Tania terkejut melihat pria di depannya. Kalimat yang sudah ia siapkan mendadak terbang keluar kepalanya. Di depannya bukan William ataupun Lucas yang berani ia bohongi melainkan Raja Ronan sendiri.
"Apakah Putri Arielle masih tertidur?" tanya Ronan.
Tania membuka mulutnya kemudian menutupnya kembali rapat-rapat. Suasana kamar tiba-tiba terasa dingin baginya. Pertanyaan yang Raja Ronan lontarkan terdengar tajam. Apalagi topeng yang selalu pria itu kenakan semakin menambah aura intimidasi yang Tania dapatkan.
Ia tidak pernah merasa setakut ini kepada seseorang, bahkan terhadap Pangeran Alexis sekali pun, kakak pertama dari Putri Arielle sendiri.
Tania tak menjawab. Dalam posisi kepala tertunduk, ia membuka pintu kamar lebih lebar dan melangkah mundur memberikan kesempatan untuk Raja Ronan masuk.
Alis Ronan terangkat melihat Arielle tengah berbaring di balik selimut. Ia tidak bisa melihat ekspresi gadis itu karena Arielle tidur memunggunginya. Ronan memberi isyarat Tania untuk keluar meninggalkannya dan Tania menutup pintu dari luar.
Ronan melepaskan mantel yang kemudian ia hamparkan di sofa. Beberapa salju yang menempel di atasnya perlahan mencair saat terpapar hangatnya api dari perapian. Langkah beratnya tenggelam dalam tebalnya karpet bulu yang ia injak.
Ronan memilih sofa sebagai tempat istirahatnya. Dari balik topengnya ia bisa melihat Arielle yang mengintip kemudian menutup kembali matanya lebih erat. Pria itu mengistirahatkan dagunya pada telapak tangan kanannya memperhatikan gundukan selimut di dengannya.
"Sayang sekali, ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya. Mungkin aku akan menunggu beberapa saat di sini," kata Ronan cukup keras hingga Arielle bisa mendengarnya sejelas kristal.
Jantung Arielle berdetak sangat cepat saat ini. Tubuhnya terasa kaku. Bahkan ketika hidungnya sedikit gatal pun ia tak berani mengangkat tangannya untuk menggaruk hidungnya.
(Dimana Tania? Mengapa ia meninggalkanku sendirian?)
Arielle berdoa dalam tidurnya, agar Ronan segera kembali ke kamar. Harapan itu muncul membuat Arielle senang setengah mati saat pintu diketuk dari luar.
(Lucas)
Sayup-sayup ia mendengar suara Lucas yang sedang berbincang dengan Raja Ronan.
(Lucassss!!! Tolong jangan tinggalkan aku sendirian!!!) teriak Arielle di dalam hatinya.
Arielle tidak tahu apa yang terjadi karena ia tengah mempertahankan akting tidurnya. Beberapa menit kemudian Arielle dibuat lega mendengar suara Lucas kembali bersama Tania. Hidungnya mencium aroma masakan dan terdengar suara troli yang masuk ke dalam kamar disusul dengan suara pintu kamar ditutup.
Aroma masakan yang dibawa itu berhasil membuat perut Arielle berbunyi. Meskipun begitu, Arielle belum berani membuka matanya. Ia berharap Tania akan mengguncang tubuhnya dan mengatakan Raja Ronan telah meninggalkan kamarnya. Namun bukan itu yang didapatkan melainkan….
Selimut dililitkan begitu erat di sekeliling tubuhnya dan beberapa saat kemudian Arielle merasa tubuhnya melayang.
"AAAA!!!" Arielle berteriak terkejut saat seseorang menggendongnya. Matanya terbuka lebar menatap dengan ketakutan topeng pria di depannya yang berada sungguh dekat dari wajahnya. Dari jarak sedekat ini ia bisa meliat netra merah tersebut tengah menatap tajam dirinya.
"Y-Yang Mulia…."
