Arielle menoleh ke belakang tempat lukisannya masih terpajang. Ia terkesiap melihat lukisan di depannya. Matanya berkerjap mencoba mencari alasan yang paling masuk akal.
"Um… kemarin saat aku ingin menorehkan warna hitam, Pendeta Elis menghampiriku hingga membuatku terkejut dan mungkin tanganku tidak sengaja tergelincir," ujar Arielle berbohong.
"Menarik, karena kemarin aku tidak melihat coretan hitam saat melihatmu berbincang dengan Pendeta Elis."
"Ah! Astaga… aku baru ingat. Maafkan atas kelalaianku, Yang Mulia. Itu kejadiannya tadi malam, saat aku ingin memperbaiki beberapa bagian tapi Tania membuatku terkejut sehingga tanganku tergelincir?"
Ronan mengalihkan pandangannya menatap wajah Arielle. Gadis itu terlihat gugup. Matanya turun melihat Arielle menggigit bibir bawahnya.
"Baiklah, aku percaya."
Ronan menahan diri untuk tidak tersenyum mendapati Arielle mendesah lega. Gadis itu benar-benar tidak pandai berbohong.
Tangannya meraih buah Frostberry dan meletakkan di depan bibir gadis itu.
"Makanlah," ujar Ronan. Arielle membuka mulutnya dan pria itu meletakkan sebuah Frostberry ke dalam mulut Arielle.
Arielle bersenandung pelan menikmati manis buah Frostbery yang ia rindukan.
"Lagi?" tawar Ronan.
Arielle tentu saja mengangguk antusias. Ia menyesap setiap cita rasa yang buah kecil itu berikan.
"Yang Mulia… bisakah Anda membantuku melepaskan lilitan selimut ini? Aku tidak ingin menyusahkan Yang Mulia dengan terus menyuapiku."
Ronan tak menjawab, ia terus memasukkan buah Frostberry ke dalam mulut Arielle. Arielle menjulurkan lidahnya untuk mengecapi cairan buah Frostberry yang tumpah di sudut bibirnya.
Ronan menatap lidah Arielle dengan seksama. Warna lidah Arielle terlihat memerah akibat sari buah. Arelle membuka mulutnya sekali lagi menunggu Ronan meletakkan satu buah lagi namun pria itu tak kunjung meletakkan buah di tangannya ke dalam mulut Arielle.
"Yang Mulia?" panggil Arielle.
"Julurkan lagi lidahmu," ujar Ronan membuat Arielle bingung.
"Lidahku? Ada apa dengan lidahku?"
Arielle mencari keberadaan cermin di sudut ruangan. Ia kembali menjulurkan lidahnya untuk mengecek apa yang terjadi dengan lidahnya namun tak ada yang aneh. Hanya saja warnanya berubah menjadi merah pekat akibat sari buah.
"Jika Yang Mulia tidak tahu, lidah berubah warna akibat sari buah Frostberry."
"Aku tahu. Julurkan kembali lidahmu."
Arielle sangat ragu untuk melakukannya kembali karena selama ini ia tidak pernah diminta oleh Tania menjulurkan lidahnya. Ronan masih sabar menunggu dan Arielle juga masih keras kepala untuk tidak menjulurkan lidahnya lagi karena ia merasa aneh.
Setelah keduanya saling berdiam diri, Ronan akhirnya mengalah. Ia membuka lilitan selimut di tubuh Arielle dan meletakkan piring berisikan sisa buah Frostberry di atas pangkuan gadis itu.
"Kau bisa menghabiskannya."
Arielle tersenyum lebar hingga matanya menyipit layaknya bulan sabit. "Terima kasih, Yang Mulia." ujarnya.
Tangan kiri Ronan menyentuh pinggulnya menahan Arielle agar tidak turun dari pangkuannya.
Arielle yang merasa diperhatikan saat menikmati buah-buah itu menjadi salah tingkah. Ia berdehem beberapa kali untuk menghilangkan rasa malunya.
"Um… Yang Mulia, apakah aku boleh bertanya beberapa hal?" tanya Arielle.
Ronan masih menatap gadis itu kemudian mengangguk memberikan izin. Arielle meletakkan kembali buah yang sudah diangkatnya ke atas piring.
"Jika pendeta Elis, aliran mananya telah terbuka, lalu apakah aliran mana Yang Mulia juga telah terbuka? Jika iya, jenis mana seperti apa yang Yang Mulia punya?"
Ronan mendesah kemudian mengalihkan pandangannya pada jendela kaca lebar di hadapan mereka. Di luar langit perlahan menggelap dan butiran salju turun begitu derasnya. Ia teringat akan memori yang sudah lama ia kubur. Sebuah trauma masa kecil yang tak pernah ia ceritakan.
"Aku berbeda, Tuan Putri. Tidak ada mana yang mengalir di tubuhku."
"Tidak ada? Sama sekali?"
"Tak satu tetes pun."
"Bagaimana bisa? Bukankah Pendeta Elis bilang bahwa semua individu memiliki mana di tubuhnya? Manusia hanya perlu membuka aliran tersebut untuk bisa menguasai Trigram alami."
"Katakan saja, keberadaanku adalah anomali."
