Arielle tidak bisa tidur. Ia menghabiskan waktu berjam-jamnya hanya dengan memikirkan perasaannya. Ronan pun sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbangun di waktu dekat. Tidur pria itu sama sekali tak terganggu oleh apa pun.
Saat tangan Arielle terasa lelah dan Arielle menarik tangannya dari bawah kepala pria itu, Ronan juga sama sekali tak bangun. Meskipun begitu ia tidak bisa lepas dari dekapan sang raja.
Arielle ingin kembali ke ruangannya. Mereka telah berbaring sejak sore dan sekarang entah jam berapa. Melihat ekspresi tenang milik sang raja, membuat Arielle tak tega membangunkan pria itu untuk meminta Ronan melepaskan pelukannya.
Pasti pekerjaannya di luar istana sungguh melelahkan. Menjadi raja bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Apalagi semuanya dilakukan oleh seorang diri. Jika ia bisa, Arielle juga ingin membantu Ronan meringankan pekerjaan pria itu. Layaknya Pendeta Elis yang mengatur Cathedral, William dengan urusan diplomatik atau Lucas yang membantu pria itu mengurus internal istana.
Tapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang gadis yang baru bisa membaca dan menulis? Arielle juga bersedia membuatkan sarapan sang raja setiap hari. Hm… hanya itu yang bisa Arielle lakukan. Arielle merasa itu saja belum cukup. Ronan juga sudah melakukan banyak hal untuknya. Sekadar sarapan, semua orang pun bisa melakukannya.
Menjadi teman yang baik? Arielle tahu istilah teman adalah menjalin hubungan dengan seseorang. Saling membantu dan mengasihi, berbagi rasa empati, juga saling menghormati antar sesama. Tapi rasanya jika bersama Ronan, istilah teman itu terlalu abstrak.
Arielle merasakan tangan yang melingkar erat di tubuhnya sedikit terangkat. Setelah berjam-jam Arielle menunggu, akhirnya Ronan pun mengubah posisi tidurnya menjadi telentang.
Gadis itu menggunakan kesempatan tersebut untuk bangkit meninggalkan ranjang. Dikenakannya kembali sepatu yang dilepas oleh Ronan tadi. Ia juga mengambil mantel kemudian meninggalkan kamar pribadi sang raja. Ia menyusuri lorong istana yang sepi.
Namun saat ia ingin meninggalkan Istana Blackthorn seorang ksatria penjaga menahannya.
"Maaf, Tuan Putri. Di luar sana sedang ada badai salju yang cukup lebat. Saya khawatir, Tuan Putri belum bisa kembali ke istana Whitethorn untuk malam ini."
"Huh?"
Arielle melihat sekeliling tetapi seluruh jendela kaca istana telah ditutupi kayu sehingga Arielle tak bisa melihat apa yang terjadi di luar istana. Mungkin fungsi kayu itu adalah untuk mengurangi kemungkinan seseorang terluka mengenai serpihan kaca jika jendela pecah oleh badai, pikir Arielle.
"Badai salju? Sekarang?" tanya Arielle sekali lagi ingin memastikan.
Ksatria penjaga itu mengangguk.
"Apa aku boleh lihat?" Arielle ingin mengira-ngira, jika badai itu tidak terlalu lebat, ia akan memaksakan diri.
Ksatria itu menuruti keinginan Arielle, dan meminta dua penjaga pintu istana membuka sedikit celah agar Arielle bisa mengintip. Gadis itu mengeluarkan wajahnya tetapi angin dingin secara kencang menerpanya. Membuat sebagian salju tumpah ke wajahnya.
Arielle segera masuk kembali dan terkesiap. Ketiga penjaga di belakangnya mencoba merentangkan tangan mereka menolong sang putri tetapi ditahan karena tidak sopan. Mereka khawatir tetapi di sisi lain ketiganya menahan diri untuk tidak tersenyum karena Arielle tiba-tiba tertawa merasa lucu saat beberapa butir salju menampar wajahnya.
"Wah, ini pertama kalinya aku melihat badai salju," ujar Arielle antusias.
Selama di Northendell, Arielle sering kali melihat hujan salju tapi tak pernah sampai berupa badai.
