Chereads / Putri Sandera Dan Raja Serigala / Chapter 18 - Hari Terakhir Bekerja

Chapter 18 - Hari Terakhir Bekerja

Dua malam penuh teror telah berlalu. Tak ada lolongan atau penampakan serigala lagi di malam kedua dan Pendeta Elis menyampaikan bahwa Arielle tak perlu kerja keesokan harinya mengingat mungkin Arielle masih takut untuk keluar ruangan.

Namun keinginan gadis itu untuk bisa belajar membaca dan menulis lebih besar dari ketakutannya. Selain itu di pagi hari Arielle sudah melihat beberapa prajurit yang berjalan menuju Colloseum tempat mereka berkumpul atau berlatih.

"Apa Tuan Putri tak ingin beristirahat? Saya tidak ingin membuat Yang Mulia kelelahan," ujar Pendeta Elis yang terkejut mendapati Putri Arielle telah berdiri di depan ruangannya.

"Pendeta, malam itu bukan apa-apa bagiku. Aku lebih membutuhkan pekerjaan ini dari pada harus mengurung diri karena ketakutan," ujar Arielle tegas.

Pendeta Elis pun mengalah.

"Baiklah, Putri…" Pendeta Elis mengajak Arielle keluar dari ruangannya menuju lantai tiga Cathedral. Ia berkata, "Dua malam ini para murid tak meninggalkan kamar mereka. Jadi, mungkin tugas Tuan Putri akan lebih berat dari hari pertama."

Arielle mengangkat tangannya, menunjukkan lengan yang tak berotot. "Aku mampu, Pendeta."

"Jika itu yang Tuan Putri inginkan maka saya tidak bisa menolak."

Arielle ditinggalkan sendiri di lantai tiga. Ia memandangi lorong dengan deretan pintu di depannya.

"Aku bisa melakukan ini." Ia menarik napas dalam-dalam dan menggembungkan dadanya. "Semangat Arielle!"

Arielle menghabiskan waktu hampir setengah hari untuk merapikan seluruh kekacauan di kamar pelajar Cathedral. Setelah selesai, ia membawa dua keranjang berisikan pakaian kotor untuk dibawa ke lantai bawah.

Di lorong lantai dasar saat dirinya hendak turun menuju ruang bawah tanah, tangannya ditarik ke belakang membuat keranjang berisikan pakaian milik para pelajar itu jatuh ke lantai.

"Ada apa-" Suara Arielle seketika menghilang saat melihat siapa yang menariknya. Mulutnya tiba-tiba terasa kering tak mampu mengutarakan keterkejutannya.

Di depannya kini berdiri Ronan bersama William, juga Pendeta Elis. Pendeta Elis yang terkejut menutup mulutnya dengan kitab yang dibawanya. William mengerutkan alisnya merasa bingung dan bertanya-tanya apa yang Putri Arielle lakukan di Cathedral dengan membawa keranjang berisi pakaian kotor?

Arielle tak berani melihat pria yang satu lagi. Ia menggigit ibu jarinya karena merasa gugup.

"Apa yang kau lakukan dengan semua keranjang itu?"

"A-aku… hanya ingin berolahraga," jawab Arielle seadanya.

Saat ini ia tengah memproses berbagai macam alasan agar Pendeta Elis tidak ikut disalahkan.

"Olah raga? Dengan membawa pakaian kotor?" tanya Ronan sekali lagi. Ia memicingkan matanya, menatap Arielle dengan pandangan yang seolah mampu menusuk hingga ke jiwa gadis itu dan membaca pikirannya.

"Yang Mulia…. aku… merasa bosan berdiam diri di ruanganku tanpa melakukan apa pun jadi aku berkeliling untuk keringat." Arielle masih mencoba memberikan alasan.

"Dengan membawa pakaian kotor?" Sebelah alis Ronan naik.

"Um… dengan begini aku jadi bisa bergerak leluasa, Yang Mulia."

"Olahraga jenis apa membawa keranjang pakaian kotor?"