Ronan berjalan menuju sofa, masih dengan Arielle di kedua tangannya. Ia duduk di sofa dan meletakkan Arielle di atas pangkuannya. Arielle tak bisa banyak bergerak karena tubuhnya terlilit selimut.
"Yang Mulia…. apa maksud semua ini?"
"Dengan seperti ini kau tidak bisa kabur lagi, kan?"
Perut Arielle kembali berbunyi dan wajahnya memerah seketika akibat rasa malu yang tak tertahankan. Arielle menundukkan wajahnya merasa tidak sopan…. "I-itu bukan suara perutku," ujar Arielle menahan malu.
"Aku tahu," balas Ronan penuh perhatian.
Ronan meraih sendok kemudian menyendokkan sup dan dibawanya ke depan bibir Arielle. Arielle menatap bingung sendok di depannya.
"Makanlah," ujar Ronan singkat.
Kini jantung Arille berdebar begitu cepat dan otaknya sibuk memikirkan alasan untuk menolak perintah sang raja. Gadis itu menggigit bibirnya, merasa ragu untuk membuka mulutnya. Meskipun seperti itu, ia sendiri tak bisa meraih sendok untuk makan sendiri karena tubuhnya dililit selimut.
"Ya-Yang Mulia …. aku… bisa melakukannya sendiri jika Yang mulia membantuku melepaskan ini."
"Tidak, seperti ini jauh lebih baik," tolak Ronan mentah-mentah."Bukankah kau sedang sakit?"
"Tapi aku hanya akan merepotkan."
"Dan aku sama sekali tidak keberatan."
Arielle mengerjapkan matanya cepat. Ia merasa tidak sopan duduk di atas pangkuan seorang raja…. Ronan kembali menggoda bibirnya dengan sendok yang telah diisi ulang dengan sup. Mau tak mau Arielle membuka mulutnya menerima suapan tersebut.
Keduanya duduk dalam diam. Ronan tak henti-hentinya menyuapinya dengan makanan hingga satu mangkuk habis. Pria itu juga membantu Arielle minum dengan memegang gelasnya.
Kini Arielle merasa perutnya kembali terisi. Ia mengalihkan pandangannya ke sepenjuru ruangan agar tidak menatap pria yang tengah memangkunya saat ini.
Ronan membuka tutup baki sekali lagi dan mata Arielle melebar penuh kegembiraan melihat buah Frostberry di hadapannya. Otomatis gadis itu berusaha mengulurkan tangannya, tetapi lilitan selimut di tubuhnya sangatlah kencang.
"Um… Apakah Yang Mulia tidak ada niatan untuk melepaskanku?"
"Untuk apa? Agar kau bisa kabur lagi? Kemudian mengurung diri seharian penuh dengan bilang kepada William dan Lucas kau sedang tidur karena kau tak ingin bertemu denganku?"
"Tidak-tidak…. Aku tidak akan berani kabur dari Yang Mulia…."
Kedua alis Ronan terangkat melihat Arielle yang mencuri pandang ke arah sepiring buah Frostberry. Gadis itu sangat tidak pandai berbohong atau pun berakting tetapi masih berani berbohong demi sepiring Frostberry….
Ronan mengambil satu buah, membuat gadis itu menelan ludahnya gugup. Sang raja bisa melihat sorot kecewa dari sepasang mata berbinar di depannya saat ia memasukkan buah Frostberry ke dalam mulutnya sendiri.
"Jawab aku dengan jujur maka aku akan mengizinkanmu menikmati buah-buah itu." Kalimat itu berhasil mengembalikan binar bahagia Arielle.
Arielle mengangguk cepat.
"Apa yang membuatmu begitu tersinggung?"
Arielle membuang mukanya.
"Aku tidak tersinggung," ia berbohong.
Sepasang jari menarik dagunya. "Tatap aku ketika berbicara agar aku bisa tahu apakah seseorang tengah berbohong atau tidak."
