Mobil sport itu melaju kacang di jalan, padahal gerimis baru saja turun. Pengemudinya, seorang pemuda sekitar 20-an, tampak kacau akibat terlalu banyak alkohol yang masuk ke tubuh.
Sudah dipastikan, pemuda itu baru pulang dari kelab.
Pikirannya bertambah kacau, ketika tadi sang kekasih memutuskan sepihak jalinan kisah di antara mereka.
"Arrrh! Sialan!"
Di dalam mobil, hentakan musik RnB entah dari penyanyi siapa menyalak keras dari perangkat sound sytem canggih. Siapa pun adanya pemuda yang mengemudi dalam kondisi setengah mabuk itu, pastilah dia anak konglongmerat.
Wiper mobil menyapu rintik gerimis yang menerpa kaca. Di balik kemudi, tanpa mengurangi kecepatan, pemuda itu menjangkau ponsel yang baru saja bergetar dari jok sebelah. Perhatiannya sejenak teralihkan dari jalan, padahal tak jauh lagi tikungan tajam siap menyambut dirinya.
Tepat saat dia mengangkat wajah, lampu terang dari mobil yang datang dari arah berlawanan menyilaukan matanya.
Klakson menjerit panjang.
"Sial!"
Pemuda itu menekan rem, namun sudah jauh terlambat. Decit ban mobil terseret di aspal terdengar mengerikan.
BRAAKK!
Dia menabrak mobil nahas lain yang datang dari arah berlawanan, menabrak tepat di bagian sisi, dan membuatnya terseret menuju pagar pembatas jalan.
BRAAKK!
Rangka pembatas jalan putus seketika, dan mobil nahas yang ditabrak itu terjun bebas menuju jurang.
"NOOO!"
Ghevin Aditama Jansen terlontar dari ranjangnya yang empuk seperti dilesatkan meriam. Pria itu terengah-engah dengan posisi berlutut di tempat tidur. Sebelah tangannya terulur ke depan, seakan hendak menjangkau sesuatu; mobil terguling ke jurang itu.
Keringat membanjiri tubuh polos Ghevin, padahal suhu kamar mampu menggigilkan domba berbulu paling tebal di kandang.
"Masa lalu," desah Ghevin sambil menyeka keringat di dadanya yang bidang.
Mimpinya itu bukan sekadar mimpi. Itu adalah kilasan kejadian 12 tahun lalu, saat dia masih pemuda biang onar, saat hidupnya sedang bebas lepas dan tanpa beban. Pemuda mabuk di dalam mobil itu adalah dirinya.
Ia sudah hampir melupakan semua itu. Hampir, tapi belum. Dan karena itu pula ia kembali. Menebus semua yang keonaran yang pernah ia ciptakan.
Ada tanggung jawab dan dosa yang harus ia tanggung sekarang, meski seharusnya sejak dua belas tahun yang lalu. Tapi ia terlalu pengecut, hingga melarikan diri dan bersembunyi menjadi satu-satunya pilihan yang diambilnya.
Karena pilihannya itu pula, setiap malam selama bertahun-tahun ia dihantui oleh mimpi yang sama. Mimpi yang membuat hidupnya tak pernah tenang. Mimpi yang membuat ia takut memejamkan mata ketika malam datang.
Tok, tok,tok!
Ketukan di pintu menyadarkan Ghevin kalau malam sudah berakhir. Ia mengusap wajah, berusaha mengembalikan kesadaran.
"Tuan Ghevin, setelannya sudah siap."
Itu suara kepala pelayannya, Hasna. Setelan yang dimaksud adalah jas dan perlengkapan yang akan dikenakan ke pernikahannya dengan Shona.
Pikiran Ghevin serta merta tertuju pada gadis belia yang hari ini akan dinikahinya itu. Shona Jefika. Saat dia menyentuh dan lalu mengecup punggung tangan gadis itu kemarin, di ruang penerimaan tamu panti asuhan, Ghevin jelas melihat Shona kebingungan dan tidak siap menerimanya sebagai suami.
Kalau saja kemarin Ghevin cukup berani, ingin saja dia meneriakkan permintaan maaf secara langsung pada Shona. Bukan maaf karena mengajak Shona menikah di usianya yang baru saja genap delapan belas tahun, tapi untuk dosa masa lalu yang berkaitan erat dengan gadis itu.