"Yang Mulia?" tanya para penjaga itu memastikan sang putri baik-baik saja.
Arielle tak mempedulikan panggilan penjaga tersebut dan kembali membuka pintu istana. Ia meletakkan tangannya di atas kepala agar wajahnya tidak kembali ditampar oleh salju.
Ia mengedarkan pandangannya untuk memeriksa seluruh lingkungan istana. Ia menemukan bahkan balkon dan seluruh lorong istana telah dipenuhi oleh salju. Arielle mengerjap kagum melihat dunia berbeda di depannya. Dari kejauhan ia bisa melihat air mancur di taman istana yang tenggelam oleh salju. Padahal tingginya bahkan lebih tinggi dari tubuh sang raja.
Jelas, jika Arielle memaksakan diri berjalan keluar dalam cuaca seperti ini, ia hanya akan tenggelam dan mati membeku.
Arielle pun kembali masuk dan menutup pintu istana itu karena wajahnya mulai terasa membeku.
"Aku rasa aku memang terjebak di sini," ujar Arielle getir.
"Jika Yang Mulia berkenan, saya akan memanggilkan Tuan Lucas untuk menyediakan seuah kamar untuk Anda, Yang Mulia."
"Lucas? Dia di sini?"
Ksatria penjaga tersebut mengulurkan tangannya untuk meminta Arielle berjalan mendahuluinya. Namun saat keduanya berbalik seseorang memanggilnya.
"Arielle?"
Arielle beralik dan mendapati sang raja berdiri di atas anak tangga teratas. Matanya terlihat sayu tanda pria itu belum bangun seutuhnya.
"Ah, kau bisa meninggalkanku sendiri," ujar Arielle.
Ksatria itu pun menunduk hormat.
"Kalau begitu saya akan kembali berkeliling," balasnya.
Arielle memberikan senyuman manis begitu juga kepada dua penjaga pintu istana. Gadis itu bergegas menaiki anak tangga dan menyentuh kedua lengan Ronan. Arielle membalik tubuh pria itu kemudian mendorongnya kembali ke arah mereka datang.
"Apa yang Anda lakukan di luar kamar, Yang Mulia? Aku kira Anda masih beristirahat," ujar Arielle khawatir.
Ronan kembali menguap dan membiarkan tubuhnya didorong dari belakang.
"Aku membutuhkanmu," jawabnya setengah sadar.
Arielle membukakan pintu kamar sang raja dan membawa pria itu masuk kembali. Ia melihat ke arah perapian yang apinya telah mati. Suhu ruangan juga menjadi lebih dingin dari saat Arielle tinggalkan tadi.
Setelah kembali membaringkan Ronan di atas tempat tidur, Arielle melepas kembali mantel miliknya. Namun sebuah tarikan pada roknya membuat Arielle tak bisa meninggalkan tempatnya. Ia butuh kembali memasukkan kayu bakar ke dalam perapian.
Arielle melihat ke belakang. Ronan menjulurkan tangannya sambil menggenggam rok Arielle erat-erat. Ronan sendiri telah kembali memejamkan matanya yang artinya pria itu sudah terlelap tidur.
"Yang Mulia, mohon lepaskan genggaman Anda sebentar," pinta Arielle mencoba mengurai jari-jari besar itu dari roknya.
"Tetaplah di sini. Seperti tadi," balas Ronan pelan.
Arielle tetap meminta pria itu melepaskannya dan setelah melakukan tarik turuk untuk beberapa saat, Ronan pun melepaskan kaitan tangannya dari rok gadis itu. Arielle bisa bernapas lega sekarang.
Ia menyeberangi meja dan duduk di atas karpet tebal berwarna hitam. Setelah memasukkan tiga potong kayu bakar berukuran sederhana, Arielle menggunakan pemantik api untuk kembali mengobarkan bara yang sudah mati.
Arielle tetap duduk di sana untuk memastikan api benar-benar menyala. Ia mendesah setelah mendapatkan kembali kehangatan yang terpancar dari kobaran di depannya.
Saat Arielle begitu terpana oleh warna jingga di depannya, tiba-tiba saja Ronan kut bergabung di atas karpet dan mengistirahatkan kepalanya di atas pangkuan Arielle.
