Arielle menyesap kembali teh hangat tersebut dan bersenandung membentuk nada kecil menikmati tubuhnya yang menghangat. Begitu juga saat ia menggigit kue jahe tersebut. Arielle benar-benar menikmatinya. Ronan hanya menyesap teh tanpa ingin mencoba kue-kue itu. Melihat Arielle begitu menikmatinya sudah membuat pria itu tersenyum simpul.
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Ronan. Ia menganggap jam belajar Arielle sudah cukup. Mereka masih bisa melanjutkannya esok hari.
"Hmmm…" Arielle bergumam panjang. Telunjuknya menepuk pelan dagunya seraya berpikir. Ia lalu menjawab seadanya. "Tak banyak yang bisa aku lakukan setelah ini. Mungkin mulai melukis."
"Hmm…"
Arielle menguap sekali lagi. "Atau mungkin tidur sebentar? Dan berkeliling di Cathedral."
Ronan meraih cangkir milik Arielle yang sudah kosong dan diletakkannya di atas meja. Ia meraih tangan gadis itu untuk mendekatinya.
"Apa yang akan Anda lakukan, Yang Mulia?" tanya Arielle bingung sambil mencoba menahan tubuhnya agar tidak lebih mendekat. Ronan tak menjawab. Pria itu kini meraih kepalanya dan diletakkan pada pangkuan pria itu.
"Beristirahatlah di sini," ujar Ronan santai.
Arielle yang panik segera bangun namun lagi-lagi pria itu meraih tubuhnya untuk rebahan di sofa.
"Aku telah memperhatikanmu sedari tadi. Tuan Putri sudah menguap beberapa kali."
"Tapi aku bisa tidur di kamarku sendiri."
"Hm-hm tapi dengan seperti kita bisa menjadi teman yang baik karena bisa saling membantu. Aku juga pernah tidur di pangkuanmu, bukan?"
"Tapi…."
Ronan yang gemas mencubit hidung gadis itu dan menutup mata Arielle. "Tidurlah, Arielle," ujar pria itu menggunakan nama Arielle.
Arielle menarik tangan yang menutupinya matanya. "Anda tidak kembali bekerja?"
"Aku juga butuh istirahat."
"Kalau begitu aku tidak boleh mengganggu istirahat Anda, Yang Mulia!"
Ronan menghembuskan napas kasar. Ia bertanya-tanya mengapa sekarang gadis ini penuh semangat sedang beberapa menit yang lalu mata indahnya mulai sayu akibat mengantuk.
"Ini adalah bentuk istirahatku," jawab Ronan sekenanya.
"Arielle, tidur," perintah Ronan tegas saat gadis itu ingin membuka mulutnya kembali.
Arielle tidak tersinggung akan perintah tegas barusan. Gadis itu justru terkekeh membuat Ronan tak bisa merasa kesal lebih lama. Sang raja mengelus rambut halus Arielle hingga gadis itu berhenti bergerak.
Ronan melepas jas kerajaannya dan melepaskan beberapa pin ornamen kerajaan di sana. Setelah semua ornamen di jasnya telah dilepas, ia menghamparkan jas tersebut ke atas tubuh Arielle. Dengan begini gadis itu akan lebih hangat. Ronan menyimpan ornamen-ornamen kerajaannya di atas meja begitu saja.
Arielle meraih jas yang Ronan berikan dan memeluknya lebih erat sehingga tubuhnya terasa lebih hangat. Tak butuh waktu lama untuk gadis itu jatuh terlelap karena Arielle sedari awal sudah lelah sehingga setelah mendapatkan posisi nyaman, ia pun tertidur.
Ronan tak bisa melakukan apa-apa. Ia terus membelai surai indah Arielle. Matanya meneliti setiap inci wajah gadis itu. Alis lentiknya terlihat indah. Pipi yang merona secara alami terlihat begitu menggemaskan begitu juga saat bibir kecil Arielle terbuka menghembuskan nafas pelan.
Pintu kerjanya terbuka dan muncullah William dan Pendeta Elis. Ronan tak bisa mengusir mereka karena pasti keduanya akan melapor sesuatu yang penting. Ronan hanya bisa meletakkan telunjuknya di depan bibir hingga kedua pria itu berjalan begitu pelan.
Ronan memberikan izin keduanya untuk duduk di sofa depannya. Tak lupa ia menutup telinga Arielle, agar tidur nyenyak gadis itu tak terganggu oleh perbincangan mereka.
"Berbicaralah. Dengan suara pelan," ujar Ronan tegas.
William melirik Putri Arielle yang tertidur di pangkuan sang raja. Ia terlalu terpukau akan pemandangan di depannya.
Selain Putri Arielle menjadi wanita pertama yang melihat wajah sang raja tanpa topeng, ternyata putri sederhana itu juga menjadi wanita pertama yang mendapatkan perlakuan seperti ini. Perlakuan ini terlalu manis untuk rajanya yang bisa dikategorikan sebagai seseorang yang dingin.
William masih ingat betul. Saat mudanya, sang raja adalah playboy dan tak pernah ia melihat wanita-wanita di masa lalu tertidur di pangkuan sang raja tanpa disentuh dimana-mana.
Ronan berdecak membuat William tersadar kembali dari keterpurukan. Pria itu berdeham pelan dan mengulurkan sebuah surat lagi.