Tapi Ghevin penakut. Dia belum siap mengakui dosanya pada Shona. Tidak, bukan hanya belum siap, tapi dia tak mau usahanya untuk menebus dosa itu tidak akan pernah terwujud jika dia mengakui dosanya pada Shona.
Kemarin saat tangannya dan tangan Shona bertaut pertama kalinya, Ghevin nyaris menangis mengingat apa yang telah direnggutnya dari gadis itu. Tapi dia menahan diri, seperti dia juga menahan diri dari keinginan menarik Shona ke dalam dekapan dan membelai-belai semua kehilangan dan duka gadis
Belia itu.
"Kamu pria jahat, Ghevin Jansen, jahat sekali. Menikahi gadis itu dan menjadikannya ratu di kehidupanmu pun tak bisa menebus dosa yang telah kamu perbuat terhadapnya."
Di depan cermin saat sedang mengenakan setelannya, Ghevin menunjuk refleksi dirinya sendiri dengan marah.
Memastikan semua sudah siap, juga dengan mentalnya ketika nanti melihat Shona di sampingnya, Ghevin membuka pintu kamar. Ia melihat beberapa detik pelayan yang menunggu di depan terpana. Hanya beberapa detik saja, karena setelahnya mereka segera menunduk saat mendengar suara deheman dari Hasna.
"Anda luar biasa tampan, Tuan. Seperti biasa."
Ghevin tidak membalasnya, ia malah melihat sekeliling rumah. Sebentar lagi di sini akan ada tambahan orang baru, dan itu istrinya, sekaligus anak yang orang tuanya ia bunuh dua belas tahun yang lalu.
Seketika sedikit kepanikan dirasakannya. Bagaimana kalau nantinya Shona tidak bisa menerima bahwa orang tuanya mati bukan karena kecelakaan, tapi karena kesalahannya? Dan bagaimana jika akhirnya Shona meminta nyawa ditukar dengan nyawa?
Ghevin tidak bisa membayangkan itu.
"Tuan apa kita bisa bersiap sekarang?" tanya Hasna.
"Bagaimana dengan pengantin wanitanya?" Bukan menjawab pertanyaan dari kepala pelayannya, Ghevin malah bertanya balik.
"Mereka akan mengurusnya, Tuan. Dan pasti akan mengubahnya menjadi wanita paling cantik hari ini."
Ghevin perlu menenangkan dirinya lagi, ia membalikkan badan dan masuk ke kamar. Sedangkan Hasna dan semua pelayan melihat dengan raut kebingungan.
Bisik-bisik mulai terdengar tentang tuan mereka. Pria aneh yang jarang sekali tersenyum, bahkan sering terlihat tanpa ekspresi meski ada hal selucu apa pun, seolah hatinya sudah membeku seperti benua antartika. Beruntung otaknya tak ikut beku.
Di dalam kamar, Ghevin berdiri di depan cermin. Ia bermonolog dan meyakinkan diri bahwa semua akan berjalan lancar. Harus berjalan lancar seperti yang diharapkannya. Jangan sampai penebusan dosa pertamanya gagal, dan membuat Shona lebih menderita lagi.
Tidak ada yang tahu perasaan Ghevin sesungguhnya, karena ia selalu menyembunyikan di dalam wajah datarnya. Sulit menjangkau hati seorang Ghevin Aditama Jansen.
Tok tok tok!
Ghevin menoleh, mendapati jarum jam yang sudah menunjuk angka tujuh.
"Apa semua baik-baik saja, Tuan?" Kembali lagi Hasna bertanya. Nada khawatir terdengar jelas di sana.
"Ya!" Hanya itu yang keluar dari mulut Ghevin, tanpa ada tambahan kata lain. Sekali lagi ia melihat pantulan dirinya di cermin, kemudian memastikan semua baik-baik saja.
"Sudah hampir waktunya, Tuan!"
Ghevin beranjak dari depan cermin, ia berjalan tegap menuju pintu dan keluar dengan ekspresi seperti biasanya. Datar. Tak terbaca. Tak tersentuh.
"Kalau kurang enak badan saya bisa menyuruh ...."
"Saya baik-baik saja!" potong Ghevin.
Hasna mengangguk.
'Hanya merasa benar-benar menjadi penjahat,' imbuh Ghevin dalam hati.
Setelah membuat dua orang tua Shona terbunuh, kini ia memaksa gadis kecil itu menikah dengannya. Jahat sekali, bukan?