Rapat mengenai pemeran drama baru saja selesai. Aku akan menjadi pemeran utama wanita dalam drama yang berjudul "Any Time Only You."
Rapat ini memang hanya sekadar formalitas. Kami sudah tahu siapa yang akan dipilih di sini, tetapi karena sudah terlanjur ada kehebohan di luar sana tentu saja rapat ini tetap harus di jalankan. Sekarang, kami sedang menggelar konferensi pers. Produser Hanry Poe yang akan maju untuk berbicara.
"Kami sudah mendiskusikan semuanya dengan matang," kata Produser Poe menggunakan pengeras suara. Beberapa kilat lampu kamera mengarah ke kami semua yang berada di depan.
Aku, Finn Hartigan, Savanah Dam, dan Dareen Regalian masing-masing dari kami berdiri di samping Produser Poe yang sedang berbicara.
"Finn Hartigan akan berperan sebagai pemeran utama pria bernama March. Savanah Dam akan memerankan Latvea, sebagai tokoh antagonis. Dareen Regalian, aktor pendatang baru yang sedang naik daun ini akan berperan sebagai pemeran kedua pria, Cashian." Produser Poe melihat ke arahku, "Alee Bell akan berperan sebagai, July." Ia kembali menatap ke depan. "Pemeran utama wanita dalam drama ini."
Kami semua tersenyum, siap memenuhi pencarian utama di internet.
***
Setelah selesai konferensi pers, kami langsung menuju lokasi pemotretan tim untuk drama "Any Time Only You."
Sekarang aku sedang berada di ruang tata rias perempuan. Seorang stylist artist sibuk menata rambutku sedang aku menggulir layar ponsel. Aku membaca beberapa judul artikel terbaru tentang konferensi pers kami tiga jam yang lalu.
Tepat di sebelahku, ada Savanah Dam. Dia memejamkan mata, membiarkan seorang make up artist memoleskan eyeliner padanya.
"Kamu sungguh licik," kata Savanah tiba-tiba.
"Maksudmu?" Aku bertanya tanpa melihat sedikit pun ke arahnya. Lagipula, dari cermin raksasa di depan kami aku tahu ia masih memejamkan mata.
"Kamu membuat Finn memaksa Produser Poe memilihmu." Kini ia sudah membuka matanya. Dia sedang melihat ke langit-langit sekarang. Make up artist Savanah berusaha memakaikan mascara pada bulu mata perempuan itu.
"Aku tidak pernah memintanya, dia yang melakukan itu dengan sukarela." Stylist yang menangani rambutku sudah selesai dengan pekerjaannya. Aku bercermin, menyentuh rambut dan wajahku perlahan. Oh, aku terlihat cantik seperti biasanya.
"Kamu tahu, drama ini bisa hancur karenamu," ucap Savanah.
Aku berdiri, merasa diri sudah selasai berdandan di sini. "Sadarlah Sav, karirmu sudah turun semenjak putus dengan Finn Hartigan, sementara aku adalah pemenang penghargaan aktris terbaik selama bertahun-tahun. Menurutmu, kamu pantas berbicara begitu padaku?" Aku tahu, Savanah ingin kembali panjat sosial dengan cara mendekati Finn hartigan lagi. Sayangnya, laki-laki gila itu lebih tertarik padaku.
Aku bisa menyimpulkan dari raut wajah Finn Hartigan beberapa jam yang lalu. Seperti kebanyakan orang yang putus hubungan dia seperti ingin mengatakan "Aku jauh lebih baik tanpamu!" Aku bisa melihat Finn bertekad untuk membuat Savanah kesal selama proses pembuatan drama ini. Hal itu, akan menjadi salah satu hiburan menarik di mataku.
Aku berjalan menuju pintu keluar ruang tata rias. Tiba-tiba sebuah botol pembersih make up melayang hampir mengenai bahu kiriku, tanpa perlu ditebak pelakunya jelas Savanah.
"Kita lihat saja nanti!" Savanah berteriak.
Aku tertawa pelan, berjalan dengan santai seolah tidak ada apapun yang terjadi.
Kami mengambil lokasi di dalam ruangan. Pemotretannya akan segera dimulai setengah jam lagi. Para staf sedang sibuk berlari-lari sambil membawa beberapa properti. Kak Rienna Young sedang berbicara dengan penulis naskah drama, aku harus membiarkan dia melakukan tugasnya. Sementara itu, kulihat Manajer Haven berlari membawa beberapa buah minuman dingin dari arah luar pintu masuk.
Mataku menjelajah, mencari keberadaan Finn Hartigan. Ah! Laki-laki itu sedang duduk berbincang dengan santai bersama Dareen Regalian. Dareen, aktor pendatang baru yang masih sangat muda. Usianya baru 20 tahun. Aku menghampiri mereka dan sengaja duduk tepat di sebelah Dareen.
"Kamu tampak cantik sekali," puji Finn. Aku mengucapkan terima kasih sambil tersenyum malu-malu.
"Aku sangat kagum pada Kakak! Aktris terbaik yang pernah ada," Kata Dareen bersemangat.
Aku menyentuh paha Dareen dengan gerakkan yang tampak alami. Kemudian tertawa pelan, "jangan berlebihan."
Finn bergerak, dia mengangkat kursinya dan pindah ke sebelahku. Sekarang aku berada di tengah-tengah mereka. Finn langsung memegang tanganku, membuatku langsung melihat ke arahnya. "Oh ya, kamu lihat aku memenuhi janjiku malam itu," ucap Finn.
