Seekor kelinci melompat ke arah kaki Arielle. Sang putri membungkuk untuk membawa kelinci itu ke atas pangkuannya. Ronan yang melihat itu tak terlalu tertarik dan kembali menatap Arielle yang tersenyum lembut ke arah makhluk berbulu putih itu.
"Untuk hewan-hewan ini, entah kenapa sedari kecil aku selalu memiliki simpati lebih kepada mereka. Dan anehnya, mereka juga juga bisa cepat dekat denganku," ujar Arielle mengangkat kelinci itu. Ronan sedikit mundur saat Arielle mendekatkan wajah hewan kecil ke arahnya.
"Sedari kecil?"
"Hm-hm, aku pernah merawat anak-anak ayam sedari mereka menetas sampai dewasa kemudian kulepaskan ke hutan karena kepala dapur bilang mereka sudah cukup besar untuk dimasak. Lalu, aku pernah merawat seekor kucing yang terluka namun hanya beberapa bulan karena Thomas mati akibat tak sengaja memakan racun tikus," Arielle menjelaskan.
Ia melanjutkan, "Aku juga pernah merawat seekor babi sampai besar dan terpaksa harus Tania jual untuk membeli gaun untukku, dan beberapa bulan terakhir ada lima ekor burung yang selalu menungguku di jendela untuk kuberi makan."
"Lima ekor burung?"
"Hm-hm, mereka akan mengetuk kaca jendela jika aku belum bangun."
"Bagaimana bisa?" Tanya Ronan terkagum-kagum.
"Aku juga tidak tahu, aku hanya mengelus kepala mereka seperti ini dan mereka akan menjadi lebih damai."
Arielle memberi contoh mengelus kepala kelinci di pangkuannya kemudian kelinci itu menutup matanya, mengistirahatkan kepalanya hingga tertidur.
Ronan masih tak percaya apa yang dilihatnya, ia pikir kelinci-kelinci itu mengikuti Arielle hanya kebetulan saja. Ia sendiri tidak pernah bisa dekat dengan hewan lain kecuali kuda-kudanya. Tidak pernah Ronan mencoba menyentuh hewan kecil seperti kelinci ini karena ia tahu ia hanya akan menakuti mereka.
"Aku tidak pernah bisa dekat dengan hewan-hewan seperti ini," ujar pria itu.
Ia sedikit iri melihat tangan Arielle yang terus mengusap kepala sang kelinci. Ia mengedarkan pandangannya sekeliling ruangan, dan melihat dua kelinci lainnya tengah duduk memperhatikannya di sofa dekat perapian. Namun, sedetik kemudian kelinci itu kabur bersembunyi di bawah kursi.
"Kenapa?" tanya Arielle penasaran
"Mungkin karena aku menyeramkan?" jawab sang raja dengan tidak percaya diri.
Arielle menoleh ke arah pria itu dan memeriksa wajah Ronan dengan seksama.
"Kenapa Anda selalu mengatakan itu? Sudah kubilang Anda terlihat layaknya orang-orang lain. Hm… aku akan mengatakan ini karena ini adalah pendapat jujurku. Anda cukup tampan dan menurutku lebih tampan dari kakak pertamaku, Pangeran Alexis."
Ronan terdiam sesaat namun setelah beberapa detik mencari kebohongan di wajah gadis itu, sang raja pun menggelengkan kepalanya dan sedikit tertawa.
"Aku bersungguh-sungguh," ujar Arielle serius.
"Terima kasih tapi aku harap kau bisa mengatakan hal yang sama setelah melihat sisi lainku."
"Sisi lain?"
Ronan meraih wajah Arielle. "Kau ingat drama teater di alun-alun kota saat itu? Bukan kah mereka bilang netra merah ini menunjukkan aku seorang monster?"
Arielle memiringkan wajahnya untuk memperhatikan netra merah itu dengan seksama. "Lalu apakah Yang Mulia seorang monster?"
Ronan tak bisa menjawab pertanyaan itu. Namun saat pria itu tetap diam Arielle tersenyum manis.
"Anda memiliki mata terindah yang pernah aku lihat. Mungkin… di awal pertemuan kita, netra merah itu terlihat cukup mengintimidasi." Arielle mendekatkan telunjuk dan ibu jarinya.
Ia berkata, "Benar-benar hanya sedikiiiiiiit mengintimidasi. Namun, setelah mengenal Yang Mulia, aku tahu Anda adalah orang yang baik. Maka dari itu sekarang aku melihat netra merah Anda begitu indah. Sangat cantik."
"Tidak menyeramkan?" tanya Ronan sekali lagi. "Tidak sama sekali?"
Jantungnya berdebar cepat karena ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan sebuah pujian yang begitu tulus. Bahkan orang-orang terdekatnya, seperti para sepupunya pun takut untuk melihat matanya.
Mereka bilang mata merahnya adalah tanda bukti kutukan yang diturunkan di garis keturunan sang raja. Ibunya sendiri bahkan membenci matanya.
