Pintu telah ditutup dan Arielle kembali ditinggal bersama Ronan yang tak kunjung melepaskan pelukannya. Arielle menahan nafasnya saat Ronan merengkuh tubuhnya jauh lebih erat untuk terakhir kali kemudian melepaskannya.
Mendapat kesempatan untuk menjaga jarak, Arielle langsung mengambil dua langkah mundur agar pria itu tak bisa meraihnya lagi.
"Oh, kita masih harus berbicara tentang pekerjaanmu bersama Pendeta Elis," ujar Ronan saat Arielle izin untuk meninggalkan kamarnya.
"Masih? Memangnya ada hal lain?"
"Tentang niatmu untuk belajar membaca dan menulis," jawab Ronan singkat.
Pria itu melangkah menuju sofa dan mengistirahatkan tubuhnya di sana. Ronan mengangkat sedikit bagian topengnya agar dapat meminum ramuan yang sudah William bawakan tadi. Setelah menenggak cairan pahit itu, Ronan mengecap lidahnya beberapa kali agar salivanya cepat menghapus sensasi pahit dari indera perasanya.
Ronan menggerakkan telunjuknya meminta Arielle mendekat. Sang Putri pun menurut. Namun, bedanya kali ini ia tidak benar-benar mendekat, Arielle memilih duduk di sofa seberang.
Ronan memperbaiki topengnya dan Arielle yang tengah memperhatikan pria itu lekat-lekat dapat melihat sisa luka tipis tapi memanjang yang melewati sisi dagu kanan pria itu. Ronan mengistirahatkan kaki kanannya di atas kaki kiri dan memperhatikan gadis itu sekali lagi dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Aku ingin Tuan Putri berhenti bekerja dengan Pendeta Elis."
"Tapi Yang Mulia… aku sudah memberi tahu Anda bahwa itu satu-satunya cara untuk mendapatkan uang agar aku bisa belajar setelah kembali ke Nieverdell nanti."
"Kau tidak perlu repot memikirkan itu karena mulai besok kau akan belajar di sini."
"Di sini? Tapi aku masih belum memiliki uang untuk membayar guru."
Ronan terkekeh. Tangan kanannya ditepuk-tepukkan pada dadanya yang membusung.
"Tuan Putri, Northendell akan menyiapkan guru terbaik di seluruh daratan Forseham. Secara gratis," ujarnya bangga.
"Siapa?"
"Aku. Raja Ronan D. Blackthorn akan menjadi guru Anda."
Arielle tercenung sesaat. Ia mengerjapkan matanya, berharap Ronan hanya bercanda. Setelah beberapa saat diisi oleh keheningan, Arielle lalu berdehem.
"Terima kasih atas kebaikan hati Anda, Yang Mulia. Namun saya tidak bisa menerimanya."
"Hm?" Kedua alis pria itu bertaut.
"Saya tidak ingin merepotkan Anda lebih jauh lagi. Sebagai seorang raja, tentu Anda memiliki pekerjaan yang tidak sedikit dan menjadi guru untukku hanya akan membuang-buang waktu berharga yang Anda miliki."
"Aku tidak keberatan sama sekali," jawab Ronan santai.
Arielle tidak bisa menerima tawaran itu. Berada di dekat pria itu terkadang bisa sangat mengintimidasi, bisa juga membuat jantungnya berdebar cepat seperti tadi. Arielle merasa sakit yang Ronan rasakan mulai menular kepadanya. Kepalanya perlahan mulai pusing memikirkan cara menolak tawaran tersebut.
"Maaf, Yang Mulia. Tapi saya tidak bisa menerima kebaikan itu tanpa melakukan sesuatu sebagai bayarannya," ujar Arielle.
Arielle tidak ingin menjadi benalu. Selalu menerima kebaikan sang raja tanpa membalas kebaikannya. Ia sendiri bahkan belum bisa membalas kebaikan Ronan yang sudah menyediakannya kanvas juga cat untuk Arielle bisa menyalurkan hobi melukisnya.
Ronan berpikir sejenak. Ia tidak ingin mengambil kesimpulan seperti sebelumnya karena itu dapat berakhir dengan kesalahpaham yang membuat Arielle merasa sedih.
"Baiklah, jika jasa mengajarku tidak gratis, apa kau akan menerimanya?"
Arielle tidak langsung menjawab. Ia memikirkan tawaran tersebut baik-baik. Ia memang sangat ingin belajar membaca dan menulis. Raja Ronan memberinya kesempatan untuk belajar.
Bukankah semakin cepat ia bisa membaca dan menulis adalah sesuatu yang bagus? Arielle bisa kembali ke Nieverdell dengan sebuah bekal baru.
