Nieverdell
Seorang ksatria berkuda cepat menuju istana. Ia terburu-buru karena hendak mengabarkan bahwa gubuk penjagaan serigala di hutan telah diserang. Dengan secepat kilat, ia berkuda melewati ramainya kota.
Semua rang mulai menjerit sambil menyelamatkan diri juga barang dagangan mereka ketika ia lewat. Tak peduli jika ia menginjak dagangan orang lain atau menabrak seseorang hingga terjatuh, ksatria tersebut terus memacu kudanya dengan cepat.
"Minggir! Minggir!!!" teriaknya keras.
Sumpah serapah dihujankan kepada ksatria itu. Pun setelah tiba di gerbang istana dan melompat turun dari kudanya, pria itu segera berlari kencang menuju aula istana. Ia melewati dua penjagaan dan menyuruh mereka minggir.
Ksatria tersebut membuka pintu aula membuat beberapa orang di dalam sana menghentikan diskusinya.
"Ada kekacauan apa sampai kau mengganggu diskusi kerajaan?" tanya Raja Hugo Dellune menahan amarah.
Ksatria itu maju dengan napas terengah-engah kemudian bersujud di depan Raja Hugo.
"Maafkan saya, Yang Mulia. Dua serigala telah ditemukan mati di dekat bantaran sungai."
"APA KAU BILANG?" teriak Pangeran Alexis. Suara berdebum saat ia memukul meja sampai mengejutkan para bangsawan di sekelilingnya.
Raja Hugo meminta semua orang untuk meninggalkan aula istana. Kini di aula besar itu hanya tinggal sang raja, Pangeran Alexis, juga seorang ksatria yang tengah berlutut.
Suara umpatan Pangeran Alexis terdengar jelas menggema di aula tersebut. Raja Hugo bersedekap memastikan bahwa berita yang ksatria tu sampaikan itu bukan hanya miskomunikasi semata.
"Bagaimana bisa? Hutan itu telah dijaga oleh para ksatria."
"Menurut kesaksian dari salah seorang prajurit, ia mengatakan mereka diserang oleh seekor monster serigala."
"Monster serigala? Maksudmu seekor serigala memangsa serigala lain?" tanya Pangeran Alexis. Sang pangeran tertawa mencemooh atas kebodohan ksatria yang tengah berlutut di hadapannya. Tak pernah ada ceritanya bahwa seekor serigala akan menyerang serigala lain. Mereka memang binatang karnivora, tetapi bukan kanibal.
"Benar, Yang Mulia. Monster itu lebih besar dari serigala pada umumnya. Tubuhnya hampir sebesar seekor kuda dewasa, dengan warna hitam pekat dan bermata merah."
Raja Hugo terdiam. Ia teringat sebuah cerita saat ia berkunjung ke Utara beberapa tahun lalu. Mereka bilang di Utara berkeliaran berbagai macam monster yang jarang dilihat oleh orang pada umumnya.
Salah satu cerita yang pria itu pernah dengar adalah tentang seekor serigala berbulu hitam pekat dengan iris merah semerah batu ruby. Penduduk di sana mengatakan, hanya orang-orang dengan keberuntungan luar biasa yang bisa tetap hidup setelah melihat monster itu.
Namun bagaimana bisa monster itu berada di tanahnya? Bagaimana bisa ada monster yang melewati perbatasan tanpa diketahui oleh seorang penjaga satu pun? Dan memangsa serigala lain?
Aula istana menjadi sangat hening.
"Apa masih ada prajurit yang selamat?" tanya Raja Hugo.
"Lima belas orang luka-luka dan tiga orang ditemukan tewas dengan luka cakar di tubuh mereka."
"Melawan delapan belas orang sendirian. Jelas bukan seekor serigala biasa," gumam Pangeran Alexis mendapatkan anggukan setuju dari sang raja.
Ksatria tersebut pun diperintahkan untuk kembali membawa para ksatria dan prajurit yang terluka agar bisa segera diobati oleh tabib istana. Raja Hugo juga meminta kedua mayat serigala yang diserang oleh monster itu untuk dibawa ke istana untuk diperiksa lebih lanjut.
Setelah pintu aula tertutup, Pangeran Alexis mendesah panjang.
"Apakah ini artinya kita membutuhkan tiga ekor serigala baru untuk diserahkan kepada Utara?" tanya Pangeran Alexis pada ayahnya.
Raja Hugo mengetuk-ketukkan jarinya pada meja kayu di depannya.
"Tidak. Ini terjadi karena hukum rimba dan kita tidak bisa melakukan apa pun."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
Raja Hugo menatap putra pertamanya dengan tatapan tajam.
