan shower, kemudian air hangat meluncur dan membasahi seluruh tubuhnya.
Ia selesai mandi dan langsung mengeringkan rambutnya. Sedangkan di belakangnya, Ghevin bersiap untuk menggantikannya masuk ke kamar mandi.
"Jangan lupa setelah ini kita turun ke lantai bawah untuk makan malam, Sho. Tapi tunggu sampai aku selesai mandi." Ghevin meraih jubah mandi, kemudian berjalan santai ke kamar mandi hanya dengan menggunakan celana kolor selutut.
Shona tidak sengaja melihat, ia sejak tadi memang menghindari untuk berkontak mata maupun fisik dengan Ghevin, takut jika jantungnya bertambah tak karuan karena melihat betapa sempurnanya om-om bule yang sekarang sudah sah menjadi suaminya tersebut.
Setelah Ghevin menghilang di balik pintu kamar mandi, Shona menghela napas lega. Akhirnya ia bisa melihat seluruh ruangan tanpa was-was akan beradu pandang dengan mata tajam milik lelaki yang beberapa jam lalu mengucapkan ikrar di depan penghulu.
"Sudah siap, Sho?" tanya Ghevin ketika ia sudah selesai mandi dan hanya memakai handuk melilit pinggang.
Shona menutup mata, menghindari tatapan dan kerlingan menggoda dari sang suami tampannya. "Udah.Tuan Ghevin segera bersiap, aku mau turun duluan."
"Memang kamu tahu di mana ruang makan?" tanya Ghevin seolah menyadarkan Shona kalau wanita itu belum sama sekali tahu ruangan di sekitar rumah yang mereka tempati.
Melihat Shona kebingungan, Ghevin tersenyum miring. "Oke, aku ganti baju dulu, dan kita kan turun bersama-sama."
Makan malam di mansion Ghevin Aditama Jansen benar-benar terasa seolah berlangsung di dalam mimpi. Mewah dan rich. Shona untuk pertama kalinya merasa jadi nyonya di meja makan besar yang hanya ada dia dan Ghevin.
"Makanan ini tidak bisa menghabiskan dirinya sendiri, Sho. Sebaiknya kamu mulai makan. Bobotmu seringan kapas saat aku menggendongmu tadi. Apa di panti kamu gak makan dengan baik?"
Shona mendesah. "Kamu gak tahu apa-apa tentang hidup di panti, Tuan Ghevin, jadi sebaiknya tutup mulutmu."
Alih-alih tersinggung dan marah, Ghevin malah suka semangat dan sinisme Shona dalam hal membantahnya. Dalam diam diamatinya Shona mengisi piring dengan menu olahan daging, lantas mulai bergelut dengan sendok dan garpu.
"Ah!" Shona mendesah. "Kenapa potongan daging ini besar sekali? Kenapa gak dipotong kecil-kecil saja?"
"Itu steik, Sho. Potongannya memang segitu. Sini, biar kubantu."
Ghevin beranjak dari kursinya di seberang Shona lantas memutari setengah meja untuk tiba di sisi gadis itu.
"Potong dulu dagingnya dengan pisau ini. Untuk makan steik, kamu gak bisa pake sendok dan garpu, tapi pisau dan garpu."
Luwes sekali, Ghevin lantas mengiris-iris seluruh daging di piring Shona menjadi potongan kecil.
"Lihat, mudah, kan? Selanjutnya hanya tinggal ditusuk garpu, celup ke saus dan makan."
Ghevin memeragakan semua itu dan menyodorkan tangannya yang memegang garpu ke depan mulut Shona, bermaksud menyuapi gadis itu.
Shona mendesis kayak ular. "Mau makan aja repotnya minta ampun." Lalu enteng saja dia mencomot irisan daging langsung dengan tangan, mencelupkan ke mangkuk berisi saus steik dan melahapnya.
Tingkah Shona membuat Ghevin sadar kalau si gadis sedang menolak disuapi. Dia lantas meletakkan garpu kembali ke piring dan memutari setengah meja lagi untuk tiba di kursinya.
Skenario kedua mulai dilancarkan Shona. Dia bertahan di ruang menonton sampai jam tidur tiba. Sialnya, Ghevin ikut bertahan menonton juga di sampingnya.
Fokus Shona tentu saja tidak ke layar televisi mahalebar itu, tapi ke Ghevin. Matanya boleh menatap TV, tapi pikirannya tepat tertuju ke pria di sebelahnya yang seolah sengaja memamerkan kebagusan badan hanya dengan mengenakan celana sedengkul.
Saat Ghevin tiba-tiba menguap lebar, Shona langsung menyambar kesempatan. "Kalau Tuan Ghevin udah ngantuk, gak apa-apa silakan tidur duluan."
Ghevin menoleh istrinya. "Kamu juga terlihat lelah dan mengantuk, Sho. Sebaiknya kamu juga pergi tidur."
"Aku masih mau menonton."
"Kalau begitu aku juga mau terus menonton saja."
Skenario kedua menuju failed, sepertinya.
Tepat jam dua belas malam, Shona justru terkulai lebih dulu. Betapa pun gadis itu berusaha agar tidak kontak fisik dengan Ghevin, nyatanya saat tertidur dia malah condong kearah pundak Ghevin.
Saat kepala Shona jatuh di bahu kirinya, Ghevin menyeringai sendiri. Enak saja dia lantas mengangkat lengan kiri dan memiringkan posisi, membuat sosok mungil Shona masuk tepat ke dalam dekapnya.
"Mungkin belum, Shona ... tapi perlahan-lahan akan kubuat kamu jatuh cinta padaku. Asal kamu tahu, aku orang yang sabar. Mungkin tidak malam ini, tapi cepat atau lambat, malam pertama kita sebagai suami dan istri pasti akan tiba ...."
Ringan saja, ketika Ghevin mengangkat tubuh Shona lalu digendongnya menuju kamar.