Arielle menutup matanya dan menghela napas, menahan sabar. Kenapa pria itu terus menekannya dengan mengungkit apa yang dibawanya? Gadis itu menghirup udara dalam-dalam dan kemudian dihembuskannya melalui mulut.

Oke, mungkin berbohong kepada Raja Ronan bukanlah sebuah ide yang baik dan tidak ada gunanya berdebat akan sesuatu yang membuatnya terlihat seperti pencuri yang sedang tertangkap basah.

Arielle melakukan ini untuk dirinya sendiri jadi tak perlu malu untuk mengungkapkannya.

"Sejujurnya, aku kemari untuk bekerja," ujar Arielle membuat Ronan menaikkan kedua alisnya tak percaya.

"Bekerja?" tanya pria itu mengulang pernyataan Arielle. Nada suaranya terdengar dipenuhi rasa heran dan kaget.

"Aku memaksa Pendeta Elis untuk memberikanku pekerjaan karena aku membutuhkan uang."

"Uang? Untuk?"

"Seperti yang pernah aku bicarakan bahwa posisiku di Nieverdell tidak membuatku memiliki hak istimewa mendapatkan pendidikan. Dan aku juga memiliki keterbatasan tentang uang. Aku butuh pekerjaan ini untuk mendapatkan uang agar saat kembali ke Nieverdell nanti aku bisa membayar seorang guru," Arielle menggigit ibu jarinya, terlihat semakin gugup. "A-aku.. ingin belajar membaca dan menulis…."

Ronan menoleh ke belakang. William tak tahu apa yang sedang rajanya pikirkan karena topeng yang ia kenakan menghalangi William menilai ekspresi dari pria itu. Pendeta Elis pun hanya bisa menunduk merasa bersalah.

Arielle meraih tangan Ronan dan menggenggamnya erat.

"Ini bukan salah Pendeta Elis! Aku yang memaksanya untuk menerimaku! A-aku sebenarnya mengancamnya!" ujar Arielle yang merasa panik saat pria itu menatap Pendeta Elis tajam.

Ronan hanya mendesah dan meraih jemari gadis itu. "Kau ikut denganku."

Arielle tak berani melawan. Ia menunduk meminta maaf ke arah Pendeta Elis saat ia diseret oleh Ronan pergi. Mereka pergi meninggalkan Cathedral menuju bangunan istana di utara, Istana Blackthorn.

Jantung Arielle berdetak sangat cepat karena ini adalah pertama kalinya Arielle menginjakkan kaki di bangunan ini.

Arielle semakin panik karena sepanjang jalan, Ronan tak bersuara sepatah kata pun. Arielle bahkan tidak bisa menggunakan waktunya untuk mengagumi kemegahan istana Blackthorn.

Mereka melewati lorong dan para pengawal juga pelayan yang kebetulan berpapasan dengan keduanya dan langsung menunduk hormat. Arielle sempat bertemu Lucas yang membulatkan matanya, merasa bingung melihat Putri Arielle bersama Sang Raja.

Arielle mengibaskan tangannya yang bebas, meminta Lucas untuk tidak ikut campur. Pria itu pun hanya mengangguk.

Ronan membawa Arielle ke ruang kerjanya. Ia menarik kursi kerjanya kemudian memaksa Arielle untuk duduk di sana. Pria itu menyingkirkan beberapa tumpukan kertas di atas meja untuk bersandar di sana. Posisi itu sangat mengintimidasi bagi Arielle.

"Biar aku menyimpulkan. Seorang putri kerajaan meminta-ah, bukan, lebih tepatnya mengancam Pendeta Elis untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan?"

Arielle mengangkat tangannya ragu-ragu. "Izin interupsi, Yang Mulia. Bukan sebagai pelayan, aku hanya bertugas merapikan kamar di lantai tiga."

Ronan mengangguk. "Bukan seorang pelayan namun merapikan seluruh kamar di lantai tiga Cathedral untuk mendapatkan uang. Dan uang tersebut akan digunakan untuk membayar seorang guru setelah kembali ke Nievierdell nanti. Benar begitu?"

