Arielle sungguh senang mendapatkan kanvas baru. Hal pertama yang dilukisnya adalah istana Blackthorn. Untuk menyelesaikan lukisannya, di hari selanjutnya Arielle menempati tempat yang sama. Ia duduk di sebuah bangku di taman istana yang menghadap ke istana Blackthorn untuk mendapatkan gambaran warna yang akan dibuatnya.
Pagi-pagi, tanpa memanggil Tania, Arielle berlari menyusuri lorong istana Whitethorn dengan kanvas, easel juga cat warnanya. Kemarin ia telah menyelesaikan sketsa dasar. Dan hari ini ia akan mulai memberi warna. Butiran salju yang turun pun sama sekali tak menghalau semangatnya.
Setelah memasang easel dan kanvasnya, Arielle mengecat keseluruhan kanvas dengan warna putih secara tipis tanpa menutupi garis sketsa yang sudah dibuatnya.
"Huh?"
Arielle menghentikan gerakan tangannya saat ia melihat Raja Ronan melewati jendela-jendela kaca di bangunan depannya.
"Masih pagi, artinya sekarang waktunya ia bekerja?" gumam Arielle bertanya-tanya.
Sejak malam Raja Ronan bekerja di ruangannya, sikap pria itu menjadi aneh. Arielle merasa pria itu tengah menghindarinya. Kecurigaan Arielle bukannya tanpa alasan, karena setiap kali mereka berpapasan pria itu akan berbalik arah begitu saja.
Dan seperti hari kemarin, saat Arielle mengangkat tangannya untuk menyapa, pria itu membalikkan badan dan berjalan ke arah lain sehingga membuat Arielle merasa canggung.
"Apakah aku melakukan kesalahan?"
Arielle berpikir keras mengingat apa yang ia lakukan selama bersama pria itu. Apakah Raja Ronan merasa kesal karena ia ketiduran saat itu? Hmm… jika iya, itu menjadi alasan yang sangat aneh.
Arielle mencoba menghalau pikiran itu dari benaknya dengan terus melukis.
Ronan yang baru sampai di ruang kerjanya mengerutkan kedua alisnya saat pandangannya menangkap sosok Arielle duduk melukis di bawah salju pagi hari. Suhu di luar masih terasa dingin untuk standar orang dari selatan.
Ronan berdecak kesal. "Ck, apa yang dipikirkan gadis itu?"
Ia meraih selembar kertas laporan yang dibawa oleh William kemarin. Di laporan itu Pendeta Elis menuliskan bahwa ada kemungkinan aliran mana Putri Arielle telah dibuka dan Arielle memiliki mana cahaya, yang artinya gadis itu pernah melewati kondisi kegelapan yang ekstrem sehingga tubuhnya menghasilkan cahaya sendiri.
Ronan meletakkan kembali laporan tersebut dan beralih pada pekerjaannya yang lain. Detik waktu terus bergulir hingga jam dinding menunjukkan pukul dua belas siang. Ronan bangkit dari kursinya untuk berdiri di dekat jendela.
"Huh?"
Kedua alisnya mengerut melihat Arielle yang masih bertahan duduk di tempatnya. Namun bukan itu yang membuat Ronan mengepalkan tangannya saat ini, gadis itu tengah fokus mendengarkan ucapan seorang pria di depannya. Pria itu adalah Pendeta Elis.
Ronan semakin mengencangkan rahangnya saat Arielle menyentuh telapak tangan Pendeta Elis. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ronan meraih mantelnya dan keluar dari ruang kerjanya.
***
Arielle tengah melukis saat pundaknya disentuh lembut oleh seseorang dari belakang. Gadis itu segera berdiri untuk menyapa Pendeta Elis.
"Apa ada yang bisa kubantu, Pendeta?"
Pendeta Elis tersenyum lembut kemudian menggeleng. "Saya kebetulan sedang menuju istana Blackthorn untuk bertemu Yang Mulia Raja. Saya melihat Tuan Putri tengah duduk sendirian di cuaca dingin ini."
Putri Arielle hanya tersenyum canggung sambil sedikit menggeser tubuhnya agar Pendeta Elis tidak dapat melihat hasil lukisan sementaranya.
