Seharian penuh Arielle mengunci dirinya di kamar. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Raja Ronan kemarin masih membekas di hatinya. Tania duduk di dekatnya, menambahkan sebuah kayu bakar ke dalam perapian agar kamar Arielle tetap hangat.
"Maafkan aku, Yang Mulia… Seandainya aku bisa membaca dan menulis, mungkin aku bisa sedikit membantu…."
"Ini bukan salahmu, Tania. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri…."
Arielle menggigit ibu jarinya dan Tania mendesah panjang melihat kebiasaan buruk majikannya itu kembali lagi. Dengan kakinya yang masih belum pulih total, Tania mendekati Arielle yang sedang duduk di pinggiran jendela.
"Apa yang sedang Tuan Putri resahkan?"
"Tidak ada… Tidak ada yang sedang aku resahkan…." sangkal Arielle kembali menggigit ibu jarinya. Matanya menerawang ke arah tumpukan salju di taman.
Tania tersenyum kemudian menarik tangan majikannya agar gadis itu berhenti menggigit ibu jarinya. "Yang Mulia, Anda kembali menggigit ibu jari Anda lagi. Itu tandanya Yang Mulia sedang memikirkan sesuatu…."
Arielle merasa percuma menyimpan pemikirannya sendiri. Tania adalah sosok yang sungguh mengenalnya. Ia tak bisa menyembunyikan apa pun dari pelayannya itu.
"Aku berpikiran untuk mulai belajar membaca dan menulis." Arielle segera menegakkan tubuhnya saat melihat wajah Tania yang kebingungan. Sang putri menambahkan dengan antusias, "Aku berencana mencari pekerjaan di sini dan menyibukkan diri."
"Yang Mulia?"
"Kau tahu, Tania… berdiam diri di tempat dingin tanpa beraktifitas hanya akan membuat tubuh kita rentan sakit. Besok aku akan mengunjungi Pendeta Elis. Aku akan bertanya apakah ada yang bisa aku kerjakan di sini. Namun itu tidak akan gratis. Tentu saja aku akan meminta bayaran."
"Yang Mulia, aku rasa itu tidak akan semudah itu…."
Arielle mengangkat tangannya meminta Tania untuk tidak memotong pembicaraannya terlebih dahulu. Ia bangkit meninggalkan jendela. Arielle meraih teko kemudian menuangkan air panas ke dalam cangkir dengan gerakan anggun.
"Lupakan tentang statusku sebagai seorang putri. Titel putri yang tersemat di depan namaku hanyalah panggilan tanpa makna. Di Nieverdell aku sering membantumu mencuci, menyapu, dan menyediakan makanan… dan aku yakin kemampuanku itu pasti akan sangat berguna."
Tania mengangguk paham. "Lalu mengapa Pendeta Elis?" tanya Tania.
Arielle menjentikkan tangannya di depan Tania membuat wanita itu tersenyum melihat semangat Putri Arielle telah kembali. Arielle menjawab, "Pendeta Elis sepertinya lebih bisa memahami kondisiku yang tidak bisa membaca dan menulis ini. Meskipun pada saat itu aku sungguh malu namun aku bisa melihat pancaran kasihan dari sorot matanya!"
"Dan…."
Arielle berjalan mengitari Tania dan memeluk pelayannya itu dari belakang. "Aku akan memohon dengan wajah paling sedih agar aku bisa diberikan pekerjaan. Uangnya bisa kita tabung untuk membayar guru di Nieverdell untuk mengajariku membaca dan menulis."
"Wajah yang paling sedih?"
Arielle kini merangsek di depan Tania. Gadis itu duduk di atas karpet berbulu kemudian menggenggam tangan Tania erat. Bibirnya bergetar. Matanya perlahan mulai berair. Hati wanita tua itu terasa diremas erat-erat melihat wajah memelas sang putri di depannya.
"Baiklah, mungkin ini akan berhasil. Mari berdoa, semoga saja Pendeta Elis adalah orang dengan rasa empati yang tinggi," ujar Tania. Ia memalingkan wajahnya merasa tak sanggup ditatap sedemikian rupa oleh Putri Arielle.
Wajah memelas itu berubah cerah saat Tania mengizinkannya.
"Tapi mengapa tiba-tiba sekali Tuan Putri ingin belajar membaca dan menulis? Apakah pertanyaan dari Yang Mulia Raja Ronan semenyakitkan itu?"
Kemarin, Tania yang ingin menyediakan makan siang untuk Putri Arielle dibuat terkejut saat melihat majikannya itu menangis sesenggukan di kamar. Beberapa menit kemudian pintu kamar putri diketuk dan muncul Raja Ronan yang ingin berbicara dengan Putri Arielle. Namun, Tania dengan sesopan mungkin menolak keinginan Raja Ronan dengan alasan Putri Arielle tengah beristirahat.
Setelah Arielle selesai menangis, ia bercerita kepada Tania bahwa Raja Ronan secara tak langsung menghinanya dengan mengatakan bahwa Arielle lebih memilih belajar melukis daripada belajar membaca dan menulis.
"Mungkin Yang Mulia tak bermaksud seperti itu…."
"Tapi ia menatapku begitu tajam, Tania. Aku merasa sungguh malu!" ujar Arielle kesal.
Sejak saat itu, setiap beberapa jam William atau Lucas bergantian bertanya tentang kondisi Putri Arielle dan dengan jawaban yang sama Tania selalu mengatakan bahwa Putri Arielle sedang beristirahat.
"Setelah kejadian itu, aku jadi sadar, Tania… suatu hari nanti, ayah akan menikahkanku dengan seorang pria." Ekspresi ceria gadis itu tadi kini menghilang seketika. Senyum lebarnya berubah menjadi murung.
