Lokasi pemotretan cukup ramai. Aku berkeliling memastikan semua hal sudah benar. Setelah itu mengecek jadwal Finn Hartigan pada buku notes yang selalu aku bawa-bawa. Besok pagi ada jadwal spa untuk Finn Hartigan yang sudah dipesan jauh-jauh hari. Namanya seorang aktor tentu menjaga ketampanan adalah hal yang wajib.
Aku masih membolak-balik lembaran pada notes memeriksa jadwal lainnya. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Menandakan ada sebuah pesan baru yang masuk. Nama Alee Bell tertera pada layar. Di saat seperti ini, perempuan itu pun masih saja sempat mengganggu.
Aku menyimpan notes ke saku celana. Melihat kanan-kiri memastikan tidak akan ada orang yang bisa mengintip ke layar ponselku. Entah kenapa aku seperti sedang melakukan tindak kejahatan kriminal jika itu berkaitan dengan Alee. Setelah yakin, aku mengusap layar dan melihat pesannya.
Alee: Semangat ;)
Hanya satu kata dengan emoticon kedipan mata. Astaga perempuan ini.
"Melihat Manajer Haven tersenyum lebar begitu, pasti sedang menerima pesan dari pacar, ya?" seorang staf perempuan tiba-tiba saja mengagetkanku. Secepat kilat, aku menyimpan ponsel. Dia tidak mengintip ponselku kan? Sepertinya masih aman.
Perempuan itu sedang memegang beberapa pakaian pria. Aku juga mengingatnya, dia stylists artist Finn Hartigan. Aku tersenyum ringan padanya kemudian berjalan menjauh.
Apa katanya tadi? Aku tersenyum? Apa benar aku tersenyum hanya karena pesan singkat dari Alee Bell? Perempuan aneh dan mencurigakan itu hanya menggangguku. Sepertinya ada yang salah dengan diriku. Jelas-jelas beberapa saat yang lalu pun aku juga melihat perempuan itu sengaja mendekati Finn Hartigan. Bisa-bisanya aku tersenyum hanya karena pesan semangat seperti ini.
***
Pukul 11 malam aku baru saja tiba di bar mengantarkan Finn Hartigan untuk bersenang-senang. Bar yang terletak di daerah pinggiran kota ini adalah bar yang cukup tertutup. Semua bintang ternama juga suka bermain di tempat ini karena privasinya yang terjaga dengan baik.
Sejujurnya, aku sangat tidak setuju jika Finn pergi ke tempat seperti ini. Apa jadinya jika ada seorang wartawan yang tanpa diduga sedang berada di sini? Citra baik Finn akan langsung hancur begitu saja. Sayangnya, Finn Hartigan bukanlah orang yang bisa diatur. Hidupnya sangat bebas, dia selalu saja melakukan apapun yang dia inginkan.
Aku hanya menunggu di parkiran luar sedang Finn mulai berpesta di dalam. Setidaknya, Finn Hartigan berjanji setelah hari ini, dia tidak akan mengunjungi tempat ini lagi sampai syuting dramanya selesai. Aku bisa sedikit bernapas lega.
Aku berdiri di luar, bersandar pada Mobil Porsche Panamera milik Finn Hartigan. Perempuan dari bar datang mendekatiku beberapa kali dan tentu saja aku menolak mereka semua. Keadaan ini sungguh tidak nyaman. Bisa kutebak, Porsche Finn yang mengundang kedatangan mereka. Perempuan-perempuan itu pasti mengira bahwa akulah pemiliknya. Ini cukup mengganggu.
Aku tahu, setidaknya Finn akan pulang pada pukul 3 atau 4 dini hari. Kurasa sebaiknya aku tidak menunggu dia di sini. Aku masuk ke mobil dan mulai berkendara pulang. Aku hanya perlu memastikan kembali ke tempat ini sebelum pukul 3 dini hari.
Ponselku berdering, belum terlalu jauh aku meninggalkan tempat itu aku sudah harus menepi. Tentulah, karena ini bukan mobilku aku harus berkendara dengan ekstra hati-hati. Apalagi melihat harga fantastis mobil ini membuatku lebih waspada lagi.
Chaty meneleponku, aku langsung mengangkat panggilannya. "Ada apa, Chat?"
"Ada yang bertamu," katanya.
Aku memegang kepalaku, "Tengah malam begini? Jangan masukkan siapa pun ke rumah! Apalagi pria. Chaty, kamu harus mendengarkan kakak."
"Ya ampun, ini tidak seperti yang kakak pikirkan." Ada jeda sejenak. Samar-samar aku mendengar suara perempuan di latar telepon. Entah apa yang dibicarakan chaty dan orang itu, aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Hal yang dapat kupastikan adalah tamunya perempuan. "Apa kakak akan segera pulang?" tanya Chaty.
