"Itu Manda! Ada apa dengannya?! Lepaskan aku!" teriak Jeno di hadapan wanita suku tersebut.
Wanita suku itu tak mendengarnya dan malah mengangkut Jeno ke suatu tempat. Kekuatan wanita itu bahkan mampu mengalahkan Jeno. Jeno yang bahkan terkenal kuat, tidak mampu lepas dari cengkramannya.
Jeno dibawa menggelantung lalu berdiri di atas ranting pohon yang tinggi dan kuat. Wanita itu berdiri lalu mengernyitkan matanya. Melihat titik cahaya yang terbuat dari api. Sontak, dia pun melanjutkan aksinya lagi.
"Hey! Lepaskan aku! Mau dibawa–"
Suara keras yang di raungkan Jeno membuat wanita tersebut menutup mulutnya dengan tangannya
Setelah wanita tersebut berada pada titik cahaya yang di maksud dan Jeno pun mendengar banyak orang yang melakukan ritual. Mereka pun bersembunyi di balik batu yang cukup besar untuk menyembunyikan tubuh mereka.
"Siapa kamu sebenarnya?!"
"Aku Sabrina, mereka adalah Suku Necros. Dan yang paling depan itu adalah Kepala Suku Necros–Aighar," bisiknya. "Mereka juga bukan dari Pulau ini. Tapi mereka sudah cukup lama menguasai Pulau ini," sambungnya yang bahkan tak dimengerti Jeno maksudnya.
Jeno terkejut saat wanita itu memahami bahasanya.
Jeno mengira bahwa ini mimpi. Dia sangat takut saat tubuh tingginya itu tampak kecil saat bersanding dengan wanita ini. Jeno berpikir bahwa dia akan membunuhnya untuk dijadikan santapan malam ini. Dan Jeno juga tidak tahu kemana dia akan membawanya.
"Lihatlah. Apakah mereka teman-temanmu?" kata Sabrina menunjukkan apa yang ada di hadapannya.
Jeno membelalakan matanya karena melihat api yang besar, berada di tengah-tengah para penghuni Pulau ini. Jeno mulai tahu bahwa mereka adalah Suku Necros karena wajah mereka tidak seperti orang Asia Tenggara apalagi Papua.
Tapi yang lebih mengejutkannya lagi, Manda dan Bi Yayu tepat berada di atas kobaran api itu. Mereka diikat dengan tali berbeda. Namun dengan jelas Jeno melihat Bi Yayu lebih bawah dari pada Manda. Bi Yayu hampir menyentuh api itu.
"Manda, Bi Yayu," lirih Jeno.
Walaupun Jeno sudah diingatkan untuk tidak berbicara apalagi berteriak, menggunakan bahasa isyarat wanita itu yang di mengertinya, tapi Jeno tak tahan melihat orang yang disayanginya seperti hewan yang akan dibakar lalu dimakan oleh suku Necros.
"Tidak! Turunkan mereka, bodoh!"
Jeno lepas dari cengkraman Sabrina dan menghampiri orang-orang dari suku pulau ini yang sedang berkumpul melingkari Manda dan Bi Yayu. Namun mereka memiliki ukuran tubuh yang sama dengannya. Tidak seperti Sabrina.
"Sepertinya kamu melewatkan manusia luar itu! Tangkap dia!" perintah Aighar.
"Berhenti!"
Tiba-tiba, dibelakang Jeno terdapat Sabrina yang membawanya kemari dan ikut menghadapi mereka.
"Siapa kamu? Kamu bukan dari Suku Necros!" kata Aighar. "Urus wanita ini dan sisanya jaga tiga penyusup," perintah Kepala Suku Necros tersebut.
Tak! Tak! Tak!
Para Suku Necros berupaya sangat keras untuk menancapkan tombaknya ke tubuh Sabrina.
Dan dengan langkah yang cepat, wanita itu mengangkat dua leher laki-laki Suku Necros hingga menggantung.
Aighar melihatnya dengan kesal. Lantas, dia pun langsung menarik panah itu yang ternyata berhasil menancap walaupun pada tangannya.
Wanita tersebut langsung melepaskan leher kedua orang Suku Necros. Namun kakinya masih memiliki tenaga untuk berlari sampai dia tanpa ragu pergi dari tempat itu membawa Jeno di tengkuknya.
"Kejar dia!" perintah Aighar.
Sabrina terus berlari tanpa henti dengan kucuran darah yang semakin lama semakin darah itu tak mau berhenti.
Namun Jeno tak berhenti memukul punggung keras Sabrina. Jeno kesal karena Sabrina membawanya dan membuat dirinya meninggalkan Manda dan Bi Yayu.