"Aku hanyalah putri boneka. Jika istana sudah tidak menginginkanku lagi, mereka akan mengeluarkanku dengan menikahkan aku kepada seorang pria asing. Dan pria itu pastilah hanya bangsawan rendahan atau mungkin aku akan menjadi istri kesekian dari seorang pejabat di istana."
"Yang Mulia…."
"Maka dari itu, aku hanya ingin mempersiapkan diriku untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuknya. Jika suamiku kelak adalah pria yang memperlakukanku buruk, aku bisa pergi dengan mencari uang sendiri. Dan membaca, menulis, serta menghitung adalah kemampuan dasar untuk seseorang bertahan hidup di luar sana…."
Kali ini Tania benar-benar dibuat sedih oleh Putri Arielle. Ia selalu menganggap Arielle seperti anaknya sendiri. Namun ia tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan takdir gadis itu.
"Yang Mulia… meskipun aku tak bisa membantu banyak. Izinkan aku selalu berada di sisimu. Izinkan aku ikut menanggung bebanmu. Yang Mulia tak perlu khawatir, aku berjanji akan membuat Pendeta Elis mempekerjakan kita berdua."
"Kita berdua?" tanya Arielle bingung.
"Benar, kita berdua. Jika aku ikut bekerja maka kita akan mendapatkan upah dua kali lipat, yang artinya akan semakin banyak uang tabungan kita dan kita bisa membayar guru yang lebih baik lagi…."
"Tapi Tania-"
TOK TOK
Perbincangan keduanya terputus. Arielle dan Tania menoleh ke arah pintu bersamaan. Keduanya saling tatap, mengira-ngira siapa yang berkunjung lagi?
"William atau Lucas?" tanya Tania sambil tersenyum jahil, membuat Arielle tertawa kecil kemudian menutup mulutnya rapat, takut suara tawanya terdengar oleh orang di luar sana.
"Siapa pun itu, bilang saja aku sedang tidur."
Tania mengacungkan kedua jempolnya, menyetujui perintah dari Arielle. Sang putri berjalan cepat menuju tempat tidurnya. Ia berbaring memunggungi pintu kamar. Tania ikut bantu merapikan selimut Arielle terlebih dahulu agar akting mereka terlihat lebih meyakinkan.
Setelah memastikan Arielle memejamkan matanya dan memposisikan tubuhnya dengan nyaman, barulah Tania bergerak ke arah pintu. Namun, melihat siapa yang berdiri di depannya sungguh membuat Tania terkejut.
"Y-Y-Yang Mulia?"
***
Sudah seharian Ronan tak fokus berkerja. Di kepalanya terbayang-bayang wajah kecewa seorang gadis yang kemarin siang ia temui. Ronan kembali menegak whiskey namun bayangan itu tak kunjung memudar.
Pintu ruang kerjanya diketuk dan Ronan menyuruh William untuk segera masuk.
"Bagaimana?" tanya pria itu tanpa menunggu William selesai membungkuk memberi hormat.
"Tuan Putri masih beristirahat."
Ronan menggertakkan giginya menahan kesal. Hampir setiap dua jam sejak kemarin ia mengirim William dan Lucas untuk bertanya tentang keadaan Arielle. Namun, mereka selalu kembali dengan jawaban yang sama.
"Apa kau yakin Putri Arielle tengah tertidur dan bukan pingsan?"
William mengangguk. "Benar, Yang Mulia. Setiap aku berkunjung, pelayan Putri Arielle selalu menunjukkan bahwa Putri Arielle masih tertidur pulas."
Ronan tahu ini hanya akal-akalan gadis itu demi menghindarinya. Pria itu menghapus segala kekesalannya dan kembali duduk dengan tenang.
"Baiklah, jika itu yang diinginkannya. Kau bisa kembali ke tempatmu."
William membungkuk sekali lagi, kemudian mundur meninggalkan ruang kerja sang raja.
Ronan kembali menuangkan whiskey ke dalam gelasnya. Senyumnya tercipta karena merasa geli akan permainan Arielle. Beberapa hari yang lalu, memang ia sengaja menghindari gadis itu karena ia merasa Arielle hanya tamu biasa yang tak butuh perhatian lebih.
Namun pada hari gadis itu melukis, ia merasa kesal melihat Pendeta Elis begitu dekat dengan Arielle. Ia menyusul dan tak sengaja mendengar bahwa Putri Arielle tidak bisa membaca dan menulis. Ia hanya bertanya sesuatu yang menurutnya aneh. Namun pertanyaan sederhananya itu ternyata membuat sang gadis menghindarinya….
"Mengapa anak itu sampai tersinggung? Seorang putri sudah seharusnya mendahulukan pendidikan dasar seperti membaca dan menulis," gumamnya begitu santai. "Dan sekarang karena merasa tersinggung, ia menghindariku? Sangat bodoh."
Ronan kembali tersenyum sinis. Ia kembali larut dalam pekerjaannya sampai jam dinding berdenting sebanyak enam kali.
William kembali masuk ke dalam ruangannya, meminta Ronan untuk beristirahat. Pria itu tak mempedulikan ocehan William. Ia memasang kembali topeng dan mengenakan mantel miliknya.
"Yang Mulia ingin kemana?" tanya William kasual.
"Bukan urusanmu."
William hanya mendesah dan membiarkan Rajanya melakukan apa pun sesuka hatinya. Melihat Ronan yang meninggalkan istana Blackthorn dan menyusuri salju menuju bangunan istana Whitethorn di bagian barat, William tersenyum.
"Setidaknya ini sebuah kemajuan," gumam William kepada dirinya sendiri.