"Ya. Aku sedang dalam perjalanan."
Setelah mematikan panggilan telepon aku kembali melanjutkan perjalanan pulang. Orang gila mana yang bertamu ke rumah orang pada pukul 11 malam. Apalagi seorang perempuan, mengapa ia berkeliaran keluar selarut ini? Untunglah, aku sedang membawa porsche milik Finn. Maafkan aku Finn, aku akan melaju dengan hati-hati.
Tiba di rumah, aku melihat sebuah Mobil Lamborghini Aventador diparkir di depan rumahku. Rumahku terlihat seperti gubuk tua reyot jika dibandingkan dengan lamborghini dan porsche yang diparkirkan di sini. Sangat kontradiktif sekali.
Masuk ke rumah, aku melihat Alee Bell berada di ruang tamuku. Dia duduk tersenyum sambil berbincang-bincang dengan Chaty. Dia tamunya? Mengapa dia di sini? Bagaimana dia bisa tahu rumahku? Astaga, semenjak bertemu dengan perempuan ini mengapa hidupku menjadi tidak tenang begini.
"Alee Bell?" kataku masih tidak percaya.
Alee tersenyum padaku.
"Kak Alee mengantarkan dompet kakak yang terjatuh di lokasi pemotretan hari ini," jelas Chaty.
Ternyata begitu, dompetku. Dia jelas tahu alamat rumah ini dari kartu identitas yang berada di dompetku. Aku juga baru sadar ternyata di meja ruang tamuku ada dompetku. Dia pasti meletakkannya di sana.
"Maaf bertamu larut malam seperti ini," kata Alee. "Kupikir kamu akan kesulitan besok jika aku tidak segera mengembalikannya."
"Ya, terima kasih." Aku duduk di sebelah Chaty. Bocah itu mendorongku dengan bahunya hingga tersungkur. "Hei!"
Chaty merentangkan kakinya, memamerkan dirinya yang bisa melakukan gerakan split. Kakinya memenuhi kursi panjang yang dia tempati. "Sudah penuh, kakak duduk di sana saja." Dia mengangkat dagunya ke arah Alee.
Adik kurang ajar!
"Aku akan mengambil minuman," kataku.
Chaty berdiri dan langsung mendorongku. Memaksa untuk duduk di sebelah Alee. Ada apa dengan bocah ini?!
"Aku saja! Kakak-kakak silakan mengobrol berdua." Dia cekikikan sebelum melangkah pergi ke dapur.
Sialan! Sepertinya bocah itu salah paham. Dia pasti mengira ada hal yang tidak-tidak di antara aku dan Alee Bell. Bocah kurang ajar! Akan kupotong uang jajannya besok.
"Adikmu lucu juga ya?" kata Alee tiba-tiba.
Aku menatapnya. "Chaty? Tidak sama sekali."
"Pasti menyenangkan jika punya saudara ya? Kamu juga tidak perlu sendirian di rumah," ucap Alee. Matanya menjelajahi ruang tamuku.
Aku bisa menangkap nada kesepian dari suara perempuan itu. Aku hanya diam mendengarnya berbicara. Dia bercerita bahwa dia adalah anak tunggal, orang tuanya juga sudah lama meninggal. Jika di luar urusan pekerjaan, dia lebih sering sendirian.
"Manajer Haven," dia mendekatkan wajahnya padaku. Aku duduk dengan kaku. Apa yang mau dilakukannya sekarang? "Bolehkan aku memanggilmu dengan nama depan?"
Aku diam sejenak. Dia terlalu dekat! Otakku tidak dapat memikirkan apa-apa jika dia berada sedekat ini. Semenit kemudian, aku menjawab, "Ya, tentu saja."
Dia menjauhkan wajahnya dan tersenyum senang. "Noah," kata Alee. Mencoba memanggil namaku.
Entah mengapa namaku terdengar luar biasa sempurna saat disebut oleh Alee. Sejak menjadi manajer Finn Hartigan, jarang sekali ada orang yang memanggil nama depanku. Aku juga tidak punya banyak waktu untuk sekadar berkumpul bersama teman-temanku. Sudah lama sekali tidak ada yang memanggilku begitu. Aku merasa pertahananku akan perempuan ini mulai runtuh hanya karena ia menyebutkan namaku. Tidak, tidak. Dia tetaplah perempuan aneh, dan mencurigakan, aku harus tetap waspada.
"Noah. aku senang sekali bisa memanggilmu, Noah!" ulangnya lagi, seakan namaku adalah sebuah mantra ajaib yang dapat mengundang seribu kebahagiaan dan aku pun tersenyum mendengarnya.