"Tunggu, apa kamu keberatan jika berbicara berdua saja denganku?"
Tentu saja tidak! Kamu kan targetku selanjutnya.
"Kak, tolong tunggu sebentar," ucapku pada Kak Rienna.
Kak Rienna mengangguk. Kemudian, Manajer Haven dan Kak Rienna pun pergi. Kini tinggal aku bersama Finn Hartigan.
Fin mengenakan kemeja hitam dengan dua kancing bagian atas terbuka. Rambutnya tampak sedikit berantakkan. Dia memang tampan, dari cara berpakaiannya saat ini aku asumsikan bahwa dia sengaja ingin menggodaku.
Menurut pengamatan singkatku, Finn tipe laki-laki yang suka tebar pesona. Dia juga sadar diri bahwa dia tampan, karena itulah dia memanfaatkan wajahnya dan menggunakan pakaian yang semakin membuatnya menarik perhatian. Finn juga bertubuh atletis. Keliatan kekar berotot tetapi, tidak berlebihan. Jelas saja, orang seperti dia pasti dipuja-puja banyak perempuan.
Aku tersenyum, sesekali mencium harum bunga pemberiannya. Berhadapan dengan tipe laki-laki ini aku tidak boleh terlihat terlalu agresif. Jika aku terlalu kentara menggodanya, dia hanya akan senang di awal tetapi, akan cepat merasa bosan. Lalu, mencampakkanku untuk mencari hal perempuan lain. Tentu aku tidak ingin itu terjadi. Setidaknya, hubunganku harus baik hinggal drama kami selesai. Hal yang perlu kulakukan sekarang adalah memasang wajah polos dan bermain tarik ulur.
"Aku minta maaf atas masalahmu, karena penggemarku bertindak begitu, kamu terancam mundur dari dramanya." ia mulai berbicara. Tubuhnya sedikit maju ke depan dengan bertumpuan pada siku di meja. "Jujur saja, aku tidak mau peranmu digantikan orang lain."
"Aku juga sangat menanti-nantikan bermain peran denganmu," kataku. "Aku sudah menonton semua drama yang kamu perankan. Menurutku kemampuan aktingmu luar biasa."
Poin penting yang harus digaris bawahi adalah, tipe laki-laki seperti Finn jelas senang dipuji. Dia akan semakin melambung tanpa merasa malu sama sekali.
"Ya! Aku tahu. Apalagi dalam drama terakhirku You Are Mine Lady, kamu juga pasti suka dialogku," dia bedeham. "Kamu tidak akan bisa lepas dariku, karena kamu milikku dan aku milikmu my lady." Dia mengatakan ulang dialog favorit pilihan penonton dalam drama tersebut. Suaranya terdengar berat dan seksi. Jelas saja laki-laki ini akan membuat jantung wanita melompat keluar dengan suara seseksi seperti itu. Walaupun, tidak berlaku untukku.
Aku menutup mulut dengan tanganku, menunjukkan tanda takjub atas apa yang dia lakukan barusan. "Aku tidak percaya bisa melihatnya secara langsung."
Dia tiba-tiba saja memegang tanganku. "Kamu akan lebih sering melihatnya jika menjadi lawan mainku dalam drama baru nanti," ucapnya sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum. Kemudian, seorang pelayan mengantarkan makanan yang kupesan sebelumnya. Secepat kilat aku menarik tanganku dari Finn. "Terima kasih," ucapku pada si pelayan dan dibalas dengan anggukkan ringan.
"Kuharap kamu tidak keberatan dengan steak medium rare. Maafkan aku karena tidak bertanya padamu lebih dulu," kataku dengan sopan.
"Oh aku juga suka medium rare." Dia mengambil pisau dan garpu. Kemudian, memotong daging. Aku juga melakukan hal yang sama.
"Kenapa kamu ingin berbicara berdua saja denganku?" Aku mulai bertindak sok polos.
"Entahlah, apa kamu bisa menebaknya?" Dia mengedipkan sebelah matanya padaku. Rasanya aku ingin melempar pisau di tanganku padanya. Serius! "Aku akan membantumu mendapatkan peran itu,"katanya lagi.
"Tidak, tidak. Jangan begitu."
"Aku serius mau melakukannya untukmu."
Na-na-na, not another breakup
When I think of you, I just wanna throw up.
Tiba-tiba saja nada dering ponselku berbunyi. Aku mengambil ponselku dan meminta pengertian Finn. Dia mengangguk, dengan cepat aku berjalan keluar ruangan.
Pada layar ponselku tertera nama Ruby Phalosa. Dia seorang detektif swasta, perempuan yang luar biasa. Ruby juga merupakan sahabatku sejak kecil. Jika ada yang bertanya siapa orang yang paling mengenalku di dunia ini, jawabannya adalah Ruby Phalosa. Ia mengetahui hampir semua kisah hidupku termasuk sisi gelap yang aku miliki.
