Jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Aku sudah duduk di sofa ruang tamu sembari memandang keluar jendela. Menikmati pemandangan hijau di tamanku.
Taman itu hanya dihiasi oleh tiga buah pohon apel. Ketiganya belum pernah menghasilkan apa-apa. Padahal jelas aku menanamnya di sana dengan maksud menjadikan apel-apel itu sebagai menu sarapan pagiku.
Secara perlahan aku meneguk minuman di tangan. kemudian, memutar-mutarkan gelas berkaki ini dengan ringan. Pagi yang sungguh damai. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang ada di kepalaku. Setidaknya pagi ini aku harus sedikit bersantai. Aku menengadahkan kepala kemudian meneguk minumanku lagi.
"Alee, yang ditanganmu itu jus jeruk?" tanya Ruby tiba-tiba. Dia ini menganggu imajinasiku saja. Ruby berjalan mendekat sambil membawa sebotol minuman soda dan camilan ringan dengan nampan.
Aku melirik cairan kuning menyegarkan di gelasku. "Ya, kenapa?" tanyaku dengan suara selembut mungkin.
"Kenapa kamu bertingkah seolah sedang minum alkohol?" Dia bertanya dengan raut wajah yang seolah mengatakan aku perempuan teraneh di muka bumi.
"Aku mabuk jus jeruk." Aku tersenyum kecil.
Ruby melempariku dengan segenggam camilan yang ia bawa. "Sejak kapan jus jeruk membuat mabuk!"
Aku tidak boleh minum alkohol. Menjadi seorang bintang ternama tentulah harus pandai menjaga kesehatan dan bentuk tubuh dengan baik. Setelah kemarin malam makan steak bersama dengan Finn, aku tidak boleh makan daging lagi selama beberapa hari ke depan atau bahkan, lebih parah lagi selama beberapa minggu ke depan. Malam ini aku juga harus pergi ke gym. Kembali menjadi kambing yang hanya makan daun. Apa yang bisa kulakukan dengan menu makanku yang menyedihkan? Aku memiringkan kepala sedikit kembali merenung. Hidupku kacau, menu makananku juga kacau.
Ruby meletakkan nampannya dengan kasar di meja. Kemudian, memandangku dengan tatapan seolah sedang melihat sesuatu yang menjijikkan. "Tolong hentikan itu." Aku tahu, Ruby tidak suka melihatku bertingkah seperti ini. Akan tetapi, mau bagaimana pun juga aku hanya bisa bertingkah seperti ini di depannya.
"Ruby, bagaimana hubunganmu dengan pacarmu?" tanyaku mengganti topik pembicaraan kami.
Tidak sepertiku yang tidak percaya dengan konsep cinta dan pernikahan yang indah, Ruby sangat menginginkan akhir bahagia seperti itu dalam hidupnya. Sayangnya, berkencan dengan Ruby sama artinya dengan tidak ada lagi rahasia. Mengingat pekerjaan Ruby, semua laki-laki selalu saja mendapatkan nilai minus dan gagal pada awal proses pendekatan.
"Aku tidak punya pacar, berhentilah menyebutnya begitu." Ruby duduk tepat di depanku. Aku juga tahu Ruby tidak punya pacar, aku hanya ingin sedikit mengejeknya saja.
"Lalu, disebut apakah hubunganmu dan polisi itu?" Aku meletakkan minumanku di meja.
"Rekan. Oh bukan, saingan yang manis? Entahlah. Pihak kepolisian tidak pernah suka dengan keberadaan detektif swasta sepertiku." Dia meneguk minuman sodanya langsung dari botol. Terdengar bunyi yang keras ketika ia meletakkanya kembali.
Aku tahu, bagaimana hubungan persaingan manis mereka akan berakhir. Aku melihat Ruby sambil tersenyum. "Aku lebih mengandalkanmu. Kamu sangat berdedikasi tinggi dengan pekerjaanmu," kataku tulus. Kulihat Ruby memasang wajah seolah-olah mau muntah karena aku memujinya. Aku tertawa pelan. "Kamu bisa menemukan orang itu, ingat?"
Aku tidak ingin menyebut orang itu sebagai Ayahku. Konsep Ayah dan anak hanya membuatku muak. Jika orang lain tahu, tentu saja mereka akan beranggapan aku ini kasar, sangat tidak sopan dan sebagainya. Akan tetapi, siapa peduli? Aku? Tidak sama sekali.
