Chereads / Putri Sandera Dan Raja Serigala / Chapter 25 - Permintaan Seorang Teman

Chapter 25 - Permintaan Seorang Teman

Arielle benar-benar memegang ucapannya untuk tidak menyerobot antrean. Bahkan setelah beberapa kali para pengantre menawarkan dengan suka rela bahwa Arielle boleh menggunakan kesempatan mereka untuk masuk ke aula besar duluan, ia tetap berkeras tidak ingin mendapatkan perlakuan khusus.

Namun, hal itu membuat Arielle menjadi lebih akrab dengan para pengantre di depannya. Karena merasa canggung hanya berdiri dalam diam. Arielle sering memulai membuka topik pembicaraan dengan bertanya beberapa hal mengenai Nortehdell. Arielle sendiri memperkenalkan diri sebagai tamu dari Nieverdell. Saat lelah, Arielle tak sungkan untuk duduk di lantai bersama pria-pria tersebut.

Arielle memang mudah bergaul. Di selatan ia memiliki banyak kenalan orang biasa. Ia selalu menyapa para pelayan juga pengawal istana, sehingga baginya berbicara dengan mereka adalah sesuatu yang mengingatkannya pada orang-orang di selatan.

Arielle ikut bersimpati saat seorang pria bercerita tentang kemalangannya yang ditipu oleh pendeta gadungan.

"Pria kurang ajar itu berjanji bahwa ia bisa menggunakan mana panas dan akan menghangatkan tanah ladangku namun setelah kubayar ia kabur membawa seluruh uangku! Aku harap raja bisa memenggal kepalanya!"

Arielle terkesiap mendengar hal itu. Ucapan sang pria membuat orang-orang di sekelilingnya juga terkejut. Mereka baru tersadar bahwa di antara mereka ada seorang putri yang mungkin tidak pernah terpapar bahasa orang jalanan.

"Maaf Tuan Putri, saya tidak berniat menakuti Anda," kata lelaki pertama dengan dengan nada menyesal saat ia menyadari bahwa dalam kemarahannya barusan, ia telah menggunakan kata-kata umpatan yang tidak pantas diucapkan di depan seorang wanita terhormat, apalagi seorang putri bangsawan.

"Oh tidak apa-apa.. aku hanya terkejut bagaimana ada orang setega itu yang menipu orang lain. Aku harap Yang Mulia Raja bisa membantumu dengan permasalahan ladangmu," ujar Arielle tulus, membuat pria-pria di depannya merona.

Mereka terus berbincang. Saat harus maju mereka akan berdiri dan kembali duduk di lantai untuk beristirahat. Langit perlahan menggelap dan satu per satu teman baru yang Arielle temui masuk ke dalam aula besar. Saat mereka selesai bertemu raja, mereka akan pamit dan menunduk hormat ke arah Arielle yang dibalas gadis itu dengan senyuman.

Hari berubah menjadi gelap dan tinggal Arielle seorang diri yang mengantre. Pintu Aula dibuka menampakkan sosok William. Pria itu terkejut melihat Arielle berdiri di depannya.

"Yang Mulia? Apa yang Anda lakukan di sini?" tanyanya terkejut.

"Aku mengantre untuk bertemu Yang Mulia Raja Ronan," jawab Arielle dengan ceria.

"Anda mengantre? Sejak kapan?"

"Tadi siang."

"Yang Mulia, Anda kan bisa memanggilku agar aku bisa mendahulukan Anda."

"Tidak perlu, William. Aku justru senang bisa ikut menagntre karena aku bertemu beberapa teman baru."

"Teman baru?"

"Beberapa pria yang mengantre bersamaku sangat baik. Mereka tak sungkan mengajakku berbincang sehingga aku sama sekali merasa bosan selama menunggu."

William tak bisa lagi berkata-kata. Akhirnya, pria terakhir yang mengantre bersama Arielle keluar meninggalkan aula. Pria itu memberi hormat kepada Arielle.

"Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan Anda Yang Mulia. Saya harap Tuan Putri bisa merasa senang selama tinggal di Northendell."

"Terima kasih, Tuan," balas Arielle.

William pun mengajak Arielle untuk masuk ke dalam aula. Mulut sangt putri terbuka melihat betapa megahnya aula besar itu. Mata Arielle terpaku pada ornamen besar di atas singgasana raja. Di atas dinding kaca tersebut terdapat patung serigala emas yang menginjak kepala seekor naga.

William berdeham membuat Arielle sadar dari lamunannya.

"Ahem. Perkenalkan Putri Arielle Dellune dari Nieverdel. Tamu terakhir yang ingin menemui Anda Yang Mulia."

Arielle melihat ke sekeliling. Ada beberapa orang yang tak ia kenali. Mungkin mereka adalah para duke yang memimpin wilayah di Northendell. Arielle tersenyum ke arah Pendeta Elis yang tengah duduk di salah satu meja terdekat.

Ronan mengangkat alisnya bertanya-tanya mengapa Arielle bisa berada di sini. Ia menggertakkan giginya tak suka saat Arielle menarik lengan William untuk kemudian berbisik. Ronan ingin tahu apa yang Arielle bicarakan.

William berjalan mengitari meja para Duke dan menghampiri Ronan.

"Yang Mulia, Putri Arielle ingin berbincang tanpa ada orang lain."

Tanpa menunggu lebih lama Ronan membubarkan para bangsawan tersebut. Beberapa dari mereka menatap Arielle dengan tatapan bertanya-tanya. Meskipun begitu, tak ada yang berani menyuarakan rasa penasaran mereka. Pendeta Elis dan William juga diminta untuk segera keluar.