"Tuan Putri tengah melukis apa?" tanya Pendeta Elis dengan ramah.
"Ah, hanya pemandangan istana Blackthorn."
"Sangat indah, Tuan Putri. Uhm… siapakah pria ini?" tunjuk Pendeta Elis pada sosok seorang pria yang tengah berdiri di balik jendela bagian tempat kerja Raja Ronan berada.
Arielle menggaruk rambutnya yang tak gatal. Wajahnya merona kemerahan karena malu, "Itu adalah … uhm… Yang Mulia Raja…."
"Oh…."
Pendeta Elis pelan-pelan memperhatikan sosok Arielle dalam diam. Dalam posisi sedekat ini ia tidak bisa merasakan keberadaan mana yang mengalir. Ia menguasai penggunaan mana panas dan cahaya, jadi jika ada orang sekitar yang aliran mananya telah terbuka, ia pasti akan bisa merasakannya.
"Yang Mulia… Apakah hamba boleh melihat telapak tangan Anda?" tanya Pendeta Elis sambil mengulurkan tangannya seraya meminta Arielle meletakkan tangannya di atas telapak tangannya.
"Untuk apa?"
"Hanya ingin melihat aliran mana yang Tuan Putri miiki."
"Mana milikku?" Arielle menggenggam tangannya di depan dada merasa ragu. "Tapi … katanya aliran manaku belum terbuka?"
Meskipun ia dihinggapi oleh keraguan, Arielle tetap meletakkan tangannya di atas telapak tangan Pendeta Elis. Pendeta Elis menyentuh titik tengah bagian telapak tangan dengan dua jari tangan kirinya. Arielle dengan sabar menunggu.
"Hm …. aneh," ujar Pendeta Elis pelan.
"Apanya yang aneh?" tanya Arielle penasaran.
"Saat Tuan Putri di Cathedral beberapa hari yang lalu, setelah Tuan Putri menjabat tanganku, aku merasa seperti dialiri energi baru. Dari buku yang pernah aku pelajari, di situ dinyatakan bahwa jika ada dua orang yang memiliki jenis mana yang sama maka keduanya bisa saling berbagi mana lewat sentuhan."
Arielle mengerutkan alisnya, tidak paham.
"Pada saat itu, aku tengah mengalirkan mana cahaya di tubuhku sehingga Tuan Putri bisa melihat cahaya yang keluar dari telapak tanganku. Dan aku terus mengaktifkan aliran mana cahaya sampai Tuan Putri menjabat tanganku. Setelah sentuhan itu terjadi, cahaya yang keluar dari telapak tanganku semakin besar yang artinya manaku telah terisi ulang atau ditambahkan."
"Mungkin hanya kebetulan?" tanya Arielle keheranan.
Pendeta Elis tersenyum, kemudian menutup telapak tangan Arielle.
"Kita tidak ada yang tahu," jawab Pendeta Elis dengan ambigu.
"Oh, apakah Tuan Putri pernah membaca buku tentang lima unsur alam? Jika Tuan Putri tertarik belajar tentang mana mungkin buku itu cocok untuk pemula."
"Terima kasih banyak, Pendeta! A-aku sungguh ingin mengetahui lebih banyak tentang mana… Hanya saja…" Arielle bicara dengan nada ragu.
Pendeta Elis tetap diam menunggu Arielle melanjutkan kata-katanya. Gadis itu lalu menundukkan kepalanya, merasa malu.
Wajahnya menjadi semakin merah saat ia berbisik, "A-aku tak pandai me-membaca."
"Maaf?" tanya Pendeta Elis sedikit tidak mempercayai pendengarannya.
"Aku tak pandai membaca," bisik Arielle sekali lagi lebih keras.
Pendeta Elis mengerjapkan matanya merasa terkejut. Seorang putri tak bisa membaca? Itu adalah sesuatu yang sangat baru.
"A-aku tidak pernah masuk ke sekolah formal karena beberapa keadaan."
"Maafkan hamba, Yang Mulia."
