Chereads / Nona Cantik Milik Tuan / Chapter 8 - Permintaan Maaf Shona

Chapter 8 - Permintaan Maaf Shona

Shona ingat hampir semua detil masa kecilnya di panti. 

Hari pertama di panti asuhan, dia menangis seharian. Umurnya 6 tahun dan baru dipisahkan selamanya dari kasih sayang orang tua. Malah aneh kalau dia tidak menangis.

Semua asing. Semua baru. Semua tidak sejalan dengan maunya.

Rawuni dan Ibu Panti pastilah manusia paling sabar yang pernah wujud di muka Bumi. Dengan penuh kasih, tangan mereka menghapus setiap tetas air mata Shona. Dengan lembut, mereka menghalau selapis demi selapis awan duka dari dunia Shona, memberi gadis itu mentari kegembiraan baru. 

Tidak sempurna memang, tapi keharusan berbagi segalanya di panti asuhan kecil itu, perlahan-lahan menempa Shona jadi dirinya yang sekarang.

Shona kecil adalah bocah pintar, dan sedikit badung. Kombinasi itu segera saja menjadikan Shona anak emas Ibu Panti. Saat memasuki masa SMA, pada suatu hari Shona terusik untuk menyegarkan kembali ingatannya, akan siapa dirinya.

Dia tahu kalau orang tuanya mengalami kecelakan mobil, dan bahwa kemudian dia dimasukkan ke panti asuhan karena tidak ada keluarga yang mengklaim untuk mengurusnya. Namun saat usianya remaja itu, keingintahuan besar tentang latar belakang dirinya sebelum terbangun dan menjalani hidup di panti asuhan, mengusik rasa ingin tahunya lebih kuat dari yang sudah-sudah.

Jadi, suatu hari dia menyergap Ibu Panti yang tengah meneliti buku data donatur.

"Oh, Shona anakku ... apa yang bisa Ibu katakan?" 

Ibu Panti terlihat sedih saat Shona mengulik terlalu jauh tentang latar belakang keluarganya. Dia menyesal menunjukkan Shona surat kabar yang memuat berita kecelakan tragis orang tuanya.

"Dilihat dari pemberitaan koran ini, kecelakaan mobil ... sepertinya ayah dan ibuku tidak terlalu miskin, Bu. Bagaimana bisa aku malah hidup di panti? Maaf, bukan berarti aku tidak bahagia di sini. Aku bersyukur hidup di sini, mengenal Ibu yang sudah merawat dan membesarkanku dengan penuh kasih dan sayang, tapi ... aku hanya penasaran ... orang tuaku pasti punya kerabat, kan?"

Ibu panti menerawang plavon sebelum menjawab. "Terus terang, Ibu gak tahu, Sho. Pria yang membawamu ke sini mengaku sebagai kerabat jauh orang tuamu, dan dia hidup pas-pasan bersama lima anak. Mustahil menanggung satu anak lagi. Jadi-"

"Kerabat jauh?" potong Shona.

Ibu Panti mengangguk.

"Bagaimana dengan ...." Shona ragu-ragu sebelum meneruskan. "Maaf, peninggalan orang tuaku? Orang-orang yang punya mobil seharusnya punya harta, kan?" Shona sadar kalau saat itu dirinya terdengar materialistis sekali. Namun peduli  amat, dia sedang menggali latar belakangnya.

Ibu Panti mengangkat bahu. "Bisa saja itu mobil sewaan, kan?"

Shona tak bisa membantah. Berita di surat kabar pun tidak menyebutkan apa-apa tentang status mobil itu, apalagi perihal harta benda si korban kecelakaan. Itu hanya berita kecelakaan biasa, tidak melibatkan orang penting pula. Dimuatnya pun hanya mengambil bagian pojok halaman, bukan headline berita utama.

"Hei, kamu sedang melamunkanku?"

Ingatan Shona dibuyarkan aroma Ghevin. Ah, menyebalkan sekali. Shona menoleh dan menemukan pria berkualitas itu sudah berdiri di sebelahnya, gelas berisi jus di tangan, dan tanpa baju.

Mengapa dia doyan sekali pamer badan, sih? Apa dia berharap aku akan khilaf dan mau enak-enak dengannya? Shona membatin dengan jengkel. Makin jengkel saat enak saja Ghevin mendudukkan diri di kursi panjang tempatnya bersantai di tepi kolam siang ini.

"Di sana ada kursi lain, Tuan Ghevin. Mengapa kamu malah berdesakan di sini?"

Ghevin tidak menanggapi. "Tadi kamu sedang melamunkan apa?" tanyanya.

"Apa kamu gak ada pekerjaan lain untuk dilakukan?"

"Aku sedang cuti, remember?"

Shona memutar bola mata.

"Kamu sedang memikirkan apa?"

"Tuan gak pantang menyerah, huh?"

Ghevin menggeleng mantap. "Aku orangnya berkemauan keras."

"Baiklah, jika ini bisa memuaskan Tuan. Aku hanya memikirkan masa kecilku di panti."