Arielle masih sangat penasaran. Ia mengunyah satu buah Frostberry sambil berpikir. Hal itu tak lepas dari pengamatan Ronan. Pria itu tersenyum melihat ekspresi lugu tersebut.
"Lalu, apakah cerita tentang Anda membunuh seekor naga itu benar?"
Ronan tersenyum lebar. Ia membusungkan dadanya dan meraih pinggang Arielle untuk lebih mendekat.
"Jika, iya, apa yang akan kau lakukan?" bisik Ronan tepat di telinga Arielle.
Arielle tertawa akibat sensasi geli karena hembusan napas seseorang di telinganya.
"A-aku tidak akan melakukan apa-apa…" jawab Arielle sambil menutupi telinganya. "Um… lalu bagaimana Yang Mulia bisa mengalahkan sekelompok naga dan membunuh salah satunya?"
Ronan mengangkat tangannya. Dari jarak sedekat ini Arielle bisa melihat beberapa kapalan tipis juga bekas luka di sana. Tanpa sadar Arielle meletakkan telunjuknya di telapak tangan Ronan yang terbuka.
"Tentu saja dengan kemampuanku berpedang," jawab pria itu bangga.
"Yang Mulia telah melewati banyak pertarungan," komentar Arielle.
Gadis itu menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan Ronan. Arielle tertawa melihat perbedaan ukuran tangan mereka berdua. Ia meletakkan setiap jarinya di antara jari-jari Ronan kemudian menggenggamnya erat.
"Apakah … di balik topeng itu juga terdapat bekas luka setelah bertarung dengan naga-naga itu?"
Ronan tak menjawab. Ia membuang muka, merasa Arielle tak perlu tahu apa yang ada di balik topengnya.
"Apakah menjadi raja tetap membuatmu turun tangan dalam sebuah pertarungan? bukankah kerajaan-kerajaan saat ini sedang berdamai?"
"Tidak adanya peperangan besar bukan berarti kita dalam kondisi damai, Tuan Putri." Ronan menangkup tangan yang menggenggam tangannya. Ia terlalu terpukau akan sebuah kehangatan yang ia dapatkan.
"Keempat kerajaan besar terikat oleh perjanjian kuno. Beberapa saat yang lalu, Northendell sudah siap menyatakan perang dengan Nieverdell jika mereka tidak mengirimkan tahanan sebagai jaminan mereka akan mengganti nyawa seekor serigala yang mereka bunuh."
"Dan kalian mendapatkan aku sebagai tahanan. Pasti sangat mengecewakan, bukan?"
"Kata siapa? Kurasa kau adalah yang terbaik."
Arielle menggeleng, Ronan masih saja belum mengerti posisinya. Ia lalu melepaskan genggaman tangan mereka. Sang putri meletakkan tangan Ronan di atas pangkuannya. Ia menghembuskan napas lelah dan Ronan mengangkat kedua alisnya merasa bingung.
"Setelah apa yang sudah kujelaskan, mengapa Yang Mulia tak kunjung paham?"
(Paham, apa?) tanya Ronan dalam hati.
"Aku sudah bilang bahwa aku hanyalah putri tanpa ada kekuatan politik apa-apa. Mereka mengirimku ke sini karena aku sama sekali tidak berharga. Jika pun Yang Mulia menahanku di Northendell ratusan tahun lamanya, mereka tidak akan peduli." Arielle menatap sendu pria di depannya.
Pasalnya orang-orang istana selalu mencoba menyingkirkannya dan kemudian kesempatan ini datang. Tentu saja mereka tengah berpesta saat ini tanpa peduli kondisinya. Mungkin juga ayahnya sama sekali belum berusaha mencari serigala pengganti.
"Mengapa bersedih? Kau tak menyukai Northendell?"
Arielle tersenyum. Tentu saja ia menyukai Northendell. Orang-orang di sini sungguh baik kepadanya. Di sini juga, Arielle bisa merasakan makan tiga kali sehari. Tak lupa ia juga berkesempatan mencicipi buah terenak di dunia.
Hanya saja yang membuatnya tak bisa melupakan Nieverdell adalah kehangatannya…. Northendelll indah dengan saljunya namun Arielle rindu berjemur di bawah sinar matahari. Ia rindu membantu Tania menjemur pakaian-pakaian di bawah terik matahari. Di sini tubuhnya mudah menggigil dan cuaca dingin membuatnya tak nyaman.
"Aku menyukai Northendell, hanya saja aku sudah tumbuh dan berkembang di Nieverdell. Aku sudah sangat hafal jalan-jalan kecil di kota Nieverdell."
"Meskipun saudaramu tak memperlakukanmu dengan baik?"
"Sudah kubilang, aku tidak terlalu terpengaruh oleh mereka. Aku bahagia bersama Tania dan para pelayan di sana…"
Ronan tak memaksa Arielle untuk menjabarkan semua jawabannya. Dari sorot mata sendu itu, ia sudah bisa menilai betapa bahagianya Arielle di tanah kelahirannya.
"Ah, Yang Mulia… aku punya pertanyaan lainnya."
"Apa?"
"Mengapa Yang Mulia tak mencari seorang Ratu?