"Finn ingin segera bertemu denganmu," kata manajer Haven.
Aku bersedekap dada, dan mulai mengamatinya. Dia tidak jelek, itu kesan pertamaku. Bukan seseorang yang bisa dikatakan tampan tetapi, hanya tidak jelek saja. Kemeja birunya terlihat basah, penuh dengan keringat. Dari penampilan Manajer Haven, aku kira-kira paham bagaimana perilaku Finn Hartigan.
Sebelumnya, aku pernah bertemu dengan Finn di hari pembacaan naskah pertama. Akan tetapi, aku sama sekali tidak melihat kehadiran manajernya di sana. Kupikir, manajernya tidak kompeten karena membiarkan bintangnya berkeliaran sendirian. Hari ini dugaanku dipatahkan. Finn sepertinya memperlakukan Manajer Haven selayaknya seorang pelayan. Dugaanku sekarang adalah pada hari itu, Manajer Haven sedang diperintah melakukan sesuatu untuk Finn. Tidak kuduga Finn Hartigan memiliki kepribadian yang buruk juga.
"Seharusnya, kamu menelepon manajerku untuk mengatur jadwal pertemuan. Tidak perlu bersusah payah menemuiku," kataku sambil memegang bahunya dengan gerakkan yang sangat alami. Benar, aku sedang menggoda laki-laki malang ini. "Kudengar Finn menolak menjadi bintang tamu di sini. Mengapa ia harus membuat manajernya susah payah datang?" lanjutku, melepaskan tangan dari bahunya dan memasang ekspresi bingung yang polos. Bagi seorang aktris berbakat sepertiku, akting seperti ini bukanlah hal yang sulit.
Aku sudah memantapkan hati, targetku selanjutnya adalah Finn Hartigan. Para penggemarnya itu sangat menyusahkan, karena mereka jadwalku jadi tertunda dan aku harus berada di tempat ini sekarang. Aku tidak suka. Lagipula, jika benar Finn memiliki perilaku yang buruk itu berarti memang pilihan tepat bagiku untuk menjadikan dia targetku.
"Dua menit lagi, Anda akan masuk," kata seorang staf, aku mengangguk pelan.
Pertemuanku dengan manajer ini tidak boleh berakhir begitu saja, aku harus melakukan sesuatu yang membuatnya terkesan dan memaksanya memikirkanku. "Mana ponselmu? Aku akan memberikan nomorku," kataku buru-buru.
Noah Haven tampak terkejut. Aku melihat matanya sedikit melebar. Tentu sajalah, seorang Alee Bell memberikan nomor ponselnya secara sukarela bukanlah peristiwa yang biasa. Aku bintang paling bersinar saat ini, ingat?
Dia terkejut tanpa tahu maksudku. Tujuanku saat ini hanya satu. Aku harus memanfaatkan Manajer Haven.
"Manajer Haven, senang bertemu denganmu." Aku tersenyum sambil mengembalikan ponselnya. Semoga saja dia memang orang yang berguna untukku.
"Kita sambut bintang paling panas minggu ini, ALEE BELL!"
Clara Brooke sudah memanggil dari panggungnya.
***
"Ini dia Alee Bell! Bagaimana perasaanmu sekarang? Ini kali pertama kamu berada dalam acaraku bukan?" tanya Clara.
Aku memperlihatkan senyuman manis ke arah kamera sebelum menatap Clara. "Ya, rasanya mendebarkan. Duduk di hadapanmu sama saja seperti berada di kursi panas."
Ia tertawa. "Itu benar! Mari kita ungkap bersama beberapa fakta menarik dari Alee Bell."
Sebuah video singkat tentang profilku ditayangkan pada layar besar di belakang kami. Setelah penayangan itu selesai Clara bertepuk tangan.
"Wow, luar biasa sekali! Oh iya, ada satu fakta yang belum terungkap di sini loh," katanya mulai memancing rasa penasaran penonton.
Aku sudah membaca naskahnya. Kurang lebih ia mau mengungkapkan bahwa kami berteman. Walau kenyataannya kami tidaklah sedekat itu.
"Aku dan Alee teman satu SMA!" ungkapnya.
Aku berpura-pura tersenyum dan bertepuk tangan ringan, memperlihatkan diri bahwa aku senang dengan fakta yang Clara sebutkan. Padahal, tidak. Tidak sama sekali.
Permainan ini baru saja dimulai. Jika Clara Brooke adalah seekor ular, yang pandai memangsa dan menjatuhkan siapa saja maka, aku ini rubah. Aku sangat mahir memikat dan bersandiwara. Kami sama-sama tahu bahwa senyuman dan sikap riang yang kami tunjukkan di depan kamera semua palsu. Kami bukanlah teman melainkan rival sedari dulu.