"Apa kamu mau menemui pria bernama Carl itu?" tanya Ruby.
Aku diam sejenak. Jujur saja, jika bisa aku sekarang pun aku ingin langsung melajukan mobilku pergi ke Kota Y. Sekalipun aku membenci orang itu, aku harus berhasil menemukan dia. Sayangnya, aku tidak bisa seperti itu, mengingat siapa aku sekarang. "Tidak. Tolong uruskan itu untukku," ucapku pada akhirnya.
"Tenang saja, aku akan mengurusnya," katanya. "Lalu soal Finn. Kamu tahu, aku butuh waktu sekitar satu, dua hari untuk itu." Dia mengunyah camilannya. Ugh, aku iri dengan dia yang bisa bebas makan seperti itu.
"Santai saja, Ruby."
Tiba-tiba terdengar suara mobil menderu. Suaranya berhenti ketika tiba tepat di depan rumahku. Tanpa melihatnya pun aku sudah tahu dengan pasti jika itu pastilah Kak Rienna. Tidak akan ada tamu yang datang di pagi hari seperti ini jika bukan dirinya.
Aku memegangi kepala, berjalan dengan sempoyongan menuju pintu. Baru beberapa langkah saja, aku sudah dilempari camilan lagi oleh Ruby.
"Sialan, sudah kubilang hentikan! Itu hanya jus jeruk!" pekiknya. Aku tertawa.
***
Pukul 10 pagi, aku tiba di kantor Moon Entertaiment. Kak Rienna berkata bahwa Ceo Danesha Addison ingin berbicara denganku. Di sinilah kami berakhir sekarang.
Aku berada di lantai 30, Lebih tepatnya dalam ruangan CEO Addison. terdapat beberapa piala penghargaan yang aku dapatkan. Ada juga lukisan CEO Addison bersamaku berada pada dinding tepat di belakang kursi kerjanya. Wajar saja, aku adalah aktris kebanggaan terbesar di Moon Entertaiment. Pada dinding di sebelahnuya, hanya ada dinding kaca.
Perempuan paruh baya itu tampak duduk dengan santai mengamatiku dan Kak Rienna. Ia menggunakan pakaian dengan warna mencolok. Perpaduan antara merah muda dan ungu. Selera fashionnya memang patut diragukan tetapi, karena mengikuti aturan dialah aku bisa menjadi aktris sebesar ini.
Dia mulai berdiri dari kursinya. "Alee, aku tidak melarangmu pacaran sejak 3 tahun lalu," katanya.
Semua bintang di Moon Entertaiment memang baru boleh berpacaran saat usianya 26 atau 27 tahun. Alasannya adalah, para bintang pun pastilah ingin hidup bahagia dan berkeluarga, terkecuali aku.
"Belakangan, aku dengar kamu bahkan memiliki pacar rahasia sejak awal menandatangani kontrak."
Aku selalu bermain dengan cantik. Ia pasti mengetahuinya karena gosip tentangku belakangan ini.
"Berapa jumlahnya?" katanya lagi.
Aku kebingungan, "Jumlah apa?"
"Berapa banyak mantan pacarmu." Nada bicaranya bukanlah sebuah pertanyaan melainkan, lebih seperti pernyataan. Aku tidak perlu menjawabnya. "Aku kira pandangan publik akan berubah setelah melihatmu menangis pada acara gosip pagi," lanjutnya.
Bukankah memang sudah sedikit mereda? Walaupun belum hilang sepenuhnya sih. Buktinya, drama baruku juga masih ditunda.
"Di internet banyak yang mulai menulis komentar jika mereka pernah berpacaran denganmu dan benar saja, semua tidak berakhir dengan baik," katanya lagi. "Bantahlah semuanya. Jangan mengakui kamu pernah pacaran selain dengan orang-orang yang muncul di artikel bersamamu."
Oh itu mudah.
"Lalu, selamat. Finn bersikeras akan meninggalkan drama itu jika bukan kamu lawan mainnya."
Wah, perkataan Finn Hartigan malam itu benar-benar serius ternyata.
"Kamu mendapatkan perannya."
Aku tersenyum, penuh kemenangan.
***
Aku menunggu Kak Rienna di lobby Moon Entertaiment. Dia sedang pergi ke kamar kecil. Semua barang-barangnya dia tinggalkan di meja tepat di depanku.
Terlintas sebuah ide menarik dalam kepalaku. Aku meraiu ponsel Kak Rienna, mencari nama seseorang.