Kereta kuda berjalan tanpa henti. Itu adalah rombongan seorang putri dari Kerajaan Nieverdell yang terletak di selatan menuju ke Utara. Semakin ke utara mereka pergi semakin dingin suasananya. Langit sudah terlihat menggelap saat mereka berhenti untuk beristirahat di sebuah penginapan pinggir kota.
"Tuan Putri, malam ini kita beristirahat di sini dulu. Besok pagi perjalanan akan dilanjutkan," ujar seorang pelayan perempuan yang selalu menemaninya di dalam kereta kuda.
"Terima kasih, Tania," balas sang putri.
Gadis itu adalah Puteri Arielle Dellune, puteri kesepuluh dari Raja Nieverdell. Kini Puteri Arielle sedang dalam perjalanan menuju utara sebagai seorang tahanan Kerajaan Northendell.
Ini semua berawal dari perbuatan kakak pertamanya yang juga merupakan putra mahkota, Pangeran Alexis yang melanggar perjanjian antar kerajaan yang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya.
Beberapa hari yang lalu saat utusan dari Kerajaan Northendell tengah berkunjung ke Nieverdell diadakan acara pesta perburuan. Pangeran Alexis yang tengah ingin memanah seekor rusa jantan justru salah sasaran dan mengenai salah satu serigala liar.
Kerajaan Northendell tidak terima akan sikap gegabah Pangeran Alexis karena bagi mereka serigala adalah makhluk suci yang tak boleh disentuh atau dilukai oleh siapa pun. Keempat kerajaan besar telah menandatangani surat perjanjian sedari ratusan tahun yang lalu bahwa mereka tidak akan pernah melukai seekor serigala pun.
Raja Northendell meminta Pangeran Alexis untuk dijadikan tahanan di utara. Namun, Raja Nieverdell menolak karena posisi Pangeran Alexis sebagai putera mahkota sangatlah krusial. Raja Northendell lalu kembali ke utara dengan memberikan ultimatum terakhir.
Nieverdell harus memberikan salah satu keturunan raja untuk dijadikan tahanan hingga Nieverdell bisa memberikan mereka satu ekor bayi serigala yang baru lahir sebagai pengganti satu nyawa serigala yang telah mereka bunuh.
Raja Nieverdell mengalami dilema, begitu juga sang Ratu beserta selir-selir raja yang lain. Tidak seorang pun dari mereka ingin mengorbankan anak-anaknya untuk dijadikan tahanan di Northendell.
Di tengah kondisi istana yang kacau balau, seorang putri yang keberadaannya selalu dilupakan tiba-tiba menjadi perhatian keluarga raja. Ia adalah Putri Arielle. Gadis itu adalah satu-satunya anak raja yang lahir di luar pernikahan. Tidak ada yang tahu siapa ibu dari Puteri Arielle.
Mereka selalu beranggapan bahwa Arielle hanyalah anak dari seorang pelacur yang kebetulan tengah menghangatkan ranjang Raja ketika di luar istana.
Arielle sendiri tidak berdaya untuk menolak. Tanpa adanya persiapan apa pun, keesokan harinya Arielle diberangkatkan ke Utara dengan rombongan kecil.
Kembali ke penginapan tempat Arielle beristirahat, salju tiba-tiba turun begitu lebatnya.
"Salju?" tanya Arielle bingung.
"Kita sudah berada di perbatasan Nieverdell dan Northendell. Hanya butuh perjalanan tiga hari lagi untuk mencapai ibu kota Northendell."
Arielle mengangguk paham kemudian masuk ke dalam penginapan tersebut. Arielle disambut oleh suasana yang hangat dari sebuah perapian di dekat salah satu meja makan. Tania, pelayan setianya, menyuruh Arielle untuk duduk di dekat perapian tersebut sambil menunggu makan malam mereka disajikan.
Tania sudah memesankan semangkuk sup kaldu ayam dan sepotong roti untuk Arielle.
"Ini lezat," puji Arielle jujur saat hidangan itu tiba dan ia mulai menikmatinya.
Pelayan laki-laki yang bekerja di penginapan tersebut tersenyum ramah melihat Arielle menikmati sup buatannya
"Apakah Anda berasal dari Niverdell?" tanya sang pelayan.
"Benar."