Entah perasaan Shona saja atau memang sungguhan ekspresi Ghevin Aditama Jansen mendadak berubah saat mendengar jawaban itu.

"Oh."

Respon singkat Ghevin membuat Shona bingung. "Ada apa dengan wajah itu?" tanya Shona sambil menggerakkan tangan di sekitar wajah sendiri.

Ghevin menggeleng. "Gak ada. Sebaiknya aku berenang saja. Mungkin bisa mengalihkan perhatianku dari memikirkan istriku yang menolak enak-enak denganku ...."

Duh!

Nyes sekali. Shona merasa ditohok.

Di sebelahnya Ghevin bangkit dari duduk dan sekali membuat gerakan pria itu sudah melontarkan dirinya ke dalam kolam.

Byuuurrr!

Air kolam yang ditimpa sosok tinggi besar Ghevin menyembur hingga ke kaki Shona. Gadis itu sedang memikirkan perkataan Ghevin. Tentang istrinya yang menolak melayani dirinya dalam urusan ranjang. 

Pandangan Shona memperhatikan Ghevin yang tengah melintasi permukaan kolam bolak balik, tanpa jeda untuk bernapas. Paru-parunya pasti sehat sekali.

Pria ini bukan orang sembarangan, Sho. Look at him! Dia kaya. Dia tampan. Badannya bagus bak atlet. Di luar sana pasti banyak wanita yang bersedia memuja kesempurnaannya, bahkan jadi budak untuk memuaskannya. Tapi dia malah memilihmu. Dia memilih menjebak diri bersama upik abu di saat dia bisa bebas memilih di antara kumpulan bidadari.

Kemudian apa yang kamu lakukan?

Iya, benar sekali ... kamu mengabaikannya. Kamu menolaknya. Kamu tidak menginginkannya.

Shona sampai terjengkang gara-gara dihajar kata hatinya sendiri, secara beruntun.

Tapi mau bagaimana lagi? Shona bukannya tidak terpesona pada kesempurnaan Ghevin Aditama Jansen, sejujurnya dia terpesona. Hanya saja semua ini terlalu sat set sat set buat Shona. Dia belum siap. Gadis itu butuh waktu untuk menyerahkan diri seutuhnya untuh pria kaya ini.

Well, kalau begitu, Shona Jefika, kamu berutang maaf pada model celana dalam itu.

Model ... siapa?

Model celana dalam, Ghevin. Lihat saja di sana!

Shona mengalihkan semua perhatian ke kolam. Sial. Di tepi kolam, Ghevin baru saja mendorong dirinya keluar dari air. Otot-ototnya terekspos semua, termasuk bagian bawah pinggangnya  yang hanya tertutup boxer basah.

Shona jengah. Ditariknya handuk lebar yang jadi alas tempat duduk dan dibawa menuju Ghevin.

"Oh, makasih. Tadinya kupikir kamu mau ikut berenang," ujar Ghevin sambil menerima handuk.

"Aku gak bisa berenang, Tuan Ghevin. Aku besar di panti asuhan, bukan di kastil para puteri."

"Aku penasaran, dari mana kamu belajar semua sinisme itu?"

"Mudah sekali. Saat kamu gak punya uang jajan di sekolah, kamu akan mendapati dirimu jadi sering ke perpustakaan saat jam istirahat."

Ghevin mengangguk-angguk mengerti. "Kutu buku, huh!" ujarnya. "Sepertinya kapan-kapan aku harus mengajak istriku  ke toko buku."

Shona tersenyum. Tentu saja itu tawaran yang tidak akan ditolaknya. "Oh, Tuan Ghevin, sebelum aku lupa, aku ingin meminta maaf padamu ...."

Ghevin menunggu.

"Aku ... ah, gimana, sih, cara bilangnya ...." Shona menggaruk pipi.

"Tinggal bacotin aja, kan?" tukas Ghevin. "Kamu ada salah apa memangnya?"

"Karena ... karena ...." Shona menggigit bibir sekilas. 

"Karena?"

"Karena itu ...."

Alis bagus Ghevin bertaut. "Itu apaan? Kamu kalau ngomong yang jelas!"

"Karena gak ngelayani Tuan Ghevin di kasur!" sentak Shona jengkel.

Ghevin tertawa terbahak-bahak. "Ngomong ngewe aja susah."

"Heh! Itu mulut apa lubang kakus? Jorok amat!" Shona memberengut.

"Coba sini dicicip sendiri, ini mulut atau apa."

Jawaban Ghevin membuat Shona kaku. Gadis itu beringsut kembali ke kursi santainya. Ghevin beranjak dari tepi kolam, melilitkan handuk ke pinggul lalu meraih sisa jusnya.

"Kapan-kapan aku akan mengajari berenang, Sho."

"Gak usah repot-repot. Kalau harus diajari kamu, aku lebih mending gak bisa berenang seumur hidup."

"Padahal baru sedetik tadi kamu minta maaf karena belum bisa ngewe sama aku."

Hadeh!