"Sudah kukatakan kamu tidak perlu melakukannya, Finn." Aku tersenyum. "Walaupun begitu, aku tetap senang kamu melakukan itu. Terima kasih, sungguh."
"Bolehkah aku tahu mengenai hal apa itu?" Dareen tampak penasaran.
Aku baru saja bermaksud membuka mulutku untuk berbicara tetapi, Finn dengan cepat mengarahkan telunjuknya pada bibirku. Menyuruhku untuk diam.
"Itu rahasia di antara kami saja," kata Finn kemudian mengedipkan sebelah matanya.
Lalu, Manajer Haven berlari menghampiri kami. Ia membagi-bagikan minuman yang dibawa sebelumnya.
"Semoga kamu suka Caramel Machiato," kata Finn menjelaskan ketika Manajer Haven memberikan minuman itu padaku.
Aku menolak dengan sopan, "Maaf, aku harus mengurangi asupan gula." Aku tersenyum.
"Kalau begitu, Manajer Haven tolong ambilkan air mineral untuk Alee," perintah Finn Hartigan.
Aku dengan sigap memegang lengan Manajer Haven sebelum dia berbalik pergi, "Tidak perlu Manajer Haven. Aku baik-baik saja. Tidak haus."
Manajer Haven mengangguk. "Kalau begitu aku akan memeriksa persiapan pemotretannya," kata Manajer Haven.
Aku melepaskan lengannya. Dia pergi menjauh sementara kami bertiga melanjutkan perbincangan ringan. Setelah lima menit kemudian, kukatakan pada kedua laki-laki itu bahwa aku perlu ke kamar kecil. Mereka mengangguk.
Aku berjalan dengan sedikit terburu-buru. Tiba di toilet, aku mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan singkat pada Manajer Haven. Tidak kusangka beberapa menit kemudian ponselku berdering, tetapi nomor yang tertera pada layarnya adalah nomor orang asing. Kukira Manajer Haven yang menelepon.
Tanpa pikir panjang aku menolak panggilan telepon tersebut, tetapi ponselku kembali berdering. Nomor yang sama. Aku menolaknya lagi dan dia kembali menelepon. Terus berulang hampir sepuluh kali, pada akhirnya pun aku mengangkat panggilan tersebut karena kesal.
Aku diam, membiarkan siapapun yang berada diseberang telepon berbicara duluan. Aku tidak boleh mengatakan bahwa ini benar nomor Alee Bell pada setiap orang yang menelepon. Hanya ada suara napas memburu yang terdengar. Entah apa yang sedang dilakukan orang ini. Aku tetap diam menunggu ia berbicara.
"Babe, ini aku." Akhirnya dia berbicara.
"Sharoon?" Mantan pacarku. Mau apa dia? "Kita sudah putus. Jangan berbicara padaku."
"Kumohon jangan ditutup." Seakan tahu niatku untuk memutuskan panggilan, dia cepat-cepat mengatakan hal itu.
"Jangan menggangguku."
"Bisakah kita bertemu?"
Seorang staf masuk ke sini, dia menatapku lama, tampak ingin mengajakku berbicara. Aku menunjuk ke arah telepon, memberikan isyarat bahwa aku sedang menerima panggilan.
"Aku sibuk," kataku.
Staf perempuan itu menunjukkan sepuluh jarinya. Oh, dia ingin mengatakan pemotretan akan dimulai sepuluh menit lagi. Aku mengangguk paham dan ia pun keluar.
"Maafkan aku, Alee. Bisakah kita kembali seperti dulu?" Sharoon berbicara dengan tidak tahu malu. Dia pasti baru saja melihat tagline baru di internet mengenai drama baruku ini.
Sharoon yang sudah hancur dan tidak memiliki pekerjaan apapun lagi sepertinya ingin memperbaiki status sosialnya dengan hidup menempel denganku. "Tidak akan."
"Aku benar-benar minta maaf."
Aku diam.
"Hmm, kurasa aku perlu mengatakan ini." Ada jeda sejenak. "Aku bertemu dengan Ayahmu di penjara. Kamu merahasiakannya dari publik bukan? Kembalilah padaku, maka rahasiamu sebagai anak seorang narapidana akan aman."
Aku tertawa, "Apa kamu baru saja mengancamku? Itu tidak akan berhasil, Sharoon. Dia bukan Ayahku."
"Memang bukan Ayah biologismu, tetapi Ayah tirimu. Coba kuingat apa yang dia katakan padaku sebelumnya ya?" Dia diam sejenak, sebelum kembali berbicara, "Oh, Ibumu mati bunuh diri setelah menikah tiga kali."
"Sialan! Tutup mulut busukmu!"
"Kembalilah padaku atau aku akan berbicara ke media."
"Lakukan saja sesukamu! Mereka hanya akan bersimpati padaku. Aku tidak peduli!"
"Benarkah? Dramamu baru akan dimulai. Kamu tidak takut apa yang akan terjadi jika ada kontraversi lagi?"
"Aku tidak peduli."
Aku mematikan panggilan tersebut. Aku harus segera menelepon Ruby. Dia pasti bisa melakukan sesuatu pada serangga busuk satu ini. Akan tetapi, sebelum aku sempat menelepon seorang staf perempuan masuk kembali ke toilet. Ia memberitahuku pemotretan akan segera dimulai.
Sialan! Kuharap masalah ini bisa menunggu.