Aku berlari dan terus berlari, membawa botol berisi jus jeruk, salad dan makanan ringan. Ini baru pukul 4 pagi tetapi, aku sudah harus berlari dari Basement Apartemen Mewah High High Star. Selanjutnya disingkat, HHS.
HHS, sendiri terkenal sebagai rumah para bintang. Salah satunya adalah Finn Hartigan, orang yang membuatku harus membuat minuman dan makanan ini subuh-subuh sekali. Mana ada toko yang buka pada jam-jam seperti ini kan? Untung saja aku bisa membuatnya.
Aku, Noah Rann Haven. Berusia 27 tahun, masih melajang karena disibukkan dengan pekerjaan sebagai manajer dari Finn Hartigan. Orang-orang biasa memanggilku Manajer Haven, sedangkan Finn, hanya akan memanggilku dengan "Hei!" atau "Woy!" Walaupun aku sudah 3 tahun menjadi manajernya tetapi, sungguh aku ragu orang itu mengingat namaku.
Aku menekan tombol lift dengan siku, dan langsung masuk dengan tergesa-gesa. Finn bilang, dia ingin aku sampai sebelum setengah 5 pagi. Entah kenapa dia mau memakan semua ini subuh-subuh. Padahal, jadwal paginya sudah dibatalkan.
Hari ini, jadwal pertama Finn adalah syuting iklan pada pukul 1 siang. Sedangkan aku harus pergi menemui produser dan sutradara drama terbarunya pada pukul 9 pagi. Jika saja orang ini tidak bertingkah, aku masih akan meringkuk di kasurku seperti kepompong. Semenjak bekerja dengannya aku tidak punya waktu tenang sama sekali. Rasanya, aku hampir gila!
Tiba di depan pintu, aku langsung menekan password rumahnya dan masuk. Pemandangan pertama yang kulihat adalah, Finn tertidur di sofanya dengan sangat tidak aesthetic.
Dia tidur dengan posisi yang aneh, kepalanya terbaring di lantai dengan pinggul bersandar pada sofa dan kaki berada di atas sofanya. Pakaiannya sedikit terangkat, dia juga mendengkur dan berliur. Aku menggeleng heran. Finn Hartigan yang dipuja ribuan perempuan, berpose seperti itu. Bahkan, Finn mendapatkan julukkan Dewa Ketampanan, walau di mataku Finn lebih seperti Dewa Kegilaan.
Aku berjalan ke meja makan, menyusun apa yang kubawa ke meja. Finn itu paling tidak suka jika ada yang mengganggu tidurnya. Aku tidak bisa membangunkannya jika bukan dalam keadaan terdesak. Aku iri melihat dia bisa tidur seperti itu. Seharusnya aku masih tidur, jika dia tidak menelepon pada pukul 1 dini hari dan membuatku kesusahan seperti ini. Dia saja masih tidur.
"Meooow."
Aku melihat ke bawah. Seekor kucing persia betina dengan bulu lebat bewarna oren. Ia sedang mengosokkan tubuhnya pada kakiku. Kucing selalu bangun pagi. Rajin sekali tidak seperti pemiliknya yang masih tertidur dengan pose aneh.
"Selamat pagi, Piggy." Aku menggendongnya. Kucing ini, entah kenapa Finn memberinya nama Piggy. Padahal, sudah jelas ini kucing bukan babi. "Kamu lapar ya? Coba ke sana dan bangunkan pemilikmu." Aku menurunkan Piggy sambil menunjuk-nunjuk ke arah Finn.
Menunggu kucing itu melakukan tugasnya, aku mulai menyibukkan diri lagi. Tak butuh waktu lama, aku sudah bisa mendengar suara Finn yang bergumam-gumam entah apa. Dia sudah bangun. Aku meletakkan sendok dengan sedikit keras agar ia tahu aku sudah berada di sini.
"Hei! Sudah datang?" Kata Finn, ia berjalan mendekat. "Wah, kelihatannya enak. Jangan berbohong dengan mengatakan kamu yang membuatnya lagi, oke. Katakanlah dengan jujur ini kamu beli di mana?"
Sialan Finn, dia pikir aku BISA membeli makanan ini di mana pada jam seperti ini! "Seperti biasa, semua dari rumahku."
Dia tidak menanggapi. Finn memandang makanannya dan mulai menyantap. "Aku ingin kamu menemui Alee Bell," ucapnya tiba-tiba.
"Untuk apa?"
"Hei, kamu tahu gosipnya bukan? Aku harus bicara dengannya. Sampaikan itu, pagi ini juga."