"Ti-tidak apa-apa! Pendeta tak perlu meminta maaf! Meskipun memalukan namun itu adalah keadaanku jadi … Pendeta Elis tak perlu merasa bersalah."
Terdapat kecanggungan antara keduanya. Untungnya, ada suara langkah berat mendekat sehingga keduanya tak perlu berdiri diam dalam kecanggungan berlama-lama.
Melihat Raja Ronan mendekat, baik Pendeta Elis maupun Arielle sama-sama menunduk memberi hormat.
"Kembalilah ke Cathedral, aku akan berbicara mengenai laporanmu nanti malam," ujar Ronan dan segera Pendeta Elis mengundurkan diri.
Arielle masih berdiri di tempatnya. Ia merasa aneh akan sikap Ronan yang terasa dingin siang itu.
"Apa benar kau tak bisa membaca?" tanya Ronan membuat Arielle terkejut.
Gadis itu mendongak cepat memandangi sebuah topeng putih dan sepasang netra merah tengah menatapnya tajam. Arielle segera menunduk gugup.
"Be-benar, Yang Mulia."
"Bagaimana bisa? Kau kan seorang Putri Raja?"
Bagaimana bisa? tentu saja bisa karena Arielle dibesarkan tanpa adanya pendidikan formal. Ia saja belajar mengenai etika kebangsawanan dasar dari Tania. Namun, ia tidak pernah diberikan pendidikan yang layak.
Ia bahkan tidak memiliki akses untuk menyentuh perpustakaan kerajaan karena gedung itu adalah tempat Pangeran Alexis belajar bersama anak-anak dari Ratu Rosalie lainnya.
Ronan melihat kanvas di depannya kemudian maju beberapa langkah untuk melihat hasil karya tangan Arielle. Ia ingin tahu hasil dari usaha yang dilakukan gadis itu setelah duduk kedinginan berjam-jam.
Setelah melihat torehan warna yang begitu lembut dan teliti, Ronan bisa melihat kemampuan melukis Arielle di atas rata-rata. Gadis itu sangat berbakat.
"Kau belajar melukis namun tidak belajar membaca atau menulis?"
Arielle menggigit bibir bawahnya, merasa sakit hati akan pertanyaan Raja Ronan. Meskipun Arielle tahu pria itu tidak mengerti kondisinya sebagai putri kesepuluh, tetapi kata-kata pria itu seakan merendahkannya karena ia tidak bisa membaca dan menulis.
Ronan mengalihkan pandangannya dari lukisan ke arah Arielle karena gadis itu tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Apa yang sedang Yang Mulia lakukan di luar sini?" tanya Arielle mengalihkan pertanyaan Ronan tadi.
"Huh?"
"Aku rasa beberapa hari ini Yang Mulia Raja tengah menghindariku namun mengapa tiba-tiba muncul lagi di hadapanku? Aku rasa menghampiri seorang tahanan kerajaan hanya akan membuang-buang waktu Yang Mulia. Maka dari itu hamba mohon permisi."
Arielle membawa kanvas dan melipat kembali easelnya. Entah apa yang membuatnya sedemikian berani meninggalkan seorang raja sendirian di taman. Namun hati Arielle cukup terluka saat pria itu menyindirnya yang memilih belajar melukis ketimbang membaca dan menulis.
Arielle tertawa kecut. Ia merasa kesal. Ia menghentakkan kakinya merasa frustasi. Ia tidak memilih apa yang ingin ia pelajari! Ia belajar melukis karena hanya ini yang ia dapatkan! Itu pun bukan pemberian dari raja maupun ratu Nieverdell!
"Dia beruntung karena terlahir menjadi satu-satunya penerus takhta," omel Arille pada angin kosong.
Ia tidak tahu bagaimana para saudaranya mengucilkannya, bahkan sampai melarang setiap guru untuk mengajarinya! Jika saja Tania bisa membaca dan menulis, ia yakin wanita itu akan mengajarinya juga!
Sampai di kamar, Arielle menghembuskan napas kesal. Dilihatnya lukisan yang ia buat. Dengan kesal, ia mengeluarkan cat hitam dan mencoret-coret sosok pria yang berdiri di balik jendela itu.