SETELAH waktu sudah memakan angka pada jam dinding, rumah ini hanya penuh keluarga Manda saja. Karena keluarga Jeno yang sedang membuat rencana untuk pencarian Manda dan mengembali jenazah Bi Yayu. Sementara sahabat dan kerabat Manda, pulang ke rumah dan akan sama-sama membantu pencarian Manda. Lalu untuk Permana dan semua keluarga besarnya, dia di usir dari rumah itu. Yuri, tak berharap apa-apa dari Permana.
Waktu sudah pagi. Semua orang, mau tidak mau harus menjalani kehidupannya yang masih berjalan itu. Termasuk Jeno. Laki-laki pecinta satu wanita itu, mulai masuk kerja di sela pencarian kekasihnya.
Jeno turun dari mobil hitamnya. Disusul dari belakang oleh Sekretarisnya, Chandra. Kemudian dua orang pengawalnya.
Jeno memaksakan diri tampil rapi. Walau wajah kusut itu tak bisa membohongi semua orang yang menatapnya.
"Selamat pagi, Pak. Saya senang Anda kembali dengan selamat."
"Semoga tunangan Anda segera ditemukan."
"Kami akan terus mendoakan tunanganmu, Pak."
Begitulah, kata-kata yang diucapkan kepada Jeno. Terdengar asing. Terlihat menampakan raut yang sedih. Ketika CEO mereka sedang berduka, semuanya merasakan kesedihannya. Kehilangannya. Yang tak bisa mereka bayangkan bagaimana rasa sakitnya.
Jeno pun duduk di meja kerjanya. Lalu Chandra menghampirinya.
"Jika kamu tidak sedang ingin bekerja, duduklah dan biarkan aku yang menyelesaikan semuanya," tawar Chandra dengan mata yang tak menatap Jeno.
"Tidak apa-apa. Pekerjaan semakin banyak setelah aku berlibur kemarin. Aku tetap akan bekerja," jawabnya menolak dengan halus.
Jeno mengangkat simpul senyumnya sedikit. Tanda bahwa dia tak benar-benar ingin tersenyum. Tanda bahwa Jeno ingin terlihat baik di tengah kekacauan. Tapi Chandra yang juga sahabat Jeno, dapat merasakan perasaan yang sebenarnya.
"Baik. Kalau begitu, panggil aku jika ada yang ingin kamu butuhkan. Aku akan mengerjakan pekerjaanku dulu, ya," balas Chandra sembari memupuk punggung Jeno pelan.
Setelah pintu tersebut ditutup, Jeno mulai menatap lurus. Dia membayangkan dulu, saat Manda kesal karena harus mengantarkan makanan untuknya. Wajah cantik dan semakin menawan saat cemberut itu, tak segan menendang pintu sembari membawa makanan di tangannya. Lalu meletakan makanan itu dengan kasar.
Saat itu, Jeno tak bisa marah padanya. Manda malah terlihat menggemaskan saat marah. Entah kenapa, Jeno tak takut Manda. Kecuali jika Manda meninggalkannya. Seperti saat ini, Jeno hampir gila jika tak bisa mengontrol dirinya.
"Ah, aku harus mengerjakan semuanya, ya. Kenapa aku malah melamun. Manda tidak suka laki-laki pemalas. Bisa-bisa aku keluar dari standarnya," gumamnya.
Manda memang memiliki standar yang tinggi soal lelaki. Tapi bukan berarti Jeno mudah mendapatkan hati gadis yang kini hilang itu. Walaupun Jeno masuk seluruh kriterianya, ada satu hal yang berhasil jeno dobrak kala itu. Keraguan Manda.
Keraguan terhadap laki-laki. Manda takut, jika Jeno tetap akan menyakitinya juga seperti ayahnya kepada Ibunya. Tapi Jeno meyakinkan Manda, kalau Jeno akan setia dan terus bersikap baik padanya.
Jeno berhasil melakukannya. Dan saat Manda berkata, iya, Jeno girang tak tahu malu. Laki-laki yang memiliki karisma itu, tidak ada apa-apanya di depan Manda. Sikapnya yang manja itu, bahkan hanya kepada Manda saja. Sally bahkan terkejut saat Jeno mengelus-elus punggung Manda dengan kepalanya seperti kucing.
"Ah, aku merindukan gadisku. Aku benar-benar sudah gila."
Jeno mengerjakan pekerjaannya yang hanya 80 persen baru selesai. Dia menekan tombol supaya Sekretaris Chandra datang.
Chandra pun menghampiri Jeno dengan terburu-buru. "Ya, Jeno?" katanya.
"Kata siapa kamu harus berbicara sesantai itu padaku saat bekerja?" sentaknya yang membuat Chandra terkejut dan langsung menunduk setengah dari tubuhnya.