"Apa yang akan kita lakukan? Apa yang akan KAU lakukan," ujar sang raja begitu dingin.
Sang pangeran ingin mengumpat namun ia hanya mampu menggertakkan giginya tak bisa membalas ucapan sang ayah. Semua ini berawal dari keteledorannya. Fuck! Ini adalah salah serigala sialan itu yang menerjang rusa target buruannya.
Alexis mendinginkan dirinya untuk mencari jalan keluar.
"Ayah, aku akan ke Utara," ucapan Pangeran Alexis membuat alis sang raja terangkat. Ia menunggu rencana apa yang putranya akan lakukan.
"Aku akan menjelaskan kondisi kita pada Raja Ronan langsung dan melihat kondisi Arielle," Alexis menambahkan. "Kita masih membutuhkannya kan?"
Raja Hugo yang berjanggut putih itu menganggukkan kepalanya pelan.
"Pastikan gadis itu tidak membuat masalah di Utara. Kita membutuhkannya kembali ke Selatan segera dengan keadaan utuh. Perjanjian kita dengan Duke Pellinton tidak boleh gagal."
"Akan kupastikan sendiri," janji Pangeran Alexis.
Pintu aula terbuka dan datanglah Ratu Rosalie beserta kedua putrinya, Putri Andrea dan Putri Anneliese. Ketiganya terlihat panik tetapi baik Raja Hugo maupun Pangeran Alexis mencoba untuk tidak menghiraukan ketiganya.
"Yang Mulia, apakah benar serigala kita diserang oleh monster? Apa yang akan Anda lakukan, suamiku? Bagaimana dengan perjanjian kita dengan Duke Pellinton? Kita sudah berjanji akan menjadikan Arielle sebagai istrinya empat bulan lagi."
Pangeran Alexis menoleh ke arah ayahnya. Sang raja terlihat sama sekali tidak terkesan dengan kegaduhan yang istri juga kedua putrinya perbuat sehingga ia mengisyaratkan agar putranya saja yang menjelaskan.
"Benar, serigala kita telah diserang oleh seekor monster yang tidak kita kenal. Maka dari itu aku akan ke Utara untuk menjelaskan kondisi terbaru kepada Raja Ronan langsung dan melihat kondisi Arielle. Mengenai perjanjian dengan Duke Pellinton, akan aku diskusikan kembali setelah aku pulang dari Utara."
Ratu Rosalie membuka kipas dan mengibaskannya pada wajahnya yang perlahan berkeringat. Mereka semua mengkhawatirkan hubungan politik yang sedang mereka bangun. Jika Arielle sampai terluka di Utara, maka Duke Pellinton tak akan menerima gadis tu sebagai istrinya.
Ya, Arielle akan dinikahkan dengan seorang pria berusia 40-an yang sudah memiliki dua istri. Arielle akan menjadi yang ketiga. Awalnya keluarga raja cukup terkejut oleh kehadiran Duke Pellinton yang datang begitu tiba-tiba melamar Arielle. Pria tua itu dengan tegas dan jelas meminta putri kesepuluh Raja Nieverdell untuk dijadikan istri, Putri Arielle Dellune.
Raja Hugo bisa saja menolak tetapi Duke Pellinton membawahi sebuah daerah yang dilewati jalur sutra perdagangan dari selatan menuju Kerajaan Thebis di Timur. Pria itu juga memiliki tambang batu mulia. Raja Hugo selalu memfavoritkan Duke Pellinton sebagai orang kepercayaannya.
Duke Pellinton juga sepertinya tidak main-mai. Pria itu dengan mudah menyediakan sepasang serigala sebagai tanda keseriusannya. Itulah mengapa Nieverdell dengan cepat bisa menemukan dua ekor serigala dalam kurun waktu yang singkat.
"Tenanglah, Ratu. Duke Pellinton sudah menjadi orang kepercayaan istana. Jika kita bisa menjelaskan semuanya dengan benar, pria itu pasti akan mengerti kondisi kita. Alexis tetap akan emndapat dukungannya sebagai seorang pewaris takhta," ujar sang raja dengan nada datar. Pria itu bahkan tidak melihat istrinya saat mengucapkan kalimatnya. Ia lebih sibuk membuka buku di depannya.
"Alexis, bawa ibumu keluar."
Pangeran Alexis menunduk hormat dan mengajak Ratu Rosalie beserta kedua saudaranya untuk keluar meninggalkan aula.
"Semuanya akan baik-baik saja. Ibu jangan terlalu khawatir," ujar Alexis sambil menggiring ketiganya keluar.
