Chereads / Putri Sandera Dan Raja Serigala / Chapter 15 - Hari Pertama Bekerja

Chapter 15 - Hari Pertama Bekerja

Hari pertama untuk Arielle bekerja pun tiba. Beberapa hari ini ia tidak bertemu dengan Raja Ronan. Bahkan saat Arielle tengah berjalan-jalan di taman istana ia juga tidak bertemu dengan sang raja. Arielle sering berjalan keluar kamarnya hanya sekadar untuk duduk menikmati langit cerah tanpa salju atau membuat sketsa baru di atas kertas.

Setelah beberapa waktu tinggal di utara, ia semakin terbiasa melihat langit di Northendell yang tetap berwarna abu-abu walaupun sedang cerah.

Arielle memang sempat melihat bayangan pria itu di kantornya namun tak ada usaha untuk Arielle untuk menemui atau sekadar menyapa. Seperti ini jauh lebih baik karena Arielle tak perlu berbohong mengenai apa yang akan ia lakukan beberapa waktu ke depan.

Arielle memaksa Tania untuk tidak ikut dengannya. Ia menyuruh Tania lebih banyak beristirahat atau mendekatkan diri dengan pelayan lain di istana Whitethorn yang menanganinya. Setelah memastikan Tania melepaskannya, Arielle meraih mantelnya kemudian berlari meninggalkan istana Whitethorn.

"Oops!"

Arielle segera bersembunyi di balik sebuah tembok sebelum menyeberang ke arah gedung selatan tempat Cathedral berada. Jantungnya berdegup kencang melihat rombongan Raja Ronan bersama pengawal setianya, William, keluar dari Cathedral. Ia tak berani mengintip, takut pria itu menyadari kehadirannya.

Di saat-saat seperti ini, ia tidak ingin pria itu ikut campur urusannya.

Arielle menajamkan pendengarannya. Saat ia merasa sudah tak ada suara langkah kaki, maka ia memberanikan diri keluar dari persembunyiannya.

"AAAA!!!" teriak Arielle terkejut saat melihat sosok tinggi berdiri santai di depannya.

Di depan Arielle kini berdiri Raja Ronan yang tengah menyandarkan sisi tubuhnya di tembok. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Pria itu sudah menanti Arielle untuk keluar dari persembunyiannya yang sia-sia.

"B-bagaimana bisa Yang Mulia ada di sini jika…"

Arielle menoleh ke arah halaman, William melambaikan tangannya pada Arielle dan ternyata hilangnya suara langkah rombongan Raja Ronan bukan karena mereka telah berlalu melainkan mereka berhenti menunggunya keluar. Arielle mengangkat tangannya dengan canggung dan membalas lambaian tangan William yang tersenyum.

"Bagaimana bisa?" tanya Arielle pada pria yang kini berdiri menjulang di depannya.

"Lihatlah ke arah kirimu baik-baik."

Arielle menoleh ke arah kakinya. Tepat di sampingnya menjulang jendela kaca besar.

"Oh…"

Ia bisa melihat William yang tengah menahan tawanya. Gadis itu mendesah panjang. Wajahnya terasa panas merasa malu karena telah mempertontonkan kebodohannya di depan banyak orang.

"Mengapa kau sendirian di luar sini? Di mana Lucas?" tanya Raja Ronan.

"Ah… Aku… ingin sebuah kanvas baru dan Lucas telah pergi ke kota untuk membelikan yang baru. Karena merasa bosan aku ingin berkunjung ke Cathedral untuk berdoa."

"Lalu di mana pelayanmu?"

"Tania sudah tua… tubuhnya masih belum terbiasa dengan suhu dingin seperti ini jadi aku menyuruhnya istirahat saja."

"Lalu pelayanmu yang lain?"