Gadis itu mengangguk.

"Lalu, mengapa Pendeta Elis?"

"Maaf?"

"Mengapa kau meminta bantuan ke Pendeta Elis dan tidak menghampiriku?"

Arielle tetap diam tak menjawab. Ronan pun teringat sesuatu. Ia membungkukkan tubuhnya agar bisa menatap wajah gadis itu dari jarak yang sangat dekat. Arielle yang merasa terintimidasi, sedikit meluruhkan tubuhnya di kursi sang raja untuk tetap menjaga jarak di antara keduanya.

"Apakah di hari kau bersembunyi dariku kemudian kuantar ke Cathedral adalah hari kau minta pekerjaan kepada Pendeta Elis?"

"I-itu adalah hari pertamaku bekerja. Aku sudah memintanya sebelum itu…"

"Ah, jadi Tuan Putri baru dua hari bekerja dan ketahuan?" tanya Ronan lagi.

Arielle mengangguk pelan. Wajahnya memerah padam membuat Ronan tersenyum simpul melihat ekspresi malu dari gadis itu.

Ah, setelah seharian kemarin ia hampir dibuat gila oleh bulan purnama kini Ronan merasa seperti manusia lagi.

Pria itu memejamkan matanya kemudian membukanya dan memperhatikan netra cokelat Arielle yang bergetar. Gadis itu terlihat ketakutan dan hal itu membuat kepala Ronan terasa sakit.

Sang raja lalu mengistirahatkan kedua tangannya di lengan kursi mengunci Arielle yang setengah tubuhnya meluruh. Arielle tampak sangat kecil saat berada di antara dua lengan pria itu.

Rasa sakit di kepala Ronan sungguh menyiksanya dan saat ia memejamkan matanya samar-samar ia melihat wajah Arielle yang ketakutan di malam hari. Ronan menggeram, membuat Arielle mendongak khawatir.

"Yang Mulia?" panggil Arielle pelan. Namun pria itu terus memegangi kepalanya yang berdenyut keras.

Arielle menangkup wajah pria itu untuk menatapnya. "Yang Mulia? Apakah Anda baik-baik saja?"

Ronan masih terus menggeram. Arielle yang merasa khawatir kemudian berniat keluar untuk mencari William. Namun Ronan mencengkram tangannya begitu erat membuat Arielle meringis kesakitan.

Arielle cukup pengertian karena menganggap Ronan melakukan itu untuk meredam rasa sakitnya. Tanpa izin, pria itu memeluk Arielle erat dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gadis itu.

Nafas Ronan masih berderu kencang. Namun perlahan rasa sakitnya mulai mereda saat ia mengingat bahwa ada Arielle di dekatnya dan ia tak boleh lepas kendali.

Arielle hanya terdiam akibat terkejut karena seseorang sedang memeluknya erat. Ia bukan orang yang canggung dalam memeluk orang lain. Ia selalu memeluk Tania dengan leluasa tetapi pelukan ini terasa berbeda. Jantungnya berdebar sangat cepat membuat wajahnya merona.

"Maafkan aku sudah membuatmu ketakutan, Arielle."

Arielle mengerjapkan matanya saat mendengar Ronan menyebut namanya untuk pertama kali tanpa embel-embel Tuan Putri atau Yang Mulia…

Arielle sendiri tak tau apa yang dimaksud oleh pria itu dengan membuatnya ketakutan. Pria itu memang mengintimidasi tapi seingatnya pria itu tak pernah membuatnya setakut saat ia berhadapan dengan monster serigala seperti kemarin malam.

Arielle mendesah panjang dan membalas pelukan pria itu. Ia mengusap punggung lebar itu dengan lembut. "Sepertinya Anda sedang tidak enak badan, Yang Mulia. Anda butuh istirahat."

Ronan tak menjawab justru mengeratkan pelukannya dan Arielle hanya bisa pasrah menunggu pria itu melepaskannya.