Di tempat berbeda, Shona tengah terpukau pada pantulan dirinya sendiri. Gaun berwarna pucat yang melekat di tubuh membuatnya seolah menjelma jadi orang berbeda.
Tidak. Sosok cantik di dalam cermin itu tidak mungkin dirinya.
Shona menyentuh pipi, mencubitnya. Sosok di dalam cermin melakukan hal yang sama.
"Awww!" Dielusnya pipi yang kemerahan bekas cubitan.
Ini bukan mimpi. Semua ini nyata! Ia akan menikah dengan pria yang baru pertama ditemuinya. Aneh sekali!
Meski banyak yang mengatakan kisahnya seperti Cinderella versi nyata, tapi ia merasa tidak demikian.
Cinderella dan pangeran saling mencintai satu sama lain, sedangkan dirinya? Melihat calon suami yang kata orang tampan tembus langit tujuh saja baru sekali.
Yeah, meski memang diakuinya bahwa Ghevin Aditama Jansen setampan yang orang kata.
Gadis itu menghela udara banyak-banyak. Seketika ia teringat kedua orang tuanya yang sudah tiada, direnggut kecelakaan tunggal dua belas tahun yang lalu. Kecelakaan tunggal, begitulah yang dikatakan orang-orang padanya. Lagipula, saat itu dia baru enam tahun, ia akan percaya apa saja yang dikatakan orang-orang padanya.
"Ayah, Ibu ... kuharap saat ini kalian ada di sini ...."
Setitik air bergulir menjauhi ujung mata. Syukurlah make up-nya dari brand ternama, diaplikasikan oleh MUA yang sudah paten, pastilah tidak mudah disingkirkan oleh setitik air mata saja.
"Sho ...."
Shona menoleh dari cermin ke ambang pintu ruangan hotel tempatnya dipermak. Rawuni berdiri di sana, sudah di-make up juga dan terlihat cantik meski dibalik dandanan itu dia masihlah perawan tua kesepian. Dalam hati diam-diam Shona berdoa Rawuni akan bertemu jodohnya hari ini. Tidak perlu muluk-muluk harus pria kaya, mungkin tukang ledeng langganan hotel pun sudah layak.
Kalau tidak bertemu jodohnya hari ini, di saat penampilan Rawuni sedang dalam mode paling mentereng, maka sudah dipastikan tak ada kesempatan lain baginya untuk bertemu jodoh.
"Akadnya akan segera dimulai. Sebaiknya kamu bergegas," ujar Rawuni. Dia lalu menelan ludah dengan takjub. "Kamu cantik sekali," desisnya setengah iri.
"Apakah masih boleh aku berdoa kalau ini tidak akan terjadi, Mbak?" Shona menoleh, menatap wajah wanita yang tujuh belas tahun lebih tua darinya.
"Sho, ini kesempatanmu memperbaiki nasib. Pikirkan masa depanmu, masa depan panti dan adik-adik kamu yang pasti tidak akan pernah kekurangan makan lagi nantinya."
"Tapi, Mbak ... aku rasanya tidak siap dengan semua ini. Terlalu cepat!"
"Kamu akan siap seiring berjalannya waktu, Sho."
Shona mengembuskan napas panjang. Dia boleh saja terlihat cantik di sebelah luar, tapi di dalam dirinya dia merasa hampa.
Jadi beginikah pernikahan tanpa rasa itu?
Tegarlah, Sho ... anggap saja kamu sedang menolong banyak orang. Anggap saja kamu sedang berkorban, balas budi atau apa. Panti sudah memberikanmu banyak hal, anggap ini kesempatan untuk membalas. Lagipula tidak begitu buruk, suamimu nanti tajir melintir, cakep mampus meski sudah om-om dua belas tahun di atasmu. Jackpotnya, kamu akan kuliah tinggi-tinggi dan hidup mewah.
Shona berusaha menghibur diri sendiri.
"Apa pengantinnya sudah siap?"
Seorang pria mendadak muncul di ambang pintu, berdiri di sebelah Rawuni. Usianya sudah awal empat puluhan-an, tapi terlihat lima atau tujuh tahun lebih muda, dan tampangnya jelas terlihat di atas rata-rata.
Shona jelas melihat bagaimana tatap terpesona Rawuni tertuju pada si pria itu.
Ide langsung melintas di kepala sang pengantin wanita tersebut.
"Ehem, maaf ... Om ini siapa?" tanya Shona.