"Aku hanya ingin sendiri!" jawab Arielle tak sabaran. Gadis kemudian menyadari bahwa ia telah meninggikan suaranya di depan seorang raja. Arielle segera menunduk dan kembali meralat kata-katanya dengan lebih lembut. "A… aku hanya ingin berdoa seorang diri…. Yang Mulia…"

Ronan memperhatikan gadis itu dari atas hingga bawah. Ia tidak ingin membuat Arielle kecewa lagi dengan kata-katanya. Beberapa hari ini ia sungguh dibuat sibuk oleh tugas kerajaan sehingga tidak bisa menemui Arielle.

Kini keduanya bertemu tanpa sengaja membuat Ronan penasaran dengan hari-hari yang Arielle lalui. Anggaplah ia ingin mengetahui segala sesuatu tentang gadis itu. Laporan dari Lucas tiap harinya sungguh tidak memuaskannya. Ia ingin mendengar Arielle bercerita panjang lebar… tentang apa yang ia lakukan selama Ronan tidak melihatnya.

"Ah, maafkan aku," ujar Ronan membuat Arielle mendongak menatap pria itu bingung.

"Mengapa Yang Mulia meminta maaf?" tanyanya keheranan.

"Karena sudah bertanya macam-macam." Ronan mendekat untuk mengeratkan tali tudung mantel yang Arielle kenakan. "Aku ingin menemanimu berdoa namun pekerjaan lain telah menunggu. Mungkin akan kukirim William bersamamu."

"Tidak perlu, Yang Mulia! Aku masih mengingat jalan menuju aula tempat berdoa. Aku bisa sendiri," ujar Arielle sembari tersenyum menutupi kegugupannya.

Melihat uap yang muncul dari mulut gadis itu membuat Ronan tersadar bahwa ia telah menahan Arielle cukup lama.

"Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Mari kuantar sampai Cathedral."

"Tapi bagaimana dengan pekerjaan Anda?"

"Berjalan beberapa langkah tak akan membuat pekerjaanku semakin menumpuk, Tuan Putri."

Ronan mengulurkan tangannya dan Arielle pun melingkarkan tangannya pada lengan pria itu. Ronan memerintahkan William untuk menunggunya di kantor begitu juga rombongan prajurit yang segera dibubarkan.

Arielle dan Ronan berjalan beriringan tanpa berbicara. Keduanya menikmati kehadiran masing-masing. Arielle yang sempat kedinginan kembali merasa hangat atas kehadiran sang raja. Begitu pun dengan Ronan yang kembali bisa berada di dekat gadis itu.

Di depan tangga Cathedral, Arielle segera melepaskan kaitan tangan mereka. Ia naik beberapa anak tangga mendahului Ronan. Pria itu masih terpaku di tempatnya. Arielle berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal.

Angin berhembus membuat rambut putih panjang Areille berkibar. Melihat pemandangan itu Ronan tersenyum sekilas. Hari itu Raja Ronan tengah mengenakan topeng setengah wajah sehingga Arielle bisa melihat bibir penuh itu tengah tersenyum.

"Terima kasih telah mengantarku, Yang Mulia." Arielle membungkukkan badannya dengan penuh hormat sebelum ia masuk ke dalam Cathedral.

"Dengan senang hati."

Arielle bingung apakah ia harus beranjak duluan atau harus menunggu Raja Ronan untuk berbalik lebih dulu? Melihat wajah bingung itu justru menjadi hiburan tersendiri bagi Ronan. Ia hanya memiringkan kepalanya memberi izin untuk Arielle mendahuluinya. Barulah gadis itu mengangguk dan berbalik, masuk ke dalam gedung. Pria itu tak kunjung beranjak sampai Arielle benar-benar masuk melewati pintu Cathedral.

***

Jantung Arielle sedang berpacu sangat kencang. Sesekali ia menoleh ke belakang, takut jika Raja Ronan tengah mengikutinya. Ia melewati taman pohon buah Frostberry. Sudah menjadi kebiasaannya untuk berhenti melihat buah-buah kecil berwarna putih itu saat ia lewat.

Arielle teringat ucapan Pendeta Elis tentang dirinya yang boleh memetik buah itu sesuka hatinya. Arielle menoleh ke sekeliling untuk memastikan tak ada siapa-siapa di sekitar. Ia memberanikan diri mengambil sebuah Frostberry di dahan terdekat. Tanpa menunggu lama, Arielle langsung memakannya.

