SALLY. Seorang Ibu yang mencari keadaan anaknya, setelah tidak mendapatkan kabar darinya juga Manda dan Bi Yayu. Memutuskan untuk mencari keberadaan mereka menggunakan kapal pribadi miliknya. Bersama rombongan keluarga yang sama khawatir dengannya.
Tim penyelamat langsung mencemplungkan diri ke laut untuk mengangkat Pangeran kecil Sally itu. Baju yang basah, lusuh, serta beberapa luka di wajah termasuk lengannya bekas panah, membuat siapapun yang ada di sana menangis pilu.
Sally tak kuasa menahan tangis jeritnya. Bahkan burung yang harusnya terbang, malah duduk diam di atas pohon menyaksikan mereka. Mungkin burung itu juga sama bersyukurnya. Mungkin burung itu juga ikut menangis terharu di sana. Dan mungkin burung itu lebih tau apa yang terjadi pada kekasih Jeno.
"Akh, anakku. Maafkan Ayah," ucap pria tangguh–Umar Atwijaya yang sempat berpikir anaknya sudah kehilangan nyawa.
Sepasang suami istri itu memeluk anak satu-satunya. Yang mana, Jeno adalah harapan besar mereka untuk hidup. Untuk menjadi anak mereka dengan baik. Walaupun Jeno melakukannya lebih dari yang mereka kira.
Semua orang di belakang mereka tak berhenti mengelus bahu sepasang suami istri itu. Bukan untuk tabah. Tapi untuk selalu berdoa bahwa Jeno akan baik-baik saja.
Saat ini, Jeno diserahkan kepada seorang Dokter yang membawa alat-alat penyelamat utamanya, sebelum membawa Jeno ke Rumah Sakit besar.
Setelah itu, Nahkoda mengendarai kapal itu untuk mencari Manda dan Bi Yayu. Sayangnya, mereka dihadang oleh banyak orang dengan pakaian adat suku Necros sembari membawa tombak yang begitu banyak. Bahkan tak sedikit, panah itu menancap pada keluarga Jeno. Akhirnya, mereka pun pulang dan mencari solusi lain untuk masalah pencarian Manda dan Bi Yayu.
Sungguh. Mereka sangat berat saat harus pulang sebelum mencari sisanya. Tapi apa boleh buat, Tentara yang merupakan Paman Jeno, membuat keputusan supaya berbalik arah karena keadaan akan semakin berbahaya.
Dokter yang merupakan Sepupu Jeno, sudah memastikan bahwa Jeno selamat. Luka-luka di sekujur tubuhnya juga berhasil diobati. Tapi Jeno tetap harus istirahat dan mendapat pengobatan optimal di Rumah Sakit.
Sampai kapal itu berhenti dan menurunkan mereka untuk melaju di darat lalu pergi ke Rumah Sakit, Jeno tetap tak bangun. Dia sudah lama tidur. Tapi dia tak mendapatkan mimpi apapun.
"Bagaimana, Rendra? Apakah Jeno akan segera sadar juga?" tanya Sally kepada anak adiknya itu.
"Karena benturan kepalanya cukup keras, aku pikir dia menjadi lama tak sadarkan diri. Tapi tidak apa-apa. Dia akan segera bangun. Dan jangan buat dia terkejut saat siuman. Itu akan membuat kepalanya sakit," jawab Rendra, Dokter yang merupakan Keponakan Jeno itu.
Sally paham dengan apa yang dikatakan Rendra. Wanita itu tak beranjak dari kursinya sebelum Jeno benar-benar sadar. Sally tak makan dan minum. Menurutnya, dia akan lega setelah Jeno bangun.
"Ibu, makan dulu, yuk. Jangan sampai kamu sakit juga," ajak Umar kepada istrinya itu, walaupun dibalas dengan gelengan kepala dan bibir cemberutnya.
Umar pun hanya mampu duduk di teras. Menjorok di sebelah pintu. Dengan kedua jari tangan disatukan atas lutut. Lalu lamunan itu terus mendobrak kepalanya lagi.
"Perkataan apa yang akan diucapkan anakku pertama kali?" batinnya berkali-kali.
"Jeno, kamu sudah bangun? Ayah! Ayah! Jeno mulai membuka matanya! Cepatlah kesini!" teriak Sally yang senang bercampur haru saat Jeno membuka matanya pelan.
Umar pun langsung berlari ke tempat Jeno, bersama dengan istrinya. Tatapan mereka kepada Jeno, sama saat Jeno lahir dulu.
"Ayah, Ibu," panggil Jeno dengan suara yang lemah.
"Ya, anakku?" sahut mereka kompak.