"Yang Mulia? Kembalilah ke atas tempat tidur. Jika Anda tidur di sini, Anda akan sakit."
"Di sini lebih hangat," balasnya berkeras kepala.
Arielle mendesah panjang namun tetap membiarkan pria itu tidur di pangkuannya.
"Pekerjaan apa yang membuat Anda kelelahan seperti ini?" tanya Arielle sambil merapikan rambut pria itu.
"Hm…." Ronan hanya menggumam membuat Arielle sedikit terkekeh geli karena baginya Ronan begitu menggemaskan. Mengingatkannya akan kelinci-kelinci di kamarnya yang selalu tertidur di pangkuannya. Thomas, kucingnya yang telah tiada juga sering kali tertidur di atas pangkuannya dulu.
Oh! Arielle jadi teringat akan satu hal!
Arielle ingin mencobanya dan memastikan apakah Ronan mirip dengan Thomas atau tidak….
Arielle mengistirahatkan jemarinya pada rahang pria itu dan mengelusnya pelan. Ronan pun mendengung kecil. Benar, pria itu sungguh mirip Thomas, kucingnya. Ronanan segera menahan pergelangan tangan Arielle, agar gadis itu tak melanjutkan apa yang sedang dilakukannya.
"Arielle. Jangan," pintanya.
Arielle terkejut karena Ronan membuka kedua kelopak matanya dan menatapnya tajam.
"Itu berbahaya," lanjutnya.
"Berbahaya?" tanya Arielle bingung.
Ronan kembali memejamkan matanya dan menggenggam tangan Arielle agar tidak melakukan hal-hal lain yang memancing sesuatu yang tidak diinginkan oleh gadis itu nantinya.
"Hm-hm."
"Oh, maaf. Aku tadi… hanya teringat oleh Thomas. Dia sungguh mirip dengan Anda, Yang Mulia."
Kedua mata Ronan kembali terbuka mendengar nama seorang pria dari mulut gadis itu.
Thomas, jelas-jelas adalah nama seorang pria. Dan mengingatkannya akan pria itu? Bukankah itu artinya pria bernama Thomas itu pernah tertidur di pangkuan Arielle. Juga?
Arielle bilang ia sering dibebaskan keluar-pergi istana. Berarti ada kemungkinan Arielle pernah bertemu seseorang… Atau jangan-jangan Thomas adalah salah satu putra dari bangsawan di sana? Apakah dia teman masa kecil Arielle yang menjadi cinta pertamanya?
Seketika darah sang raja memanas. Ronan menggeram tak suka. Ia harus segera mencari tahu siapa Thomas ini dan akan mencarinya hingga ke ujung dunia jika perlu.
"Siapa Thomas? Kekasihmu?" tanya Ronan tajam.
"Kekasih? Bukan-bukan… Thomas adalah kucingku yang telah meninggal."
Ronan mengerjapkan matanya. "Kucing?"
"Iya, sepertinya aku pernah menceritakan kepada Anda bahwa aku pernah menolong seekor kucing yang terluka dan kuberi nama Thomas."
"Ah… Yang mati karena tak sengaja makan racun tikus?" tanya Ronan memastikan.
"Benar."
Ronan bangun dari rebahannya dan duduk di samping Arielle. Ia sungguh lega sekarang. Hampir saja ia siap meninggalkan istana lagi untuk memburu seseorang.
Matanya menangkap jemari Arielle yang beristirahat di atas pangkuannya. Ronan meraih jemari itu untuk digenggamnya. Ia menggeser tubuhnya untuk lebih mendekat pada Arielle.
"Aku kira kau telah memiliki kekasih."
"Aku?" Arielle tertawa kecil kemudian menggeleng tak percaya. "Bagaimana bisa aku memiliki seorang kekasih jika aku belum pernah berinteraksi dengan laki-laki seusiaku. Pria yang sering kuajak berbincang hanyalah penjaga-penjaga istana atau pelayan saja."
"Maka dari itu, aku lega mendengarnya."
Ronan menyentuh dagu Arielle. Ia ingin mencium gadis itu.
Kekasih, ya? Ah, ia bisa menggila jika seperti ini terus.
Ronan butuh jawaban atas perasaannya ini. Kehadiran Arielle benar-benar di luar nalar. Ronan selalu kewalahan dengan perasaannya sendiri.
