Mengapa dipan tempat tidurnya terasa berbeda sekali hari ini? Yang ini enak pake banget. Di mana kasur tipis yang biasa jadi alas tidurnya?
Shona menggeliat, menikmati dipan tidurnya yang mendadak berubah enak hari ini. Mukanya menyundul-nyundul, ndusel-ndusel merasakan enaknya kasur, sampai ....
Kok kayak ada ijuk, ya?
Eh, tapi ijuknya kok wangi, ya?
Kayak wangi ... eh, wangi siapa, ya?
Kayak wangi laki.
Eh, ini kayak wanginya Tuan Ghevin, deh!
Shona sontak membelalakkan mata lebar-lebar.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Ini bukan kamarnya di panti. Ini kamar yang sangat berbeda. Matanya makin dibelalakkan. Detik berikutnya Shona sadar di mana semua bagian tubuhnya berada.
Dia tepat menelungkup di atas tubuh Ghevin Aditama Jansen. Entah sejak kapan dia sudah merangkak ke atas pria itu. Ijuk wangi yang tadi dibaui dan disundul-sundulnya adalah dada Ghevin yang berbulu tipis.
Astaganaga!
Shona sontak bangun. Sialnya dia malah bertumpu tangan untuk bangkit di tempat yang tidak semestinya. Tangan kanannya memang bertumpu di kasur, tapi tangan kirinya tidak. Tangan sialan itu malah bertumpu di bagian bawah perut Ghevin. Iya, tepat di atas perkakasnya Ghevin.
Menahan diri untuk tidak menjerit, Shona mementalkan tubuhnya sampai berguling jauh menuju sisi tempat tidur. Syukurlah dia tidak jatuh bergedebukan ke lantai. Diperhatikannya Ghevin, pria itu masih tidur tenang, entah sungguhan masih tidur atau pura-pura tidur.
Apa yang terjadi tadi malam? Seingat Shona dia sedang menonton TV yang tidak benar-benar ditonton. Bagaimana dia bisa terbangun di kamar di atas tubuh Ghevin yang berotot itu?
Apakah ... apakah tadi malam Ghevin mengapa-apakan dirinya?
Shona dihinggapi kengerian.
Tergesa-gesa dia memeriksa dirinya, lalu merasa lega karena tidak menemukan dan merasakan keanehan apa pun pada tubuhnya. Sepertinya tadi malam dia memang hanya dibiarkan tidur, tidak diapa-apakan pria itu.
Shona menuju kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi. Rambutnya disanggul tinggi-tinggi. Masih mengenakan piyama berbahan sutra super lembut, dia keluar kamar dan mencari-cari keberadaan dapur.
"Oh, Nona Sho sudah bangun?"
Shona tersenyum kepada parapelayan yang ternyata sudah lebih dulu ada di dapur. Sedikitnya ada 3 pelayan yang tengah menyiapkan sarapan.
"Saya Hasna, Nona Sho boleh manggil Bi Hasna. Ini Suri dan Laila yang bertanggung jawab mengurus dapur," berkata Bi Hasna memperkenalkan diri dan bawahannya.
Shona tersenyum, tidak tahu harus berkata apa. Tadinya dia mengira tidak akan menemukan siapa-siapa di dapur, jadi dia bebas memasak sesuka hati. Sepertinya dia lupa kalau Ghevin adalah konglongmerat, pria itu pastilah punya pelayan yang mengurus dapur dan setiap ruang di rumahnya nan megah.
"Apa Tuan Ghevin masih tidur?" tanya Bi Hasna yang tengah memutilasi brokoli.
"Sepertinya masih," jawab Shona lalu menjangkau pisau untuk membantu Bi Hasna mengiris bahan.
"Eh, Nona Sho, jangan ... nanti Bibi didamprat Tuan Ghevin!" larang Bi Hasna serius. "Nona Sho seharusnya gak di dapur."
Shona terbengong-bengong sendiri. Yang benar saja!?
"Apa lagi yang dilarang Tuan Ghevin untuk aku lakukan, Bi?" tanya Shona penasaran.
"Semua pekerjaan yang jadi tugas pelayan, Nona Sho dilarang melakukan. Tuan Ghevin mau Nona Sho berleha-leha saja. Gak boleh capek, jangan lelah, harus senang dan bahagia tinggal di rumah ini."
Bujubuneng. Enak benar!
Kemarin Shona hanyalah upik abu di panti asuhan, mendadak hari ini dia jadi Ratu Mesir Cleopatra.
Tapi Shona sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah saat di panti. Mengekangnya dari melakukan semua itu sama saja dengan menghilangkan passion dan identitasnya. Ini tidak boleh dibiarkan.
"Bibi, sebentar, ya. Aku mau balik ke kamar dan mengurus sesuatu."
Begitu saja, Shona berderap ke kamar, membuka pintu dengan kasar dan mengagetkan Ghevin di atas ranjang.
"Apa-apaan!" serunya dengan suara melengking.
Sebagai catatan, Shona sangat mahir mengeluarkan suara melengking. Dia sering melakukannya di panti saat mengatur anak-anak yang lebih muda darinya.
Ghevin yang baru bangun menatap Shona dengan bingung, lalu buka mulut. "Sepertinya tadi malam aku ketindihan," ujarnya sambil meregangkan badan. "Terus di sini kayak ada yang grepe-grepein," lanjut Ghevin sambil menunduk ke bawah perutnya.
Shona jadi merah mukanya.
"Eh, barusan kamu kenapa? Kok, teriak-teriak? Lapar, ya?" tanya Ghevin lantas duduk di tepi ranjang dengan kaki menapak ke lantai.