"Apa yang akan nona sekalian lakukan ke Utara? Kurasa Nieverdell jauh lebih hangat. Di utara hanya terdapat salju di mana-mana"
"Kami akan berkunjung ke rumah salah seorang saudara di ibu kota Northendell."
Pelayan tersebut memberikan tatapan skeptis. "Anda bukan bagian dari keluarga kerajaan, kan?"
Saat Tania ingin menjawab segera Arielle membungkamnya. "Bukan-bukan, kami hanyalah pengembara biasa."
Pelayan tersebut mengganti lilin yang sudah hampir habis di atas meja makan Arielle. Setelah meletakkan lilin, pria itu tak kunjung pergi melainkan ikut duduk di hadapan Arielle.
"Apakah ini perjalanan pertama Anda ke Utara?" tanyanya penasaran.
Arielle mengangguk gugup.
"Seperti yang kalian tahu, Utara tak sehangat kerajaan-kerajaan lain. Selain salju abadi, ada banyak hal-hal aneh yang berkeliaran di sana."
"Hal-hal aneh? Seperti?"
Pria tersebut mendekatkan dirinya juga meminta Arielle untuk mendekat. Ia melihat sekeliling seakan-akan memastikan bahwa apa yang akan diucapkannya adalah hal yang tabu.
"Mereka bilang Utara itu penuh akan makhluk-makhluk misterius. Aku pernah melihatnya sekali … seekor serigala liar yang jauh lebih besar dari seekor kuda jantan dewasa. Bulunya sehitam malam. Matanya menyala merah berkilau layaknya batu ruby," katanya.
Ia melanjutkan, "Waktu itu aku tengah terjebak di hutan setelah berkunjung dari rumah saudara … seperti legenda Northendell, Monster itu muncul tepat saat bulan purnama. Legenda itu benar, maka dari itu semua warga akan selalu mengunci rumah mereka dan mematikan pencahayaan setiap pertengahan bulan."
Arielle semakin takut dibuatnya. Ia tak bisa membayangkan sebesar apa serigala itu. Ia sendiri tak tahu bagaimana Northendell memperlakukan tahanan mereka. Bagaimana jika ia ditempatkan di sebuah hutan lebat tempat para monster serigala itu berkeliaran?
"Aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Arielle.
"Tentu saja!"
"Apa kau tahu sesuatu tentang Raja Ronan D. Blackthorn?"
Tubuh pelayan tersebut menegang seketika. Ia tampak ragu untuk menjawab. "Kurasa hari sudah semakin larut. Aku harus berganti jadwal dengan pegawai yang lain."
Tanpa memperdulikan panggilan Arielle, pria itu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Arielle dengan rasa penasarannya.
Tania menyudahi makan malam Arielle kemudian mengantar gadis itu menuju kamar tidurnya. Kamar tidur di penginapan itu cukup lembab, mungkin karena efek salju yang turun di luar. Saat Arielle membaringkan tubuhnya, Tania pun membakar beberapa balok kayu di perapian untuk menghangatkan ruangan.
Di atas ranjangnya Arielle masih bertanya-tanya akan sosok raja dari kerajaan Northendell. Mengapa pelayan itu tampak demikian takut saat Arielle menyebut nama pria itu? Apakah Raja Ronan adalah seorang diktaktor?
Arielle memang belum bertemu dengan pria itu secara langsung. Namun, dari ultimatum yang ia berikan kepada Kerajaan Nieverdell, dan raut ketakutan pelayan penginapan tersebut, Arielle mendapat kesan bahwa Ronan merupakan raja yang menyeramkan.
(Bagaimana denganku nanti? Mengapa nasibku sangat buruk?)
Setetes air mata menitik di sudut mata sang putri. Arielle menahan diri untuk tidak terisak. Memikirkan nasibnya yang tak pernah mujur membuat Arielle sakit hati. Ia tidak pernah ingin dilahirkan dari rahim seorang wanita tak bernama.
Jika ia bisa memilih, ia ingin dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana di desa pinggiran. Ia akan cukup merasa bahagia dengan merawat ladang beserta kedua orang tua juga saudara-saudaranya. Memikirkan nasibnya sebagai anak Raja di luar pernikahan membuat Arielle kelelahan dan akhirnya jatuh tertidur.