Kenapa sebelumnya ia tidak memikirkan kemungkinan bahwa bisa saja ayahnya langsung menikahkannya dengan seorang pria setelah ia kembali ke Nieverdell nanti? Menjadi tahanan di Norhendell tentu akan membuat citra keluarga kerajaan menjadi jelek, bukan? Maka dari itu bisa saja keluarganya berpikiran untuk segera memberikan dirinya kepada seorang pria asing untuk dinikahkan…
Arielle menggigit ibu jarinya. Sebuah kebiasaan yang selalu tak sadar ia lakukan saat gadis itu sedang berpikir serius. Ronan pun tak berniat memaksa Arielle untuk menjawab tawarannya saat itu juga.
Berapa lama pun gadis itu ingin berpikir, Ronan akan memberi waktu selama jawabannya adalah Arielle menerima tawarannya.
Jika Arielle masih menolak, maka Ronan akan membuat gadis itu berpikir untuk kedua kalinya. Ia akan terus melakukan hal yang sama sampai ia menjadi guru dari Putri Arielle.
Entah apa yang sebenarnya ia inginkan. Memikirkan Arielle bekerja menjadi pelayan di Cathedrall di bawah pengawasan Pendeta Elis sangat mengganggu Ronan. Ia sendiri tahu, Pendeta Elis tidak mungkin melakukan hal berlebihan hanya saja pikiran tentang Arielle bekerja untuk pria lain membuatnya menggertakkan giginya.
"Pekerjaan apa yang Yang Mulia inginkan untuk aku lakukan?" tanya Arielle memutus keheningan mereka.
Pekerjaan apa? Hm… sejujurnya Ronan sendiri belum berpikir sejauh itu.
"Apa yang bisa Tuan Putri tawarkan?" tanya Sang Raja.
"Um… tak banyak yang aku lakukan. Aku bisa memasak beberapa menu orang selatan, merapikan tempat tidur, membersihkan ruangan, mencuci pakaian… dan melukis."
Ronan mengangguk paham. "Sebenarnya aku tidak menginginkan ini tapi Tuan Putri bisa menjadi pelayan pribadiku sampai Tuan Putri lancar membaca dan menulis."
Arielle tak tahu harus merasa khawatir atau bersyukur. Namun ia pilihan ini lebih baik daripada ia harus mengumpulkan uang terlebih dahulu tanpa tahu apa yang akan ayahnya lakukan setelah ia kembali nanti.
"Kalau begitu aku terima tawaran dari Anda, Yang Mulia," jawab Arielle yakin.
Baginya menjadi pelayan pribadi Raja Ronan tak jauh berbeda dengan menjadi pelayan seperti biasa. Ia sudah sering memperhatikan para pelayan yang menangani para pangeran terutama Pangeran Alexis yang membutuhkan perlakuan kurang lebih seperti seorang raja.
Arielle mendongak saat Ronan bangkit dari sofanya.
"Baiklah, kita mulai belajar esok hari dan Tuan Putri bisa mulai bekerja hari ini."
"Hari ini?"
"Uhm-hm," jawab pria itu seadanya.
Ronan mengitari meja yang memisahkan keduanya. Arielle masih memantau apa yang akan pria itu lakukan selanjutnya. Sang putri kembali dibuat terkejut saat Ronan berbaring di sofa yang sama sepertinya dan mengistirahatkan kepalanya pada pangkuan Arielle.
"Yang Mulia?"
"Ini tugas pertamamu."
"Tapi…"
"Kau sendiri yang menyuruhku beristirahat tadi, kan?"
Arielle membenarkan dalam hati, tetapi bukan seperti beristirahat dengan seperti ini caranya. Arielle menoleh ke arah ranjang yang kosong kemudian ganti memandangi pria yang beristirahat di pangkuannya.
Ronan mengulurkan tangannya membuat Arielle bertanya-tanya.
"Kemarikan tanganmu," perintah sang raja.
Arielle pun meletakkan tangannya pada telapak tangan yang terulur itu. Jemari Ronan mengisi setiap sela jarinya. Ronan menggenggam tangan Arielle erat kemudian memejamkan matanya.
"Seperti ini jauh lebih baik," komentarnya.
Detik demi detik terus bergulir. Kegugupan yang Arielle rasakan tadi perlahan memudar. Bersama hembusan nafas lembut dari Ronan, tanda pria itu telah terlelap tidur, Arielle pun tersenyum. Ia merasa lucu melihat pria itu. Mengingatkan akan dirinya yang selalu tertidur di pangkuan Tania saat sakit.
Arielle cukup tahu bahwa seorang bangsawan tidak akan pernah tertidur di pangkuan seorang pelayan. Namun dirinya dan Tania adalah teman sekaligus keluarga. Jadi Arielle bisa mewajarkan sikap Ronan saat ini.
Ia mungkin akan menjadi pelayan pribadi pria itu, tetapi sepertinya sang raja menganggap dirinya sebagai seorang teman sehingga ia bisa tertidur pulas di pangkuannya. Sama seperti dirinya dan Tania….
Arielle membalas genggaman tangan Ronan dan salah satu tangannya yang terbebas menyusuri satu atau dua surai hitam pekat pria itu.
"Teman?" gumamnya. Arielle terkekeh pelan, merasa senang ia bisa menambah satu teman lagi selain Tania.