"Aku mau diberi akses melakukan apa pun semauku di rumah ini," kata Shona mantap.
"Seperti?"
"Memasak. Mencuci. Menyetrika. Mengepel. Apa pun!"
"Sudah ada pelayan yang melakukan itu semua."
"Oh, ya. Kalau begitu buat apa Tuan Ghevin menikahiku?" Detik setelah pertanyaan itu meluncur, Shona sadar kalau telah mengajukan pertanyaan yang salah, apalagi setelah jawaban Ghevin meluncur mulus.
"Untuk mengandung dan membesarkan anak-anakku, of course."
Deg!
Melihat Shona kikuk dan mati kutu, Ghevin menyeringai penuh kemenangan.
"Sho, aku paham kalau kamu takut padaku. Aku paham kalau kamu belum menginginkanku. Kamu masih sangat muda, sedang aku hampir paruh baya. It's okay. Aku gak akan memaksamu untuk mau menerimaku seutuhnya sebagai suami. Kamu juga gak harus melayaniku sebagai suami di kamar ini kalau kamu belum siap. Yang perlu kamu tahu, aku akan sabar menunggu. Semua yang kuinginkan adalah melihatmu bahagia tinggal di rumah ini. Itu saja."
Shona tidak menyangka akan mendengar semua itu dari mulut Ghevin Aditama Jansen.
"Kalau bahagiamu dengan memasak, mencuci dan sebagainya, deal ... kamu boleh melakukan itu. Silakan bilang sama Bi Hasna, ultimatmku diganti, Nona Sho boleh melakukan apa saja sesuka hatinya di rumah ini. Happy?" Ghevin seperti melihat kilatan kegirangan seorang bocah di mata Shona.
Di tempatnya, Shona memang merasa menang dan girang. Dia memberanikan diri untuk mencoba peruntungannya yang lain.
"Aku juga mau lanjut kuliah. Kata Mbak Wuni dan Ibu Panti, Tuan Ghevin akan mengijikanku melanjutkan sekolah setelah menikah. Sekarang aku menuntut itu."
"Deal. Apa lagi?"
"Aku mau kita tidur di kamar berbeda."
"Not deal!" jawab Ghevin tegas.
Sial.
"Oke, ranjang berbeda kalau gitu." Shona masih mencoba peruntungannya.
"Still not deal!"
Shona menggeram. Tadi pagi dia terbangun di atas tubuh Ghevin, kalau nanti malam dan malam-malam selanjutnya mereka tetap tidur seranjang, bisa saja besoknya dia terbangun dengan kondisi hamil anak Ghevin.
Hamil. Membesarkan anak. Hamil lagi. Membesarkan anak lagi. Punya cucu. Keriput. Mati.
Duh!
"Hei ...." Ghevin membuyarkan pikiran seram Shona. "Bagaimana kalau ... tetap seranjang tapi dengan guling di tengah-tengah?" tawar Ghevin.
Well, itu lebih baik dari pada seranjang dan tanpa guling between us, pikir Shona. "Deal!" ujarnya. "Aku akan mempersiapkan setelan kerja Tuan Ghevin kalau begitu."
"Oh, aku cuti."
"Eh?"
"Apa kata orang kantor kalau aku sudah bekerja ketika aku baru nikah kemarin?"
Shona bengong.
"Aku cuti bulan madu selama dua minggu, Sho. Jadi selama empat belas hari terhitung dari kemarin, kamu harus tahan-tahan karena aku akan sering berada di sekitarmu. Maaf ...."
Sialan!
"Menurutmu, apa gak sebaiknya kita memesan akomodasi VIP ke Cappadocia dan benar-benar berbulan madu? Skip bagian di mana kita harus bercinta, I can deal with it." Sepertinya Ghevin memang sedang menikmati menggoda Shona.
Shona tentu saja pias mukanya. Membayangkan pergi ke negara asing di mana hanya ada Ghevin manusia yang dikenalnya, benar-benar bukan ide bagus. Terutama karena dia sedang bertahan untuk tidak sering-sering berkontak fisik dengan pria itu.
"Kupikir, aku akan ke dapur dan menyiapkan sarapanmu."
Ghevin tertawa. "Yah, lakukan apa saja untuk menghidariku, Shona. Tapi jangan abaikan fakta kalau sekarang kamu sudah sah menjadi milikku di mata hukum. Buku nikah kita di sana masih baru dan utuh."
Oh, fakta sekali. Shona benci mengakui kalau apa yang dikatakan Ghevin adalah benar. Dalam perjalanan menuju dapur, dia mulai berpikir untuk menaburi racun ke piring sarapan Ghevin nanti.
Tapi ... kalau Ghevin mati, dia jadi janda dong?
Setidaksukanya Shona pada Ghevin, dia lebih horror lagi kalau sampai dicap sebagai janda kembang.
"Bagaimana Nona Sho, sudah selesai mengurus sesuatu di kamar?" tanya Bi Hasna sambil tersenyum misterius.
"Kata Tuan Ghevin, Nona Sho boleh melakukan apa saja sesuka hatinya di rumah ini." Shona tersenyum penuh kemenangan pada Bi Hasna. "Mulai saat ini, kalau Bi Hasna dan pelayan yang lain kena damprat Tuan Ghevin, silakan lapor sama aku, biar Tuan Ghevinnya kudamprat balik."
"Oh, akhirnya ... Dewi Penyelamat telah tiba di rumah ini," ujar Bi Hasna lalu tertawa bersama-sama majikannya yang baru.