***
Keesokan harinya, matahari mulai menyingsing dan salju telah berhenti turun. Tania membangunkan Arielle untuk mereka melanjutkan perjalanan. Setelah membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan penginapan, Arielle kini tampak lebih segar.
Saat ia akan pergi bersama rombongannya, ia mencoba mencari keberadaan pelayan yang menemaninya mengobrol tadi malam. Arielle ingin bertanya sekali lagi mengenai Raja Ronan D. Blackthorn. Sayangnya, pelayan itu tak ada. Arielle pun berangkat bersama rasa penasarannya.
Kereta diberhentikan untuk sesaat ketika melewati perbatasan. Pengawal Kerajaan Northendell memeriksa segala yang ada kemudian mengizinkan rombongan Puteri Arielle untuk kembali jalan.
"Apakah pengawasan di daerah perbatasan selalu seketat itu?" tanya Arielle kepada Tania.
"Mereka bilang Northendell adalah kerajaan yang terisolir. Mereka benar-benar melindungi warganya dari ancaman luar. Namun tak pernah ada yang tahu siapa yang dimaksud dengan ancaman luar tersebut karena selama ini keempat kerajaan bekerjasama dengan baik. Dan sudah ratusan tahun lamanya tak pernah ada perang."
Arielle mengangguk paham. Ia menurunkan jendela keretanya dan terpukau akan hamparan salju di depannya. Seumur hidup Arielle, ia tidak pernah melihat tumpukan salju setebal itu. Hamparan berwarna putih itu terlihat seperti permen kapas.
Saat Arielle sedang sibuk menikmati hutan salju itu tiba-tiba kereta berhenti dengan mendadak. Tania meminta Arielle untuk tidak panik.
"Hei ada apa?" tanya Tania sambil menurunkan jendelanya untuk bertanya kepada kusir.
Pintu kereta dibuka secara kasar membuat Arielle berteriak kencang. Seorang pria jangkung menghampiri Arielle. Namun, Tania mengeluarkan sebilah pisau untuk melukai tangan pria itu. Mereka adalah kelompok bandit yang diwali-wanti oleh pemilik penginapan tadi pagi.
Beberapa pengawal sudah tergeletak di atas salju. Mereka mengerang kesakitan memegangi luka yang bersimbah darah.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriak Arielle saat tubuhnya diseret keluar kereta.
"Diam atau kubunuh kau saat ini juga!" ancam seorang bandit yang tangannya sempat dilukai oleh Tania.
Baik Tania maupun Arielle sama-sama dibungkam. Kereta mereka dihancurkan. Semua pakaian juga perhiasan yang tak seberapa dijarah. Arielle menggigit tangan bandit yang membungkamnya keras-keras.
"Aaargh!!!" teriak bandit tersebut.
Tanpa menunggu lebih lama Arielle menendang selangkangan bandit tersebut dengan lututnya lalu menarik Tania untuk berlari. Melihat dua kawannya yang kesakitan di atas tanah, para bandit lain menghentikan jarahannya. Saat melihat dua perempuan yang kabur, mereka bertiga otomatis berlari mengejar Arielle dan Tania.
"Ayo Tania, langkahkan kakimu lebih cepat!" pinta Arielle saat Tania tak lagi kuat berlari.
"Aku … sudah … huff … tidak kuat lagi, Putri …." Nafas Tania tersengal-sengal.
Berlari di atas salju bukanlah sesuatu yang mudah. Terlebih pakaian tebal mereka semakin memperlambat laju keduanya. Arielle menoleh ke belakang sesekali untuk memastikan mereka telah berlari cukup jauh dari para bandit tadi. Namun kelegaan Arielle tak berlangsung lama, ia mendengar suara tapal kuda mendekat.
"Putri … tinggalkan saja aku …."
"Tidak Tania … Aaaaaaaargh!!!!!"
"Yang Muliaa…!"
Arielle salah melangkah, karena terlalu fokus menarik Tania, gadis itu tak melihat jurang landai di sampingnya dan terjatuh.
Tubuh Arielle tertutupi salju. Kepalanya terasa sangat sakit dan pandangannya mulai memburam. Sebelum kesadarannya menghilang, Arielle melihat empat kaki hewan berbulu yang mendekat.
(Serigala? Apakah aku akan menjadi santapan serigala di Utara? Sial …)
Lalu semuanya menjadi gelap.