Kini di Aula besar itu hanya tinggal Arielle bersama Ronan. Pria mendesah. Dan Arielle tahu pria itu sedang sangat lelah. Duduk mendengarkan berbagai keluhan dan permintaan dari banyak orang kemudian menyelesaikan masalah dengan cepat bukanlah sesuatu yang mudah.

"Kemarilah," panggil Ronan.

Arielle berjalan mendekat.

"Lebih dekat," imbuh sang raja.

Arielle pun menaiki anak tangga tersebut.

"Lebih dekat lagi. Aku tidak bisa mendengarkan apa-apa dari jarak sejauh itu."

Arielle tertawa kecil karena tahu bahwa pria itu sedang berbohong. Tak mungkin orang-orang tadi diberi izin melangkah sejauh ini untuk mendekat kepada seorang raja. Dan aula besar itu pasti menghasilkan gema suara lebih besar.

Sejauh apa pun mereka berdiri, ucapan mereka akan tetap dapat didengar oleh sang raja. Meskipun begitu ia tetap melangkah maju membuat Ronan menyeringai di balik topengnya.

Saat gadis itu sudah berada di dekatnya. Ronan tak menunggu lebih lama dan membawa gadis itu untuk duduk di atas pangkuannya.

"Apakah para warga yang mengantre tadi juga berbicara sedekat ini dengan Anda?" tanya Arielle keheranan

"Hanya kau saja," jawabnya.

Arielle meraih topeng Ronan dan melepaskannya. Senyumnya semakin lebar saat melihat binar mata merah di depannya. Telunjuknya menyentuh gurat putih bekas luka yang sudah lama mengering itu

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Ronan sedikit serak.

"Aku dengar di kota sedang mengadakan festival. Jadi, aku meminta izin Anda untuk pergi bersama Lucas dan Tania menuju alun-alun kota."

"Tidak."

Senyum Arielle sontak menghilang dan menatap pria di depannya dengan tatapan tak percaya.

"Apakah karena aku seorang tahanan?" tanya Arielle patah hati membuat Ronan bergegas melingkarkan tangannya pada pinggul Arielle.

"Aku tidak bermaksud seperti itu." Ronan menangkup wajah Arielle untuk melihatnya lebih dekat.

"Aku tidak bisa mempercayakan dirimu kepada Lucas atau prajurit mana pun. Bahkan William sekali pun."

Mata Arielle berubah sendu. "Tapi Lucas adalah pengawal yang Anda tunjuk sendiri untuk mengawalku."

"Benar. Hanya saja festival di kota akan sangat ramai. Aku hanya khawatir."

"Aku bisa menjaga diri! Jika Yang Mulia tak percaya, Anda bisa bertanya kepada Tania bahwa aku sering jalan-jalan sendirian menikmati malam festival di Nieverdell. Aku tak pernah tersesat."

"Nieverdell dan Northendell adalah dua kerajaan dengan kultur dan kondisi geografis yang berbeda."

Arielle menarik tangan Ronan menjauh dari wajahnya. Ronan rasa sudah cukup menggoda gadis itu. Ia merengkuh Arielle dengan erat. Merasakan energinya kembali diisi dan seluruh penatnya terasa hilang.

"Aku akan menemanimu," ujar Ronan membuat Arielle terkejut.

"Anda tak perlu memaksakan diri, Yang Mulia. Anda pasti sangat lelah. Jika Yang Mulia tidak mengizinkanku pergi maka aku tak akan pergi," ujar Arielle dengan murung.

Ronan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Arielle menikmati kehangatan. "Bagaimana bisa aku menolak ketika temanku telah meminta?"

Rasa sedih yang Arielle rasakan tadi seketika menghilang.

"Benarkah?" tanya Arielle masih merasa tak percaya pria itu telah berubah pikiran.

"Tentu saja. Aku senang kau seperti ini. Datang kepadaku saat menginginkan sesuatu. Apa pun yang kau inginkan akan aku berikan, Arielle."

Arielle selalu merasa darahnya mendesir lebih cepat saat Ronan menyebut namanya. Ia membalas pelukan pria itu dengan lembut membuat Ronan tersenyum simpul.

"Terima kasih," ujar Arielle.

Keduanya terus berpelukan. Ronan masih betah dalam posisi itu sedangkan Arielle mulai bertanya-tanya kapan mereka bisa ke alun-alun kota karena hari sudah malam.

Pintu aula berderit terbuka dan Arielle menoleh ke belakang. William muncul dengan wajah yang merona. Ia terkejut melihat Arielle yang berada di atas pangkuan sang raja. Ia segera menundukkan kepalanya bingung saat mendapati Ronan tengah menatapnya tajam dari balik bahu sang putri.

William merutuki dirinya yang selalu mengganggu momen keduanya. Bukannya sengaja, William hanya ingin menyampaikan pesan surat dari Raja Nieverdell.

"Maaf mengganggu waktu Anda, Yang Mulia. Namun saya membawa pesan penting dari-"

"Jam kerja telah selesai, William. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi," tukas Ronan.

William menahan diri untuk tidak tertawa karena ini adalah pertama kalinya Ronan menolak pekerjaan. Namun melihat tatapan netra merah itu membuat William lebih sadar diri. Ia pun hanya menunduk dan izin mengundurkan diri meninggalkan aula besar tersebut.

"Yang Mulia, Anda masih memiliki pekerjaan?" tanya Arielle.

"Tidak. Aku bisa mengerjakannya esok hari. Malam ini kita akan ke festival, bukan?"

Arielle awalnya meragu karena merasa bersalah membuat pria itu mengenyampingkan pekerjaannya. Ronan menggesekkan pipinya pada pipi Arielle membuat gadis itu tertawa geli.

"Kau adalah temanku, bukan? Tak perlu merasa bersalah karena ini adalah keinginanku."