Selain itu, Sabrina mulai berhenti berlari karena Suku Necros tidak terlihat mengejarnya lagi. Sabrina pun berjalan dengan pelan tanpa memperdulikan Jeno yang mengamuk.
Sabrina melepaskan Jeno dan memijak tanah. "Ma-maafkan aku," katanya sambil menunduk takut.
Sabrina yang memiliki tubuh besar dua kali lipat dari tubuh Jeno, ternyata sedang menyesali perbuatannya di depan Jeno. Sampai Sabrina menunduk lalu bersujud-sujud.
"Argh! Kenapa kamu meninggalkan mereka? Tunggu, apakah kamu merupakan bagian dari mereka? Hah?! Jawab, Sabrina!"
"Kejar mereka! Pasti belum jauh dari sini."
Pertanyaan Jeno tak mendapat jawaban untuk saat ini. Karena para Suku Necros sedang mengejar mereka. Alhasil, Sabrina harus membawa Jeno kembali ke tempat yang lebih aman menurutnya.
Grep!
"Aish! Aku bukan anak kecil, bodoh!"
"Diamlah atau kamu akan mati!"
Karena tubuh besar Sabrina, langkah Suku Necros cukup tertinggal olehnya. Tapi Sabrina tidak seperti kelinci yang sombong, dengan menyepelekan kura-kura yang lambat. Sabrina, terus berlari sekuat yang dirinya bisa.
Sampai Sabrina mulai memelankan langkahnya, dia pun menuju dedaunan yang cukup rimbun. Sabrina masuk bersama dengan Jeno. Dan sebuah gua besar pun, mulai terlihat dari pandangan mereka.
Kala itu, Sabrina menurunkan tubuh Jeno. Sempat ditatap Jeno dengan kesal. Tapi Jeno mulai merasakan niat baik wanita tersebut.
"Ayo, kita masuk," ajaknya ke dalam Gua itu.
Jeno pun masuk dengan mata yang tajam. Rahangnya mengeras. Kedua tangan yang mengepal juga sudah siaga di samping.
Bugh! Bugh! Bugh!
"Kenapa kamu membawaku ke sini? Jika sesuatu terjadi pada kekasihku, kamu yang akan mati di tanganku!"
Serangan tiba-tiba dari Jeno, membuat Sabrina terbujur kaku dan hampir tak berdaya. Mata yang membengkak. Sudut bibir yang sedikit robek dan kening yang mengucurkan lebih banyak darah, tak membuat Jeno menyesal walaupun dia sudah kehilangan akalnya.
Jeno yang tak pernah marah, langsung membludak jika kesabarannya sudah habis. Bahkan, sampai Sabrina mati pun, Jeno takkan menyesal. Tapi wanita tubuh besar itu tidak melawan.
Nafas yang terengah-engah. Dengan mata yang melotot marah pada Sabrina, tidak bisa berhenti walaupun ada orang yang menghentikannya. Kecuali jika Sabrina mengatakan sesuatu yang akan membuat Jeno berhenti.
"Hah! A-aku akan menyelamatkan mereka. Jadi, tolong tenangkanlah dirimu," kata Sabrina yang berbicara lemas.
Pikiran Jeno jernih kembali. Jeno pun meletakkan punggungnya pada dinding gua itu. Dengan air mata yang sudah menetes sejak tadi. Pikirannya masih membayangkan saat tubuh dua wanita yang paling dia sayangi, berada di atas kobaran api. Apa lagi jika bukan membakarnya.
Jeno menyembunyikan kepalanya di dalam lutut yang terbuka. Menumpahkan tangisan pada tanah yang tak bisa berbicara. Namun jika ada darah yang menetes pada kekasihnya maupun Bi Yayu, amparan tanah ini yang akan menjadi saksi.
"Aku tidak bisa diam dan bersembunyi di sini! Aku harus menolong mereka!" katanya dengan suara yang lemah.
"Jangan! Itu berbahaya! Tetaplah tinggal di sini. Biar aku yang menolong mereka!" kata Medina sambil menarik tangan Jeno.
Jeno pun membalikkan badannya lalu menghempas tangan yang Sabrina pegang erat. "Lepaskan! Aku sudah gila sekarang!"
Jeno pun melangkahkan kaki dengan berat. Tapi hidup mereka kini, ada pada keputusan Jeno.
Brugh!
Mata Sabrina yang menatap dingin dan penuh arti itu, memukul Jeno dengan kayu yang kuat di sebelah tengkuknya. Lalu, menggusur tubuh Jeno ke Gua tadi. Sampai Sabrina, menunggu pagi untuk memulai aksinya.