"Aku masih ingat sejak kelas 2, kita seringkali berada pada audisi yang sama. Ya ampun! Masa-masa itu menyenangkan. Dulu, kamu selalu diantar oleh pacarmu yang ketua klub basket itu kan?"
Nah dia sudah mulai memancing kembali. Aku tersenyum.
"Sekarang bagaimana kabarnya ya?" Wajahnya tampak penasaran.
"Aku tidak tahu, itu sudah lama sekali."
"Oh kamu tidak berhubungan lagi dengannya ya?" dia jelas sudah tahu jawabannya. "Sayang sekali, padahal dia tampan dan terlihat sangat sayang padamu."
"Itu hanya cinta monyet. Dia memang baik sih, tetapi kami sudah putus bahkan sebelum aku main film pertamaku," jelasku dengan tenang.
"Tahu tidak, aku mendapatkan kabar terbaru darinya. Dulu dia itu kan anak orang kaya tetapi, sekarang katanya dia bekerja sebagai pelayan restoran. Aduh, bagaimana bisa ya?"
Halus sekali caranya menggiring opini publik untuk membenarkan gosip tentangku. Dia ingin memberi tag line baru bahwa aku sudah menjadi pembawa sial sejak remaja. Tanpa perlu dikatakan secara langsung, aku tahu maksud si ular ini.
"Bagaimana kamu bisa tahu hal itu? Aku saja tidak tahu."
"Aku ini setara dengan detektif profesional." Dia mengibaskan rambutnya dengan sombong.
"Wow, aku yang mantannya saja tidak tahu. Oh, ataukah kamu masih suka padanya? Kamu pernah menyatakan cinta walaupun kamu tahu dia pacarku dan berakhir dengan penolakan bukan? hahaha ya ampun aku sampai bernostalgia," aku mulai menantangnya.
"Ya ampun, itu sudah lama sekali."
"Benar dan rumor tentang kamu yang ditolak adalah berita paling panas di SMA waktu itu." Aku tersenyum penuh kemenangan. Ha! Dia kira jika aku jatuh dia tidak akan jatuh? Tentu saja aku akan menariknya bersamaku.
"Whahaha. Ya ampun aku jadi malu." Dia sedikit menunduk dan menutup mulutnya. "Kurasa sudah cukup kita bernostalgianya. Aku dengar belakangan ini kamu disebut-sebut sebagai dewi. Bagaimana penonton apa kalian setuju? Alee sangat cantik sekali sampai bisa disebut sebagai dewi."
Ini dia menu santapan utamanya.
***
Aku membasuh tanganku di wastafel toilet. Kemudian, memoleskan lipstik berwarna peach. Biasanya, aku suka menggunakan warna merah tetapi, untuk hari ini sengaja aku ingin menunjukkan kesan polos.
Akhirnya acara gosip pagi ini selesai juga. Jujur saja, aku tidak berharap banyak pada acara Clara Brooke untuk bisa menyelesaikan masalah artikel-artikel bodoh itu. Aku tidak bisa menghindari fakta bahwa mantan-mantan pacarku memang bernasib buruk. Aku hanya perlu bersikap bahwa, aku yang malang selalu berkencan dengan pria yang salah. Setelah hari ini aku pasti akan dianggap sebagai perempuan bodoh yang mudah terjerat tipu daya laki-laki tampan. Sebenarnya itu tidak menyenangkan tetapi, jelas akan lebih mempermudah urusan pribadiku. Memberi label diri perempuan lemah yang mudah dimangsa sama saja dengan mengundang para laki-laki sampah.
Braaak!
Pintu toilet tiba-tiba dibuka dengan kasar. Aku dapat melihat dari cermin Clara berjalan masuk dengan wajah menahan amarah. Wah, apa aku harus sering-sering hadir ke acara ular betina ini ya? Melihat wajahnya seperti itu membuatku merasa sedikit senang.
"Bagaimana mungkin kamu mengatakan tentang itu tadi?!" dia berteriak padaku.
"Sesuai tag line acaramu. Apa yang terungkap adalah fakta-fakta," jawabku acuh tak acuh.
"Perlukah kamu mempermalukan aku? Ya ampun! Apa yang akan orang-orang pikirkan tentangku sekarang."
"Coba berkaca, siapa yang lebih dulu mencari masalah dengan membahas soal Hans." Hans adalah nama pacarku semasa SMA.
Aku menepuk pelan pundak Clara dan berjalan pergi dengan penuh kemenangan.