Putri Andrea yang sedari tadi diam menahan lengan Alexis.
"Alexis, aku akan ikut denganmu menuju Utara."
*
Northendell
Arielle dengan cepat memejamkan matanya menunggu Ronan melepaskan wajahnya. Tangannya menggantung di kedua sisi tubuhnya, terasa kaku. Kakinya juga harus menjinjit karena pria itu melingkarkan salah satu tangannya erat membuat tubuh keduanya melekat erat. Tubuh Arielle sedikit terangkat.
Ronan lalu menjauhkan wajahnya dan tersenyum kecil melihat kedua alis Arielle mengerut dan kedua mata gadis itu terpejam erat. Ibu jarinya mengusap rona merah di pipi mulus Arielle.
"Aku merindukanmu," ujar Ronan begitu saja.
Arielle membuka matanya perlahan. Jantungnya berdetak sangat cepat sekarang dan ia tak tahu bagaimana harus membalas ucapan pria itu. Sang putri menekap bibirnya kemudian menundukkan kepalanya. Wajahnya terasa begitu panas. Arielle merasa malu diperhatikan dari jarak sedekat ini.
Ronan sangat ingin mendengar suara gadis itu.
"Urusanku selesai tepat waktu. Sekarang waktunya aku menepati janjiku."
"Janji?" tanya Arielle dengan suara sangat pelan.
"Dua hari yang lalu aku bilang akan mengajakmu untuk melihat hutan Forstberry bukan?"
Arielle sedikit terkesiap. Entah kenapa ia terkejut padahal beberapa saat yang lalu ia juga memikirkannya. Mungkin Arielle tidak menyangka bahwa Ronan akan kembali secepat ini. Ia pikir pria itu telah lupa dan mengerjakan hal lain atau mungkin sudah pergi meninggalkannya akibat penolakan yang ia berikan. Namun sekarang pria itu masih bersikap sangat baik padanya.
"Kau berubah pikiran?" tanya Ronan sedikit kecewa mendapati respons Arielle yang terlihat tak tertarik.
"Ah, tidak-tidak. Aku masih berharap bisa melihatnya," jawab Arielle malu-malu.
Gadis itu tak seberani sebelumnya. Terlihat jelas bahwa Arielle gugup saat ini. Sama seperti pertemuan pertama mereka. Gadis itu tampak canggung. Ronan ikut menunduk melihat ujung kaki gadis itu yang saling menginjak satu sama lain. Kedua tangannya meremas sisi gaunnya dengan canggung.
Alis Ronan mengerut tak suka melihat tangan gadis itu bergetar. Apakah Arielle sedang kedinginan?
Ronan memeriksa Arielle dari atas hingga bawah dengan seksama. Bibirnya yang selalu terlihat pink alami kali ini lebih pucat dan sedikit pecah-pecah. Rona pipinya juga lebih merah dari biasanya.
Uap dari mulut gadis itu menandakan bahwa Arielle sedang kedinginan. Gadis itu telah berdiam diri di luar istana cukup lama. Benar, gadis itu sedang kedinginan dan butuh dihangatkan dengan segera.
Ronan meletakkan kedua tangannya di awah punggung juga lutut Arielle dan mengangkatnya untuk digendong. Arielle yang merasa tiba-tiba terbang berteriak kecil akibat terkejut.
"Yang Mulia? A-aku bisa jalan sendiri."
"Aku tahu tapi aku ingin seperti ini," ujar Ronan, menahan diri untuk tidak menyeringai.
Ia membawa Arielle ke kamarnya, membuat gadis itu panik. Beberapa penjaga segera menundukkan kepala mereka karena sang raja tengah tidak menggunakan topengnya. Ronan membuka pintu kamarnya dengan mudah dan menutupnya kembali dengan kakinya.
Pria itu meletakkan Arielle di atas ranjang miliknya. Arielle mencoba bangkit tetapi Ronan menyuruh gadis itu kembali rebahan.
"Kau kedinginan. Hangatkan tubuhmu terlebih dahulu di sini. Biar aku saja yang menyuruh pelayan menyiapkan pakaianmu untuk keberangkatan kita esok pagi."
Ronan mengangkat kedua kaki Arielle dan membantu gadis itu melepaskan sepatunya. Ia menatap kagum bagaimana seseorang bisa berjalan di atas tumpukan salju dengan ukuran kaki sekecil ini? Ukuran sepatu Arielle bahkan lebih kecil dari telapak tangannya. Jika dipikir, bobot gadis itu juga sangat ringan. Hm… Ronan butuh memberi asupan makan lebih banyak lagi untuk Arielle.