Arielle benar-benar tidak bisa kemana-mana sekarang. Topeng dingin itu sungguh mengintimidasi. Gadis itu kesusahan menelan ludahnya.
Ronan masih menatap Arielle begitu intens membuat Arielle menggeliat kecil di atas pangkuannya, merasa salah tingkah. Ronan bisa melihat perlahan pipi gadis itu berubah memerah hingga ke telinganya.
"Jadi?" desak Ronan tak sabaran.
"Uhm… baiklah, sejujurnya aku merasa tersinggung dengan pertanyaan Mulia kemarin."
Sudah pria itu duga. "Tentang kau yang lebih memilih belajar melukis dibandingkan membaca atau menulis?"
Arielle mengangguk lesu. "Karena aku tidak memilih. Aku hanya mempelajari apa yang ada…"
"Maksudmu?"
Arielle tersenyum masam. "Sebagai seorang putri bungsu raja yang dilahirkan seorang wanita tak bernama dan merupakan anak di luar pernikahan, apa aku terlihat layak untuk duduk di bangku sekolah yang sama dengan putra-putri raja yang lain? Bahkan untuk mengundang seorang guru saja aku tak punya uang…."
"Seorang putri tak punya uang?"
"Baru dengar? Apakah Yang Mulia berpikiran setiap putri akan mendapatkan perlakuan layaknya bangsawan? Aku saja baru merasakan makan tiga kali sehari saat aku menginjakkan kakiku di Northendell. Di Nieverdell aku sangat dibebaskan."
"Kau terdengar seperti serigala liar."
Arielle tertawa kencang mendapatkan julukan tersebut. "Tania dan para penghuni istana di Nieverdell memang menjulukiku serigala liar karena aku selalu melakukan apapun sesuka hatiku!"
Ronan terpana melihat tawa Arielle barusa. Ia seperti merasakan sebuah kehangatan baru yang tak bisa ia jelaskan.
Puas tertawa, Arielle menghirup udara panjang untuk menetralkan tawanya.
"Apakah kau tidak terlalu ceria untuk seorang anak yang didiskriminasi?" tanya Ronan.
Arielle tersenyum lebar. "Aku sama sekali tidak menyesal, buat apa aku bersedih akan perlakuan mereka? Toh, aku juga masih punya banyak teman. Tania, pelayan-pelayan di nieverdell, hingga penjaga istana selalu membantuku untuk bersembunyi dari saudara-saudaraku."
"Kau tak cemburu kepada mereka?"
"Tidak. Sama sekali tidak."
Ronan mencoba mencari keraguan di mata Arielle namun gadis itu serius dan bersungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa ia tidak merasa cemburu sama sekali dengan saudara-saudaranya yang lain. Meskipun ia tak dianggap namun, ia tetap mendapatkan kasih sayang dari Tania dan juga orang-orang di istana. Meskipun ia tidak bisa mengenakan pakaian yang indah setiap hari layaknya para saudaranya, ia masih bisa menikmati harinya dengan berlarian di pasar atau kota, menemani Tania berbelanja.
"Maka dari itu, ketika Yang Mulia bertanya demikian aku merasa tersinggung karena sedari awal aku memang tidak pernah mendapat kesempatan belajar membaca dan menulis. Selain itu…. " Arielle tak berani menatap Ronan kali ini.
"Selain itu?"
"Uhm … Kata-kata Yang Mulia terkesan mengejek kebahagian yang sudah diberikan kepadaku melalui melukis. Aku belajar melukis dengan seorang guru tanpa dibayar. Pelukis itu mengajarkanku melukis semata-mata karena ia adalah kenalan dari Tania sehingga tidak meminta upah mengajar."
Ronan menolehkan kepalanya ke arah lukisan yang berdiri di sebuah easel. Itu adalah lukisan yang ia lihat kemarin. Matanya menyipit memperhatikan coretan hitam pada istana Blackthorn bagian jendela ruang kerjanya berada.
"Apakah kau mencoret kantorku untuk meluapkan kekesalanmu?"