"Manda masih di sana, Bu. Dia sudah tidak ada. Tapi aku tidak melihat mayatnya," ucap Jeno tiba-tiba. Perkataannya itu bersamaan dengan air matanya yang ditahan menggunakan tangan yang menarik infusnya.
"Apa? A-anakku? Apa maksudmu?! Kenapa kamu meninggalkan dia di sana?! Kenapa hanya kamu yang hidup sendiri, Jeno! Kenapa?"
Perkataan jelas itu terdengar oleh Yuri-Ibu Amanda. Dia mengamuk dan memukul punggung Jeno beberapa kali. Kakek Manda–Yarjid sudah menahan Yuri beberapa kali. Tapi dia sangat kuat sampai tak sengaja infusan Jeno tercabut.
Umar ambruk. Dia bersujud di depan kaki Yuri. Berharap Yuri memaafkannya walaupun tak pantas. Lalu disusul Jeno yang sangat amat menyesal. Semua orang menangis tersedu-sedu.
"Ibu Manda, aku rela mendapatkan hukuman apapun. Tapi izinkan kami untuk mencari mayat Manda," kata Sally yang memeluk Yuri.
"Aku bersedia mati, supaya kamu memaafkan anakku," ucap Umar yakin.
"Ibu, aku akan melakukan apapun untuk menemukannya. Bisakah Anda berikan aku waktu? Aku sama terpukulnya sepertimu, Bu," ujar Jeno penuh pengharapan walaupun di tengah keputusasaan.
PLAK!
Yuri menampar Jeno yang membuat semuanya terkejut. Walau tak ada satupun yang membela Jeno.
"Kamu pikir aku percaya?! Kamu bisa cari wanita lain! Tapi aku adalah Ibunya! Aku tidak bisa menemukan Manda! Baik buruknya anakku, tetaplah dia yang aku inginkan!" teriak Yuri yang memancarkan mata merahnya. "Setelah ini, bagaimana aku hidup?" sambungnya dengan nada yang lebih lemah.
Pembicaraan mereka terhenti saat Yarjid membawa Yuri pelan-pelan untuk pulang. Berbagai cara yang keluarga Jeno lakukan untuk menahan mereka, Yarjid berdiri menemani Yuri sangat tangguh walaupun penuh luka.
"Pulang ke rumah adalah cara paling baik. Biarkan aku yang akan mencari cucuku," kata kakek berumur 70 tahun itu.
Seluruh keluarga Jeno mengajak mereka untuk berbicara. Tapi mendengar perkataan Jeno yang sangat jelas tadi, sudah membuatnya mengeluarkan air mata yang banyak. Yuri dan Yajrid, ingin mendinginkan pikiran dulu. Sebelum mendengar kabar yang lebih buruk dari ini.
Sementara itu, seluruh keluarga Jeno berhenti dalam langkahnya dan membiarkan mereka merasa tenang.
Tapi Jeno, dia kembali ke ruangannya dan meminta untuk membiarkannya sendiri dulu. Ternyata, Jeno sedang membayangkan Manda dan Bi Yayu. Termasuk Manda, dia berharap Manda dapat datang ke tempatnya sambil membawa bunga dan buah segar. Seperti saat itu, Jeno dapat menaikkan sudut bibirnya cerah.
Lamunan yang tak pecah. Membuat Jeno mengelus dadanya pelan. Dia masih tak percaya mendengar Argha bahwa kekasihnya juga bernasib sama dengan Bi Yayu.
"Argh! Andai saja Sabrina tak membawaku dari mereka. Mungkin saat ini aku masih bisa menatap wajahnya yang selama ini selalu membuatku tenang."
Kecaman terhadap dirinya dan Sabrina terus menerus dia ucapkan. Jeno bukan orang yang seperti itu. Tapi karena yang hilang adalah separuh jiwanya, Jeno bukanlah Jeno yang orang-orang kenal selama ini.
Jeno terus menangis mengisi kekosongan ruangannya. Tak merdu. Suara itu menyakiti hati siapapun yang mendengarnya.
"Akh, Tuhan. Jika dia tak bisa engkau bawa ke tempatku. Bawa saja diriku padanya. Aku sudah berjanji untuk tidak meninggalkannya."
Jeno semacam dalam ujung tanduk saat ini. Dia merasa tak mampu mempertahankan hidupnya. Walaupun yang mencintainya tak hanya Manda. Tapi Manda adalah dunianya.
"Manda, bagaimana cara mereka menyakitimu sampai Tuhan mengetuk takdir, agar kamu tak merasakan sakit lagi?" ucapnya pada langit yang tertutupi atap itu.