"Duke Coley mengundang Anda untuk pesta ulang tahun putrinya, Putri Fiona."
Ronan hanya mengangguk kemudian membuang surat undangan itu tanpa perlu membukanya. Duke Coley, seorang Duke yang ia beri wilayah di perbatasan barat. Pria itu cukup cakap namun terlihat jelas ambisinya membuat Ronan tak terlalu berniat memberikan perhatian lebih.
"Putri Fiona-"
Ronan menatap William tajam membuat pria itu mengangguk mengerti.
"Apa aku terlihat begitu murah sehingga dengan mudahnya meninggalkan tugas kerajaan demi ulang tahun seorang putri? Apa aku memiliki waktu sebanyak itu?"
William mengerling ke arah Arielle yang tertidur pulas. Ia mengulum bibirnya untuk tidak tersenyum geli.
"Tidak, Yang Mulia. Saya mengerti Anda begitu sibuk dan tak akan pernah ada waktu untuk menghadiri pesta ulang tahun seorang putri. Ke depannya saya akan lebih teliti dalam menyortir surat kepada Anda."
Ronan hanya mengangguk.
"Dan ini tentang pergerakan di Gunung Birwick. Pendeta Elis, mohon Anda menjelaskan…."
"Yang Mulia, trigram bola dunia merasakan adanya pergerakan cahaya dan panas matahari di gunung Birwick. Kemudian sesuai perintah Anda, Anda ingin penjaga untuk melacaknya dan kami menemukan sebuah lahan kecil dengan salju yang meleleh dan menunjukkan tanaman juga rerumputan hijau. Selang beberapa lama salju kembali turun dan menutupi lahan hijau tersebut."
Ronan terdiam panjang. "Bahkan api dari seekor naga saja tak akan mampu mencairkan salju tebal gunung Birwick. Pasti itu adalah akibat dari penggunaan mana cahaya," ujar Ronan menyampaikan kecurigaannya.
"Tak ada makhluk di Gunung Birwick yang bisa memanipulasi mana. Hanya manusia yang bisa. Lalu siapa? Siapa manusia yang berhasil menembus penjagaan gunung Birwick dan mencairkan salju di sana?" tanya sang raja.
Pendeta Elis mengulurkan sebuah buku dan membuka halaman tertentu.
"Hal ini pernah terjadi pada masa pemerintahan kakek buyut Anda. Telah tercatat, mereka menemukan seorang pria yang pingsan di fenomena salju mencair ini. Para pendeta tak bisa merasakan mana yang mengalir tetapi pria itu bisa mengaliri mana lebih besar kepada orang lain."
Pendeta Elis ragu untuk mengatakan ini. Pria itu melirik ke arah Putri Arielle yang masih tertidur lelap.
"Ciri-cirinya mirip seperti apa yang saya rasakan saat disentuh oleh Putri Arielle dulu," imbuhnya.
"Maksudmu?"
"Saya tidak bisa merasakan aliran mana di tubuh Putri Arielle. Namun, saat kami bersentuhan saat itu, Putri Arielle seperti mengaliri mana kepada saya."
Ronan mencoba menyimpulkan laporan dari Pendeta Elis. "Lalu fenomena di Gunung Birwick itu adalah kemungkinan memang dilakukan oleh seorang manusia namun karena kita tidak bisa merasakan mananya maka tak ada penjaga yang bisa mendeteksi kehadiran orang itu?"
"Benar begitu, yang Mulia," jawab Pendeta Elis mengonfirmasi.
"Dan secara tidak langsung, kau mengatakan bahwa Arielle memiliki potensi kekuatan mencairkan salju ini?"
"Ini hanyalah hipotesis awal yang saya miliki, Yang Mulia."
Ronan menatap Pendeta Elis yang terlihat serius. Pria itu telah bertahun-tahun berkutat dengan ilmu pengetahuan. Tak mungkin Pendeta Elis asal berbicara.
"Lalu apa yang terjadi dengan pria yang ditemukan oleh kakek buyutku? Dimana ia sekarang."
"Pria itu menghilang, yang Mulia. Terakhir catatan medis mengatakan ia dalam kondisi koma dan suatu malam hilang begitu saja. Kakek Anda sama sekali tidak mengerahkan pencarian untuk pria itu."
Banyak pertanyaan yang ingin Ronan tanyakan. Ia harus mempelajari kasus ini lebih dalam lagi. Satu-satunya yang bisa ia lakukan saat ini menunggu konfirmasi tentang kejanggalan penggunaan mana yang tak dapat dideteksi oleh para pendeta.
"Baiklah, laporkan padaku segera jika kau menemukan jawaban mengapa kalian tak bisa mendeteksi aliran mana seseorang."
Pendeta Elis menatap Putri Arielle ragu. Ia yakin Putri Arielle adalah salah satu orang yang memiliki kejanggalan dalam aliran mananya. Namun… apakah rajanya akan memberi izin untuk ia bereksperimen dengan sang putri?
"Jangan sentuh, Arielle. Cari orang lain yang memiliki kejanggalan mana lainnya." tukas Ronan bahkan sebelum Pendeta Elis dapat menyampaikan apa yang ia pikirkan.
Sudah ia duga. Raja Ronan tak akan membiarkan Putri Arielle untuk diteliti di bawah Cathedral. Mungkin saat ini yang bisa ia lakukan adalah dengan studi literatur.