Pria di sebelah Rawuni tersenyum. "Saya Erlangga, pegawai Tuan Ghevin. Saya ditugaskan memeriksa kesiapan Nona Shona." Pria yang tidak kalah tampan dari Ghevin Aditama itu membungkukkan badan.
"Apa Om Erlangga ini sudah menikah?" tanya Shona langsung. Ia melirik Rawuni yang masih diam-diam mencuri pandang.
"Eh?" Pria bernama Erlangga itu menggaruk dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu.
"Kalau belum, maukah Om ini menikah dengan Mbak Wuni kami? Saya jamin Om gak nyesal, Mbak Wuni kami ini baik sekali," kata Shona sambil menunjuk Rawuni yang berdiri mendelik dan gemetaran.
Rawuni gelagapan.
Shona meringis ringan.
"Shona, jangan melantur! Cepat ke sini dan kita ke aula." Segera saja Rawuni menerobos masuk, mencekal pergelangan Shona dan setengah menyeretnya.
Di ambang pintu, pria bernama Erlangga cuma geleng-geleng kepala. Shona Jefika benar-benar seperti yang selama ini diperhatikan dan diauditnya. Laporannya kepada Ghevin pastilah sangat akurat dan tepat.
"Ih Mbak Wuni kenapa sih, kan aku mau nyariin jodoh juga buat Mbak, siapa tahu kita bisa nikah bareng." Shona mengangkat ujung bawah gaun pengantinnya.
"Sembarangan!" Rawuni menyembunyikan rona merah di pipinya. Wajahnya terasa panas, entah karena malu atau karena terpesona oleh pria yang mengaku bernama Erlangga tadi.
"Om Erlangga gak kalah tampan kok dari Tuan Ghevin. Serius!" Lagi-lagi ia terus memprovokasi Rawuni agar mau mendekati pria bernama Erlangga yang mungkin saja sekarang tengah kebingungan di belakang mereka.
"Ini acara kamu, Sho. Jangan malah mencari masalah baru deh. Setelah kamu resmi menjadi Nyonya Ghevin, baru kamu boleh nyariin aku jodoh, tapi, ya, jangan yang tampan-tampan banget, takut aku."
"Takut sama orang ganteng?"
"Bukan! Takut banyak saingan."
Di aula hotel yang sudah disulap menjadi hall perhelatan pernikahan sekaligus resepsi megah oleh WO bintang lima, Ghevin mendapati dirinya terpesona pada detik pertama langkah Shona memasuki ruangan.
Saking terpesonanya, Ghevin nyaris mangap. Shona Jevika, gadis kecil yang dua belas tahun lalu menangis di samping jenazah orang tuanya kini menjelma bak seorang putri dari negeri dongeng. Hampir sempurna, bahkan jika dibandingkan dengan semua mantan Ghevin, Shona bisa menempati urutan nomor dua.
Untuk nomor satunya, tentu saja wanita yang menyebabkan dia mabuk dan berakhir dengan menyebabkan meninggalnya orang tua Shona waktu itu.
Kendalikan dirimu, Ghevin, kendalikan dirimu.
Langkah Shona tiba di dekatnya, tanpa kata langsung mendudukkan diri di sebelah kiri, sedikit pun tidak melirik, apalagi menoleh padanya. Gadis belia itu sangat jelas terlihat tak ingin menikahinya.
Untuk sesaat, Ghevin nyaris tergoda untuk membatalkan pernikahan itu, sampai kemudian kilasan mobil yang terjun bebas ke jurang itu memenuhi kepalanya.
Tidak. Penebusan dosanya tidak boleh ditunda-tunda lagi. Lebih cepat lebih baik.
Maka begitulah, saat juru nikah selesai menunaikan tanggung jawab, lancar sekali bibir Ghevin Aditama Jansen mengucap ikrar dan membuat Shona Jefika jadi miliknya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Shona Jefika binti Johar Isfan untuk saya dengan mas kawin tersebut tunai!"
Ghevin sadar sepenuhnya, di sebelahnya ... Shona tengah menangis.
Gumam "Sah" memenuhi atmosfer ruangan megah itu, sementara tangis Shona makin nyata. Ghevin bernapas lega, tapi beban lain menyambut pundaknya.
Omong-omong, apa sekarang dia sudah boleh menarik Shona agar menangis saja di dadanya?
Ah, betapa Ghevin ingin melakukan itu.