Di kamar Arielle membawa kelinci itu untuk naik ke atas ranjang bersamanya. Tania pun mengambil makan malam milik Arielle dan menyuapkannya kepada gadis itu. Arielle tak menolak dan membuka mulutnya dengan patuh.
"jika seperti ini, mengingatkanku akan masa kecil Anda, Tuan Putri," ujar Tania sedikit terkekeh melihat si kelinci yang begitu nyaman beristirahat di pangkuan Arielle.
"Ah, aku mendongeng kisah seorang ksatria pada anak-anak ayamku dulu?"
Tania mengangguk. "Saat itu juga aku sedang menyuapi Anda."
Arielle terus mengelus bulu putih nan halus tersebut. Tania selalu kagum akan kemampuan majikannya membuat para hewan yang disentuhnya menjadi tenang. Sedari kecil gadis itu selalu menjadi daya tarik para hewan.
"Anda memiliki banyak teman hewan," komentar Tania membuat Arielle tertawa.
"Benar," jawabnya.
Tania kembali menyuapi Arielle dan merapikan rambut putih berkilau itu untuk diletakkan di belakang telinga.
"Jika diingat-ingat hewan apa yang sudah pernah Anda selamatkan? Selain menjadi induk pengganti anak-anak ayam itu"
Arielle tertawa kencang hingga kelinci di pangkuannya terlonak kaget. Kelinci itu pun melompat turun dari ranjang. Kaki kecilnya melompat ke arah perempuan yang hangat kemudian menggulung di atas karpet. Arielle yang menatap itu hanya bisa terpaku tak ingin mengganggu tidur si kecil putih.
"Um… anak-anak ayam itu adalah yang pertama, kemudian kita pernah merawat seekor kucing yang ditabrak oleh kereta milik Putri Andrea, bukan?"
"Benar, Thomas yang malang. Sayang sekali ia harus meninggalkan kita begitu cepat."
Arielle menjadi sedih mengingat kucing pertamanya yang ia rawat sepenuh hati selama berbulan-bulan harus mati cepat karena tak sengaja memakan racun tikus. Kucing berwarna abu-abu itu Arielle temukan dengan luka berdarah di kakinya akibat ditabrak oleh kereta kakak perempuannya.
Dengan sigap Arielle segera berlari menyelamatkan kucing itu dan membawanya kepada Tania. Keduanya merawat lukanya dengan telaten. Arielle juga sering berbagi susu untuk Thomas…
"Lalu apakah kau ingat babi yang kuberi nama Piggy, Tania?"
"Oh, si serakah itu," ujar Tania tertawa.
"Piggy benar-benar tumbuh menjadi besar," ujar Arielle antusias.
"Tapi kita harus menjualnya untuk membelikan Anda gaun baru untuk ulang tahun Pangeran Archie…."
"Benar, aku harap ia tidak merebut makanan babi lain di kandang barunya."
Arielle teringat burung-burung kecil yang selalu datang setiap pagi ke kamarnya. Selalu ada lima ekor burung yang bertengger di jendelanya setiap Arielle bangun. Jika gadis itu tak kunjung bangun kelimanya akan mengetuk-ketukkan paruh mereka pada jendela kaca sampai Arielle datang dan menaburkan biji wijen untuk kelimanya.
"Aku harap mereka bisa mencari makan dengan baik," gumam Arielle.
"Siapa?"
"Burung-burung yang kerap datang di pagi hari."
"Ah, mereka…"
Sekarang bertambah satu alasan lagi yang membuat Arielle ingin kembali ke Nieverdell. Ia merindukan teman-teman kecilnya.
Pintu kamarnya diketuk, dan saat Tania membukanya terdapat Lucas dan William yang membawa keranjang besar yang ditutupi oleh kain.
"Dari Yang Mulia Raja Ronan sendiri," ujar William sedikit terengah.
Arielle pun ikut turun dari ranjangnya dan menerima keranjang yang cukup berat itu. Saat ia membuka tutup kain tersebut, muncullah beberapa kelinci membuat gadis itu kegirangan. Arielle pun membantu mereka keluar keranjang. Sang betina segera menyusul kelinci jantan yang tengah tertidur di dekat perapian.
Ketiga anak kelinci itu terlihat ketakutan membuat Arielle tak tega. Gadis itu pun ikut duduk bersimpuh dan membawa ketiganya ke dalam pelukannya. William terheran-heran bagaimana bisa tiga ekor kelinci yang ketakutan itu terlihat begitu damai di pelukan seseorang yang tak mereka kenal?
Lucas izin mengundurkan diri namun Arielle memanggilnya sekali lagi.
"Lucas, apakah kau memiliki pena dan selembar kertas?"
"Saat ini aku tidak membawanya, Tuan Putri. Namun jika Tuan Putri berkenan untuk menunggu, aku akan mengambilnya dari perpustakaan di sini."
"Benarkah? Terima kasih, lucas. Maaf merepotkanmu."
Lucas memegangi dadanya kemudian menunduk. "Dengan senang hati, Yang Mulia."
Pria itu pun keluar meninggalkan William yang menunggu diizinkan kembali.
"William?" panggil Arielle meminta pria itu mendekat ke arahnya di perapian.
"Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia?"