Dulu, kami bertetangga. Sewaktu kecil dia anak yang cengeng dan manja, siapa yang mengira jika dia yang seperti itu menjadi seorang detektif swasta? Selama ini pun, Ruby adalah orang yang selalu membantuku mengungkap kebusukkan semua laki-laki yang pernah kukencani. Dia bisa menemukan apapun tanpa terkecuali. Walaupun, ada satu permintaanku yang selama bertahun-tahun ini belum juga bisa dia penuhi, aku memintanya untuk mencari seseorang.
"Aku menemukan orang yang berada dibalik artikel buruk tentangmu itu," kata Ruby, langsung setelah aku mengangkat teleponnya.
Aku mendesah pelan, "tidak, tidak diperlukan. Maaf bukan bermaksud membuat usahamu sia-sia. Kamu memang terlalu baik bahkan melakukan hal yang tidak aku pinta begitu."
"Berhentilah bersikap menggelikan dengan mengatakan maaf dengan nada rendah menggodamu itu! Ini hanya aku," katanya.
Aku tertawa pelan, "Aku mulai terbiasa seperti ini."
"Kumohon jangan. Rasanya aku ingin muntah. Huek" Dia menirukan suara muntahan. Aku semakin tertawa.
"Baiklah cukup. Aku yakin ada hal lain yang ingin kamu katakan bukan?"
"Aku menemukannya." Nada bicaranya terdengar serius. "Belum pasti tetapi, aku menemukan jejaknya."
Aku terdiam sejenak. Aku tahu apa yang dikatakannya. Dia menemukan jejak orang itu.
"Kurasa kita harus bertemu, lagipula sudah lama aku tidak bermain ke rumahmu bukan?" Kata Ruby.
Aku mengangguk seakan Ruby bisa melihatnya dari seberang telepon, "Datang saja. Kamu tahu, kamu satu-satunya orang yang kuperbolehkan datang tanpa perlu melihat jadwalku."
"Ya, jadwal kosong harianmu selalu diatas pukul 1 malam. Aku akan ke sana sebentar lagi."
Aku melirik jam di ponselku, sudah hampir pukul 11 malam. "Datanglah lewat tengah malam. Saat ini aku ada kencan."
"Wah, setelah rumor itu masih ada yang berani mendekatimu ya? Kukira masa jayamu sudah habis." Dia tertawa pelan.
"Sialan! Kamu tahu aku dengan baik."
"Kali ini siapa orangnya? Kamu juga perlu menceritakan kencanmu padaku malam ini."
"Finn Hartigan."
"Wow! Luar biasa."
"Selidiki dia. Aku harus kembali pada teman kencanku." Aku melirik ke arah Launge. "Kurasa kita sudah berbincang cukup lama."
"Sampai jumpa di malam panas kita nanti." Dia tertawa dan mematikan teleponnya. Orang-orang bisa saja salah paham jika mendengar ucapannya itu. Untung saja kami hanya berbicara melalui telepon.
Aku segera masuk kembali, menemui Finn.
"Maaf menunggu lama, sampai di mana pembicaraan kita tadi?" tanyaku setelah duduk.
***
Sudah hampir pukul 2 dini hari ketika aku tiba di rumah. Tidak kusangka menghabiskan waktu selama ini. Dari luar, aku melihat lampu kamarku menyala. Itu pasti Ruby. Dia memang punya kunci rumahku.
Orang-orang pasti bertanya-tanya. Mengapa ia memegang kunci rumahku? Alasannya hanya satu karena, ia adalah orang yang paling aku percayai. Aku bahkan tidak memiliki asisten rumah tangga di rumah besar ini. Biasanya, kak Rienna akan menolongku membersikan rumah berdua. Wajar saja jika sampai saat ini, alamat rumahku masih sangat terjamin kerahasiaanya.
Aku masuk ke rumah dan benar saja, ketika tiba di kamar, Ruby Phalosa sudah menungguku. Dia menggenakan baju tidur, rebahan di ranjangku dengan beberapa kertas berserakkan.
"Oh aku hampir mati kebosanan menunggumu pulang," katanya melihatku. "Kencanmu lumayan lama juga."
"Ya begitulah. Dia lumayan tampan, tetapi kosong." Aku duduk di ranjang.
Ruby ikut duduk, ia menatapku, "Apa maksudmu kosong?"
"Kita bahas itu saja dulu." aku menunjuk tumpukkan kertas di ranjangku.
"Oh benar, aku akan tunjukkan padamu," katanya, mengambil selembar kertas. "Seseorang bernama Carl mengaku mengenalnya, dia berada dikota Y pada 14 tahun yang lalu."
"Kamu yakin orang itu benar-benar mengenal dia?"
"Ya, dia mengenal Ayahmu."