Sepanjang lorong, Arielle bersenandung gembira. Ia merasa satu buah Frosterry saja dapat membuat suasana hatinya menjadi lebih baik.

Arielle mengetuk pintu ruangan Pendeta Elis. Beberapa saat kemudian, pria itu muncul dengan senyum lebar seperti biasa.

"Ah, selamat datang Putri Arielle. Kebetulan sekali, saya ingin menemui Tuan Putri mengenai tugas yang harus Anda kerjakan."

Arielle mengangguk antusias. "Aku sungguh sudah siap, Pendeta!"

"Baiklah, kalau begitu mari ikut aku."

Arielle berjalan mengikuti Pendeta Elis menuju lantai tiga Cathedral. Di lantai tiga terdapat lorong memanjang berisikan deretan pintu kamar.

"Itu adalah kamar-kamar para penghuni Cathedral. Baik kami para pendeta hingga para murid, semuanya tinggal di sini. Tugas Putri Arielle adalah merapikan setiap kamar setelah pukul enam pagi. Jika ada seprei yang kotor, Anda bisa membawanya ke ruang bawah tanah tempat para pelayan Cathedral lain mencucinya dan akan segera dikeringkan oleh pengguna mana panas."

"Jadi, tugasku hanya merapikan kamar tidur?"

Pendeta Elis tersenyum lebar. Ia membuka sebuah pintu kamar dan Arielle terkesiap melihat pemandangan di dalamnya.

"Mungkin kami pendeta bisa tidur dengan normal. Namun… para murid terkadang kehilangan kontrol kekuatan mereka dan bisa memporak-porandakan kamar."

"Tapi tidak setiap hari seperti ini kan?"

"Saya berjanji, ini hanya terjadi seminggu sekali dan tidak semua murid selalu kehilangan kontrol. Hanya saja…"

Arielle mengekor Pendeta Elis yang membuka kamar di sebelahnya. "Para murid yang memiliki rasa penasaran yang sungguh tinggi akan belajar di kamar tanpa sepengetahuan kami."

Arielle menekap bibirnya saat melihat sebuah kamar yang basah di setiap sisi ruangan.

"Apa yang terjadi?"

"Dia pemilik mana panas bumi. Ia selalu bereksperimen dengan trigram. Sehingga ketika ruangannya menjadi sangat panas, ia akan membuka jendela dan mendinginkannya dengan salju dari luar kamar. Tentu saja salju-salju tersebut akan meleleh dibuatnya."

Arielle termenung dan Pendeta Elis bisa memahami ekspresinya. Mungkin ekspektasi dari Putri Arielle adalah merapikan kamar dan menyapu debu-debu yang ada. Membenahi kamar yang hampir rusak adalah sebuah pekerjaan yang tidak disangka-sangkanya.

"Jika Tuan Putri merasa keberatan, saya tidak akan memaksa."

"Tidak! Aku menginginkan ini!"

Arielle menggosok tangannya siap mengembalikan kondisi kamar ke kondisi semula. Ia melepaskan mantel dan Pendeta Elis menawarkan dirinya untuk membawa mantel milik Putri Arielle untuk disimpan di ruangannya.

"Upah akan dibayarkan setiap akhir minggu," imbuh Pendeta Elis.

Arielle hanya mengangguk. Ia meneliti seluruh sudut ruangan. Semangatnya semakin berkobar. Dilipatnya kedua lengan gaunnya agar tidak menganggunya saat mengumpulkan sampah yang berserakan di lantai.

"Mari kita mulai!" seru Arielle dengan bersemangat.

Pendeta Elis menatap sang putri dengan senyum simpul di wajahnya. Melihat seorang putri dengan semangat berkobar-kobar adalah sesuatu yang baru baginya.

Pria itu lalu menutup pintu kamar agar Putri Arielle dapat leluasa melakukan pekerjaannya. Pendeta Elis hanya berdoa agar Raja Ronan tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.