"B-baik. Ada yang kamu perlukan?" tanya Chandra cepat.
"Aku ingin cokelat panas dan tujuh stroberi yang terpisah," pintanya yang membuat mata Chandra membelalak.
"Coklat panas? Saat terik seperti ini? Apakah aku ti–"
"Jangan banyak bicara. Bawakan saja semuanya padaku," potong Jeno pada pertanyaan Chandra.
"Ah, b-baik," jawabnya lalu berlari keluar ruangan Jeno.
Chandra pun segera membuat secangkir coklat panas yang diletakan pada cangkir berwarna putih. Kemudian tujuh stroberi yang dia ambil dari mesin pendingin menuju piring kecil dan garpu. Setelah selesai, Chandra memberikan semua itu kepada Jeno.
"Ini, Pak. Cokelat panas dan stroberinya," kata Chandra.
Jeno menganggukan kepalanya. "Terima kasih. Selesaikanlah pekerjaanmu," jawabya.
"Baik."
Pantas Chandra terkejut. Habisnya Jeno tidak pernah memakan coklat panas di siang hari yang terik. Kecuali jika itu Manda, Chandra merasa tak aneh.
Ternyata, Jeno benar-benar merindukan Manda. Dia sampai ingin dibuatkan minuman dan stroberi kesukaannya.
Jeno menatap kosong pada cangkir itu. Lalu mulai mengambilnya.
"Manda kalau makan stroberi kaya gini, ya," katanya sembari mengambil satu stroberi kemudian mencelupkannya pada coklat panas itu.
Jeno mencoba memakannya. Rasa asam manis itu ternyata membuat Jeno suka juga. Dia menundukkan kepalanya. Mengunyah pelan rasa yang disukai Manda. Tapi bohong jika Jeno tak memakan itu sambil menangis.
Bahunya yang bergetar secara cepat, dapat Chandra lihat di luar jendela itu. Jeno benar-benar kacau setelah kehilangan tunangannya.
"Akh, kamu menyukai ini karena rasanya sangat enak, ya, Manda. Kalau begitu, kembalilah dan aku akan memberikan semuanya kepadamu."
Ting!
Lamunan bercampur tangisan itu terhenti. Ketika pesan tiba-tiba membuyarkan semuanya.
Jeno pun mengambil ponsel itu untuk melihat pesan apa yang dia dapat.
"Hah?!" Jeno tersentak kaget dengan isi dari pesannya.
Seseorang dengan nomor tanpa dikenal mengirimkan foto Manda. Yang hanya menampakan wajahnya saja dengan dibungkus kain jerami. Terdapat beberapa luka sayatan di wajah Manda. Dia terlihat seperti mayat. Karena wajahnya sangat pucat ditambah keungu-unguan.
Dengan tangan yang bergetar, Jeno cukup sulit hanya ingin menghubungi nomor tersebut. Namun saat Jeno menghubunginya, nomor tersebut tak lagi aktif.
Kepalanya penuh tanda tanya. Tentang siapa orang tersebut? Bagaimana orang itu mengambil wajah Manda? Lalu kenapa dia tak bisa dihubungi setelah mengirim pesan itu. Membuat Jeno yakin, mungkin seseorang menemukan tubuhnya dan sengaja ingin mengambil Manda darinya.
"Tidak bisa! Aku harus segera melakukan sesuatu! Jangan sampai orang itu mengambil Manda ... Lalu mengambil organ tubuhnya. Tidak akan aku biarkan, siapapun menyentuh sehelai rambutnya. Tidak akan!" teriaknya.
Suara tersebut terdengar oleh Chandra dan staf lain. Mereka langsung melihat kondisi Jeno secara langsung.
"Jeno! Ada apa denganmu? Apa ada yang sakit?" tanya Chandra sembari melihat tubuhnya, jika luka itu terbuka lagi.
"Pak Jeno, tenangkan dirimu."
"Pulang dan istirahatlah. Kami akan mengurus sisanya."
"Jeno, apa terjadi sesuatu?" tanya Chandra cukup serius.
Jeno menatap Chandra. Nafasnya terengah. Lalu dia berkata, "Chandra, ayo, kita adakan konferensi pers. Buat para media dan wartawan datang. Aku ingin selesai dalam satu jam, lalu–"
"Lalu apa, Jeno? Apa yang sedang kamu bicarakan?!" teriaknya yang membuat Jeno tak bisa mengontrol kepanikannya.
"Seseorang mengirimkan foto Manda! Aku harus memberitahu semua media! Aku tidak mau tahu, Manda harus kembali!" sentaknya yang membuat semua orang menarik kelopak matanya, terkejut.