Sejak pertama ia bertemu Arielle, ia bisa merasakan sesuatu di dalam tubuhnya merespon dengan cara yang aneh. Sorot sendu gadis itu menggetarkan jiwa Ronan. Pria itu mengalihkan pandangannya dari bibir ranum Arielle. Jika ia terus memandangi bibir itu, yang ada ia akan mulai menciumnya lagi.
Pandangannya mengarah pada figur patung serigala emas yang terlilit oleh sulur berduri bunga mawar. Itu adalah lambang keluarga Blackthorn yang sudah menjadi penguasa di tanah Utara ratusan tahun lamanya.
Ia pernah membaca salah stau kisah raja kelima Northendell yang jatuh cinta pada seorang putri bangsawan yang hampir akan dinikahkan dengan raja dari kerajaan kecil di perbatasan selatan dan barat.
Ronan tak ingat pasti detail cerita itu. Hanya saja di buku tercatat raja kelima Northendell adalah raja yang paling setia dan sangat mencintai sang ratu tanpa mengangkat satu selir pun.
Ronan tak terlalu menyukai kisah cinta jadi ia tidak terlalu tertarik dengan kisah seorang raja yang melankolis. Sebagai seorang calon raja, Ronan selalu membaca buku tentang diplomasi, tata kerajaan, strategi perang, sejarah kegagalan di masa lalu dan sejenisnya.
Ia tidak butuh kisah pribadi mengharu-biru saat tahu raja pendahulunya berhasil memenangkan hati sang putri dan menjadikannya ratu di Northendell.
Namun… kini Ronan menjadi sedikit penasaran dengan isi buku itu… Ia butuh jawaban untuk perasaannya sendiri.
Arielle menyentuh pundak Ronan membuat sang raja menoleh ke arahnya.
"Anda tidak kembali beristirahat?"
"Apakah kau akan menemaniku?"
Arielle mengangguk. "Di luar sedang ada badai, aku tak bisa kemana-mana. Silakan Yang Mulia kembali berbaring, aku akan menunggu di sini."
"Bukan seperti itu, kau berbaring bersamaku. Seperti tadi."
Ronan bangkit dari atas karpet dan menarik Arielle untuk ikut dengannya naik ke atas tempat tidur. Pria itu membuka selimut hitam miliknya kemudian mengulurkan tangannya untuk dijadikan bantal oleh gadis itu. Arielle hanya berdiri di sisi ranjang membuat Ronan gemas.
"Aku masih sangat lelah. Dua hari dua malam aku tidak tertidur sama sekali. Temani aku tidur malam ini. Aku butuh seorang teman untuk menjagaku," pintanya dengan mata berbinar.
Arielle semakin teringat Thomas yang selalu memberikannya tatapan memohon membuat Arielle tak tega menolaknya. Arielle pun ikut naik ke atas tempat tidur membuat Ronan menyeringai kecil. Saat Arielle sudah kembali berbaring, Ronan menutup tubuh keduanya dengan selimut dan meraih tubuh Arielle untuk dipeluknya.
"Apa yang Anda lakukan sehingga membuat Anda kelelahan seperti ini, Yang Mulia?" tanya Arielle.
"Aku menguras tenagaku untuk berlari dan bertarung selama dua hari."
"Bertarung? Bukankah sekarang tidak ada peperangan?"
"Er… anggaplah sesuatu terjadi, dan aku harus segera menyelesaikannya."
"Lalu mengapa Anda tidak mengajak William?"
"Tugas ini hanya aku yang mampu mengerjakannya."
Arielle masih ingin bertanya tetapi pria itu kembali menguap membuat Arielle mengurungkan niatnya. Ia teringat tentang Ronan yang menangis dalam tidurnya tadi.
"Apakah Anda baik-baik saja?" tanya Arielle.
"Hm, selama kau memelukku erat, semua akan baik-baik saja."
Arielle tahu, pria itu tidak mengerti maksud pertanyaannya dan menjawab asal-asalan. Meskipun begitu Arielle tetap membalas pelukan Ronan membuat pria itu tersenyum lebar dalam tidurnya.
"Terima kasih," ucapnya.