Arielle menepuk lantai berkarpet di depannya meminta pria itu duduk bersamanya. William ragu. Ia takut saat ia melangkah mendekat, ia akan menakuti kelinci-kelinci itu yang begitu damai menempelkan tubuh mereka pada sang putri.
Bahkan ketiga kelinci kecil yang paling susah ia tangkap pun terlihat begitu damai di pangkuan sang putri.
"Tidak ada apa-apa. Kau tak akan membuat mereka takut. Mendekatlah dengan santai seperti kau adalah salah satu dari mereka."
William sangat ingin tertawa mendengar ucapan Putri Arielle barusan. Namun demi kesopanan pria itu hanya berdeham. William pun akhirnya duduk di depan sang putri di dekat perapian.
"Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia?" tanya William sekali lagi dengan nada lebih kecil takut membangunkan kelinci-kelinci itu.
"Kau akan kembali ke kantor Yang Mulia Raja, kan?"
"Benar, masih ada laporan yang harus saya berikan."
"Um… bisakah kau menunggu beberapa saat? Aku berniat menuliskan ucapan terima kasih untuk Yang Mulia Raja. Namun karena aku baru belajar mengenal huruf selama dua hari, aku jadi tak begitu yakin. Jadi aku ingin kau membantu mengoreksi tulisanku."
"Anda sudah bisa menulis?" tanya William terkejut.
"Belum-belum. Hanya saja aku bisa menggambar dan melukis jadi kurasa aku bisa meniru bentuk huruf yang sudah kukenali. Tapi aku butuh bantuanmu untuk memastikan apa yang aku tulis benar."
William melirik ke arah pelayan tua yang tengah duduk di sofa. Wanita itu mengangguk menyetujui membuat William ikut mengangguk.
"Sebuah kehormatan bisa membantu Anda, Yang Mulia."
"Maka dari itu aku memintamu untuk menunggu di sini bersamaku, kau pasti sangat kedinginan sudah mengejar kelinci—kelinci ini kan? Selagi membantuku maka hangatkanlah tubuhmu sebentar."
William menekap mulutnya dengan tangan merasa terharu. Pria itu benar-benar tulus tersentuh akan perhatian yang Putri Arielle berikan padanya. Sang raja yang ia layani belasan tahun saja tak pernah sekali pun menanyakan kabar atau memberi perhatian kecil seperti ini.
Jauh dalam lubuk hatinya, ia ingin menangis tetapi sebagai seorang ksatria ia tetap harus terlihat berwibawa.
"Terima kasih banyak atas perhatian Anda, Yang Mulia."
Arielle mengibaskan tangannya meminta William untuk tidak mempermasalahkan hal itu.
Lucas pun kembali bersama setumpuk kertas juga pena beserta tintanya.
Arielle menggerak-gerakkan jarinya sebelum memulai memegang pena tersebut. Baik William dan Lucas bersama-sama menanti dengan sabar. Arialle pun mulai menelupkan pena ke dalam tinta.
Harus keduanya akui, kemampuan menggambar sang putri sangat luar biasa karena gadis itu bisa meniru dengan indah lekukan yang membentuk huruf.
Setiap selesai menulis satu huruf, Arielle akan mendongak untuk meminta pendapat William dan Lucas. Kedua pria itu hanya mengangguk dan membiarkan Arielle terus menulis.
Arielle hanya menulis satu kalimat namun baginya waktu singkat itu hampir menghabiskan seluruh tenaganya.
"Apa aku menulisnya dengan benar?"
"Ini sangat sempurna, Tuan Putri," puji Lucas.
William bergumam membuat Arielle bertanya. "Apakah ada yang salah di tulisanku, William?"
William memegangi dagunya seraya berpikir, "Kurasa tulisan Anda telah sempurna, Yang Mulia. Hanya saja…."
"Hanya saja?"
"Mungkin Anda bisa menambahkan gambar bunga kecil atau bentuk hati setelah kalimat."
"Untuk apa? Apakah setiap surat harus diakhiri gambar?"
Lucas juga ingin bertanya hal yang sama kepada William tetapi pria itu mengangkat tangannya agar Lucas tetap diam.
"Setiap surat pasti memiliki tanda pengirim. Mulai dari tanda kebesaran, lambang kerajaan, lambang rumah, dan lain-lain. Namun, untuk Anda, saya sangat menyarankan untuk menggambar tanda hati di sini."
William menunjuk ruang kosong setelah titik. Arielle mempercayai ucapan pria itu atas dasar alasan pria itu telah banyak berkutat dengan surat-menyurat jadi apa yang dikatakan oleh William pasti ada benarnya.
Arielle tidak mempertanyakan hal tersebut lagi dan menggambar sebentuk hati juga bunga kecil di tempat yang disarankan oleh William. Gadis itu melipat suratnya dengan hati-hati kemudian memberikannya kepada William.
"Dengan ini aku pertaruhkan nyawaku, apa pun yang terjadi surat ini harus sampai di tangan Yang Mulia Raja."
Arielle tertawa kecil mendapati gurauan William barusan cukup menggemaskan. William dan Lucas pun izin mengundurkan diri. Arielle masih nyaman duduk di dekat perapian dengan teman-teman barunya.