Dia mulai memerintah lagi.
***
Setelah mencari tahu ke sana-sini, barulah aku tahu jika Alee Bell akan tampil di acara gosip pagi "Buah Bibir Pekan Ini." Aku tidak mengira pihak manajemen Alee akan mengizinkannya tampil di acara gosip setelah apa yang terjadi padanya.
Normalnya, orang akan menghindari tanya jawab dengan siapa pun. Sebaliknya, yang dilakukan Alee seperti sedang menjemput maut. Apalagi jika ia berbincang dalam acara Clara Broke. Jika dia kalah ketika adu mulut dengan Clara maka, tamatlah sudah kariernya.
Finn, sebenarnya juga diundang dalam acara ini tetapi, pihak kami menolak. Selain resikonya yang tinggi, Finn tidak ingin terlibat jauh dalam masalah orang lain. Aku pun setuju dengannya. Saat kamu menjadi seorang bintang, kamu harus selalu berhati-hati dengan langkahmu.
Acara itu sendiri akan berlangsung mulai dari pukul 8 pagi. Sekarang sudah pukul 7.45 pagi. Aku harus berlari—lagi—di dalam stasiun televisi. Semenjak aku mengambil pekerjaan ini, sial aku rasa menemukan bakat lain dalam diriku, sebagai atlet lari.
Akhirnya, aku melihat Alee Bell. Dia sedang berbincang dengan seorang staf. Sepertinya sedang briefing sebelum masuk panggung. Sudahlah tak ada waktu lagi. Aku mendekati mereka berdua.
"Hai. Aku manajer dari Finn Hartigan. Noah Haven," kataku sedikit membukuk dan masih terengah-engah. Lelah sekali. Peluh sudah membanjiri tubuhku.
Tiba-tiba perempuan itu memegang tanganku dan memberikan sebuah sapu tangan bewarna merah di tanganku. "Lap dulu keringatmu itu," katanya.
"Terima kasih." Aku mulai mengelap peluh di wajahku.
"Ada apa Manajer Haven?" Dia bertanya. Bisa kukatakan suaranya saat berbicara itu terdengar manis sekali. Aku tidak bisa membayangkan jika orang seperti dia bisa membawa nasib buruk bagi pria-pria malang. Gosip itu selalu dilebih-lebihkan bukan?
"Finn ingin segera bertemu denganmu," jelasku.
Ia diam sejenak, mengamatiku. Matanya menjelajah, melihatku dari atas sampai bawah. Wajahnya memang cantik sekali, dia juga memang berbakat dalam berakting, dan memiliki suara yang manis tetapi tatapan matanya entah kenapa seperti berarti sesuatu yang salah. Aku balas menatap matanya.
"Seharusnya, kamu menelepon manajerku untuk mengatur jadwal pertemuan. Tidak perlu bersusah payah menemuiku." Dia memegang bahuku. "Kudengar Finn menolak menjadi bintang tamu di sini. Mengapa ia harus membuat manajernya susah payah datang?"
Si dewi nasib buruk ini ternyata orang yang sangat pengertian. Dia benar, seharusnya aku bisa menelepon manajernya saja tetapi, bukan itu yang diperintahkan Finn. Dia akan berulah jika aku tidak melakukan perintahnya dengan baik.
"Dua menit lagi, Anda akan masuk," kata seorang staf di sana.
Alee menangguk paham, dia kembali menatapku. "Mana ponselmu? Aku akan memberikan nomorku," katanya.
Entah apa yang dia pikirkan. Bukankah, seharusnya orang seperti dia tidak memberikan nomor ponselnya begitu saja? Aku kan, hanya perlu berbicara dengan manajernya bukan dia. Walaupun begitu, tanganku tetap saja bergerak menyerahkan ponsel padanya.
"Manajer Haven, senang bertemu denganmu." Ia tersenyum kemudian, berjalan menuju panggungnya.
Dia cantik, dia baik tetapi aku ini pengamat yang cerdik. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang salah dalam dirinya.
Sekali pun aku hidup melajang, aku selalu mengamati perilaku perempuan-perempuan di sekeliling Finn. Orang tampan sepertinya sudah pasti diikuti oleh banyak perempuan. Gadis itu, Alee Bell dia mempunyai sisi yang mematikan dalam dirinya.
Sebagai seorang manajer, intuisiku dipertajam setiap saat. Itu diperlukan untuk menjaga bintang yang kutangani selalu berada di atas awan. Kali ini intuisi berkata untuk berhati-hati dengan Alee Bell.