Ronan menyentuh bekas lukanya dengan gamang. William, Luas, Pendeta Elis memang pernah melihat matanya namun mereka tak pernah mengucapkan apa-apa.
"Arielle…"
"Anda harus tahu, Yang Mulia. Warna netra mata tak bisa menunjukkan seseorang itu monster atau bukan. Bahkan terkadang seseorang bisa menunjuk orang lain monster hanya karena warna rambutnya berbeda dari yang lain."
Arielle tidak ingin bercerita tentang dirinya yang memotong rambutnya dulu karena kakak-kakaknya meledeknya dan mengatakan bahwa dirinya adalah menjadi keturunan seorang penyihir.
Namun, untunglah Pangeran Alexis melerai mereka dan mengatakan bahwa Arielle adalah keturunan raja. Sejak saat itu ejekan tentang Arielle merupakan keturunan penyihir pun berhenti.
Kelinci di pangkuannya mulai bergerak bangun dan Arielle menyentuh hidung kecil itu sambil terkekeh.
"Anda ingin mencoba mengelusnya? Aku berjanji mereka tidak galak," ujar Arielle setengah tertawa melihat wajah ragu sang raja.
Arielle memegangi kelinci itu lembut agar tidak melompat meninggalkan pangkuannya dan menarik satu tangan sang raja untuk mendekat.
"Ack!"
Arielle terkesiap saat kelinci itu tiba-tiba menggigit telunjuk Ronan hingga berdarah. "Ya-Yang Mulia, maafkan aku. Aku kira-"
"Tidak apa-apa, luka ini tak terlalu menggangguku," ujar Ronan dengan tenang.
Sejujurnya ia cukup terkejut akan serangan tiba-tiba itu namun ia sudah terbiasa akan sikap penolakan dari makhluk lainnya kepadanya.
Arielle meraih tangan sang raja dan menghisap telunjuk pria itu yang terluka. Tubuh Ronan seketika menegang dibuatnya.
"Tania selalu melakukan ini kepadaku ketika aku melukai jariku," ujar Arielle cepat dan kembali menghisap darah yang keluar dari telunjuk sang raja.
Ronan tak sedetik pun mengedipkan matanya memperhatikan rona merah alami di kedua pipi gadis itu. Dengan satu tangannya yang terbebas, Ronan pun melingkarkan tangannya pada pinggul Arielle untuk menarik gadis itu lebih mendekat.
Arielle yang terkejut melepaskan telunjuk sang raja dari genggamannya. Namun siapa sangka, sesaat tangannya itu terlepas, Ronan menangkup wajah Arielle dan meletakkan bibirnya pada bibir Arielle.
Arielle ingin melepaskan diri tetapi Ronan telah memeluk tubuhnya dengan erat. Kecupan panjang di bibir itu perlahan berubah menjadi ciuman sederhana.
Ronan memulai dengan mengulum bibir bawah Arielle. Sesekali lidahnya dijulurkan meminta gadis itu untuk membuka mulutnya. Arielle tak mengerti apa-apa. Bibirnya masih tertutup rapat begitu juga kedua matanya.
Ronan mulai menggigit pelan bibir bawah Arielle. Kedua tangannya tak diam. Ia melingkarkan erat menghapus jarak antara kedua tubuh mereka.
Arielle menggenggam bahu Ronan dengan erat. Tanpa sadar Arielle membuka mulutnya, dan Ronan menggunakan kesempatannya sebaik mungkin untuk memperdalam ciuman mereka.
Ronan terus memberikan kecupan, menghisap atau terkadang menggigit bibir Arielle. Pria itu tak kenal lelah, ia selalu menggunakan lidahnya untuk memperdalam ciumannya saat Arielle tak sadar membuka mulutnya.
Setelah cukup lama, Ronan pun menjauhkan wajahnya dan Arielle pun bisa bernafas dengan normal lagi. Nafasnya cukup terengah dan Arielle melihat bibir yang memerah itu dengan tatapan berkabut.
Ia tak lagi menunggu Arielle dan kembali menjalankan aksinya. Arielle sendiri tak bisa berpikir jernih. Debaran jantungnya sangat mengganggu. Tubuhnya terasa semakin hangat dan ia ingin tubuh pria itu terus melekat dekat pada tubuhnya.
Arielle tidak mengerti semua ini yang ia rasakan seperti ada sebuah tarikan magis yang membuat Arielle tak bisa menolak atau menghindar. Ini aneh. Ia tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Tiba-tiba pertanyaan Ronan tadi kembali mengelilingi seisi kepalanya.
"Arielle, apa hanya aku yang merasakan ketertarikan ini?"
Arielle tidak bisa menjawab karena bibirnya terus dibungkam oleh pria itu. Sesekali Ronan memberikan istirahat kepada Arielle namun kontrol dirinya tak sebaik itu terutama saat melihat bibir Arielle yang basah dan memerah. Ia ingin terus mencicipi nya. Ia ingin lebih….
Persetan dengan hubungan pertemanan mereka, Ronan ingin Arielle. Apa pun itu Arielle harus jadi miliknya sesegera mungkin.